Aurora

“Seharusnya kau punya emosi, agar aku
bisa mencurahkan semua keluh kesahku, dan kau merasa iba.” Gadis itu, Aurora
namanya, sedang berbicara pada cangkir
kopi. Nadanya amat pelan. Kemudian dia
mengaduk-aduk kopi yang tanpa gula itu, menjadikannya mainan, sekadar
mengisi kebosanan.
Sudah hampir dua jam lamanya, sejak
fajar pagi mulai terasa panas, dia duduk sendiri di salah satu meja kafe. Dan
kopi di hadapannya sudah terlalu dingin untuk dinikmati, sedang kentang goreng
yang sejak tadi belum disantapnya sudah kehilangan garing. Dia sedang menunggu
seseorang. Tapi dua jam adalah waktu terlampau
sangat lama bagi tubuhnya yang ringkih. Dia mulai lelah. Wajahnya menyiratkan
kelelahan itu; terlihat sebersit air muka yang kalah oleh masa.
“Apakah kau punya ide, cangkir? Maksudku,
saya harus pulang atau kembali dungu dengan menunggu beberapa menit lagi?” Katanya
sambil mengaduk kopinya. Dia kemudian mendesah, memejamkan mata, sembari meneteskan
air mata. Derai air mata itu menjadi sebuah tamsil betapa sejak tadi pikirannya
tengah meraba beberapa sisi ingatan yang getir.
“Percuma
berbicara pada cangkir.” Air matanya kian meluap.
Seseorang yang dia tunggu adalah
pacarnya, Eka. Dia dan Eka memang hendak bertemu untuk menuntaskan kerinduan, yang sudah tiga
bulan tertunda, sejak Eka menjadi konsultan politik untuk memenangkan seorang
calon bupati di suatu daerah. Sejak saat itu Eka sudah mulai sibuk dengan
urusan-urusan politik, hingga nyaris tak ada waktu untuk sekadar menjalin
asmara dengan Aurora. Selama ini
hubungan mereka membara hanya dari perbincangan melalui media sosial dan
telepon. Tapi, hubungan jarak jauh itu hanya menghasilkan bara yang nyalanya
sayup. Pancarannya tak lagi nyalang seperti sedia kala.
Eka menyadari hubungan mereka kian
gersang. Dia tahu itu. Dia bisa membaca suasana hati Aurora hanya dengan
mendengar nada suaranya. Itulah sebabnya Eka selalu berupaya mencuri sela-sela
waktu sibuknya untuk bertemu Aurora. Tapi, sudah dua kali Eka membuat janji
makan malam bersama, yang didapatkan Aurora hanyalah sejumput kekecewaan. Eka
pada akhirnya tak pernah datang tepat saat Aurora sudah duduk manis di tempat
yang sudah dijanjikan. Eka selalu saja tiba-tiba ditempa kesibukan kerja saat
dia sudah bersiap-siap menyambangi tempat pertemuan mereka.
Sejak saat itu, Aurora merasa tak
penting lagi di mata Eka. Dia merasa
sebagai prioritas terbawah di antara tumpukan prioritas kerja sang kekasih.
Bahkan pacarnya sendiri dipolititsasi, kata Aurora suatu ketika di sebuah momen
makan malam yang gagal. Aurora merasa seperti seorang rakyat kecil yang sedang
diraba oleh janji manis Eka yang seorang politisi itu.
Maka wajar saja ketika Aurora mengingat
semuanya, matanya tak kuasa membendung tangis. Sebab hari ini ketiga kalinya
dia dicampakkan oleh kekasihnya sendiri. Bahkan pikirannya sudah mulai tidak
karuan. Dia mulai memikirkan hal-hal yang mungkin disembunyikan Eka, yang
menyebabkan Eka bertingkah demikian. Mulai dari perselingkuhan kekasihnya itu, hingga
berimajinasi tentang kemaluan Eka yang hilang akibat disantet oleh seseorang,
karena dendam pada Eka yang telah memperkosa anaknya. Olehnya itu dia malu bertemu
pada Aurora. Bisa saja kan, orang-orang yang menikmati ekstase dunia politik
terkadang menjadi banal, pikir Aurora.
Imajinasi liarnya itu membuatnya
sedikit tersenyum. Setidaknya dia berhasil menghibur dirinya sendiri. Tapi
megar senyum itu hanya sekilas, dan kembali layu saat Aurora melihat pesan BBM (black berry messenger) Eka yang masuk ke
handphone-nya.
Tunggu lima menit lg say.
aq td dah di tngah jln, Cuma sy ke suatu tmpat dl. sy ingin
mengambil sesuatu disn.
***
Awan seperti kepulan asap mesin
industri, langit makin mendung. Aurora menyeruput kopinya, memakai tasnya dan
mulai bergegas meninggalkan kafe. Dia memutuskan pulang ke apartemennya, setelah
beberapa kali menelepon Eka dan tidak di angkat-angkat. Dia sudah amat lelah.
Bisa-bisa aku mati kebosanan, katanya sebelum bergegas pergi. Tapi setiap
beberapa langkah perjalanan kakinya, dia selalu menyempatkan untuk menelepon
Eka. Demi amarah dan hati yang membadai, dia sangat berharap Eka mengangkat
teleponnya. Niatnya bukan untuk menanyakan berapa menit lagi ia sampai ke kafe,
tapi menyangkut beberapa hal, semacam gema kemuakan, sumpah serapah dan
semacamnya. Tapi tak ada tanda-tanda Eka mengangkat teleponnya. Sampai beberapa
menit kemudian SMS Eka masuk ke handpone-nya.
yg punya hp ini sedang kecelakaan. smntara dibw kerumah
sakit wahidin. maaf telat mengirimkan pesan sms pada anda. kami baru saja
berhasil mengeluarkan korban yang terjepit oleh mobilnya yg penyok. tolong
bantu kami menghubungi keluarga korban.
***
Aurora hampir saja membunuh supir taksi
itu jika tidak meningkatkan kecepatan mobilnya. Jiwanya tetiba menjadi kacau
dengan emosi yang tak terbendung, saat mengetahui Eka mengalami musibah. Apa
yang dipikirkannya hanyalah bagaimana sesegera mungkin bisa sampai ke rumah
sakit, dan melihat keadaan Eka yang tengah sekarat. Satpam rumah sakit tak
dipedulikannya lagi, dan lalu lalang orang-orang di rumah sakit disambarnya
terus-menerus saking terburu-burunya.
Tapi musibah memang tak pernah diduga
dan nasib terkadang tak masuk akal. Eka meninggal. Jiwanya tak lagi sanggup
menghuni tubuhnya yang terkoyak dan boyak. Aurora hanya mengetahui dari sanak
keluarga Eka yang berjejalan di luar ruangan UGD. Saat salah seorang mengatakan
Eka telah meninggal, Aurora hanya bisa bergeming, tanpa kata-kata. Segalanya
tetiba dirasa hening bahkan dengan riuh-rendah percakapan dan tangisan di
sekelilingnya. Tapi hati Aurora tidak cukup tangguh membendung kesedihan. Dia kemudian bersandar di tembok, menutup
matanya dengan kedua telapak tangannya. Tapi, bagaimana pun upayanya untuk
membendung tangisan, air mata selalu punya cara untuk mencuri cela. Beberapa tetes
telah berjatuhan.
***
“Sudah waktunya Eka menghadap Sang
Ilahi”, kata ibunya, berusaha untuk melepaskan anaknya. Tapi Aurora sendiri
merasa Tuhan mencabut nyawa Eka tidak dalam keadaan waktu yang tepat. Bahkan
aku belum melihat senyum dan wajahnya yang ceria selama tiga bulan, pikirnya
saat dia menuju ke apartemennya dengan menggunakan taksi. Dia ingin mandi,
berdandan. Dia ingin tampil cantik untuk terakhir kalinya di hadapan Eka, pada
pemakamannya nanti. Tapi dalam perjalanan menuju apartemennya, dia masih
memikirkan perihal waktu dan soal Tuhan yang manasuka dalam mencabut nyawa,
menurutnya.
Hal yang membuatnya sedih kembali, dia
baru sadar hari ini adalah ulang tahunnya. Dia melihatnya di facebook. Orang-orang mengirimkan ucapan
selamat atas hari lahirnya di media sosial tersebut. Andai Eka masih hidup,
pikirnya. Bahkan dia belum sempat merayakan hari ulang tahunnya sendiri bersama
Eka. Beberapa tahun terakhir ini, dia merayakan ulang tahunnya di apartemennya
sendiri, bersama Eka, dengan acara kecil-kecilan belaka, dan ini ihwal yang
memilukan untuk diingatnya kembali. Tapi hari ini tidak ada perayaan
kecil-kecilan seperti biasanya, hal yang sangat menyedihkan baginya.
Dia dalam keadaan terpukul, itu sudah
jelas. Bantal, vas bunga, piring dan apa-apa saja yang ada di apartemennya
menjadi sasaran amuknya, betapa dia masih sulit melepaskan eka menuju arwana.
Dia masih memikirkan kekasihnya itu, yang sejak SMA telah menjalin asmara
dengannya. Tapi sesuatu yang mengejutkan saat dia membuka lemari es, dan dia
mendapatkan kue tar yang dihiasi tulisan ucapan selamat atas hari lahirnya di
atas kue tar tersebut. Seseorang diam-diam telah menyimpannya ke dalam lemari
es, dan hanya Eka yang bisa, sebab hanya dia yang memiliki duplikat kunci
apartemennya. Rasa haru lantas menyambar jiwanya yang rapuh. Bahkan, dia lebih
mengingatnya daripada saya, ungkapnya dalam keadaan sedih bercampur bahagia. Sejenak
dia menatap kue tar yang dibalut krim putih dan dihiasi krim warna-warni,
seperti aurora di musim salju yang beku.
Komentar
Posting Komentar