Kurikulum Prototipe dan Kualitas Guru


Tak ada angin tak ada hujan. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim tiba-tiba mengumumkan rencana menerbitkan kurikulum baru di  tahun 2022. Belakangan ini disebut dengan berbagai macam nama: kurikulum prototipe, kurikulum 2022, kurikulum sekolah penggerak, kurikulum paradigma baru. Bahkan, Kurikulum tersebut ternyata sudah mulai diuji coba di 2.500 Sekokah Penggerak. Pemeo klasik “ganti menteri ganti kurikulum” mulai bergema lagi.

Bagi saya, mengganti kurikulum adalah hal yang biasa saja. Perubahan kurikulum adalah keniscayaan. Kalau perlu jangan lima tahun sekali. Sebab kurikulum selalu harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Artinya, kurikulum bisa saja berubah di tahun pertama, atau tahun kedua sejak kurikulum tersebut diimplementasikan.

 Bahkan dalam teori kurikulum posmodern, perubahan desain kurikulum diizinkan ketika gagasan baru muncul di saat pembelajaran berlangsung. Guru dapat berimprovisasi dalam kelas tanpa harus terpaku sepenuhnya pada RPP, jika ada hal yang perlu direspons di luar dari lesson planing yang sudah disusun.

Yang repot jika perubahan kurikulum dilakukan karena menteri  baru ogah mengikuti kebijakan menteri sebelumnya. Sehingga memaksakan perubahan kurikulum tanpa riset mendalam dan uji publik yang memadai. Yang penting tampil beda, titk! Motivasi seperti inilah yang perlu dikritik saat kurikulum berganti karena bergantinya menteri. Apakah Nadiem Makarim masuk dalam kategori pejabat seperti  ini? Biarlah publik sendiri yang menilai.

Namun, semangat pendiri Gojek tersebut dalam pengembangan kurikulum prototipe patut diapresiasi dalam beberapa hal. Seperti penekanan pada fleksibilitas dan penyederhanaan kurikulum. Hal tersebut  membuka peluang  bagi guru untuk berinovasi. Nadiem Makarim sepertinya ingin menerapkan prinsip desentralisasi dalam pengembangan kurikulum.  Tentu langkah tersebut baik bagi masa depan pendidikan di Indonesia. Karena memberi kemerdekaan pada guru untuk mengadaptasi kurikulum sesuai  kebutuhan dan kemampuan siswa. Hal ini penting karena gurulah yang paling tahu kondisi siswa dan konteks sekolahnya masing-masing.

Selain Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), produk kurikulum di Indonesia cenderung menerapkan prinsip sentralisasi. Kurikulum sepenuhnya dirancang oleh pemerintah. Guru tinggal mengimplementasikan dokumen kurikulum yang sudah tersedia . Jadinya, guru hanya sekadar operator kurikulum saja, bukan pendidik. Penekanan pada fleksibilitas dalam kurikulum prototipe memberi angin segar bagi penerapan prinsip desentralitasi dalam kurikulum, seperti yang pernah diterapkan pada KTSP. 

Jika mengacu pada  dokumen kurikulum prototipe dari  Kemendikbud, kerangka dasar kurikulum ditetapkan oleh pemerintah pusat, namun satuan pendidikan dapat mengembangkan kurikulum operasional  sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan. Olehnya itu,  kurikulum prototipe menetapkan jam pelajaran per tahun agar sekolah dapat berinovasi dalam menyusun kurikulum dan pembelajaran.

Kemerdekaan berinovasi dalam kurikulum prototipe semakin didukung dengan struktur kurikulum yang sederhana dan mudah dipahami. Dibandingkan dengan kompetensi dasar kurikulum 2013 yang terlalu banyak dan terpisah-pisah, kurikulum prototipe menyederhanakannya dalam paragraf utuh yang mudah dipahami sebagai satu kesatuan. Bahkan istilah “kompetensi dasar” diganti menjadi “capaian belajar”.

Penyederhanaan tersebut membuat kurikulum prototipe hanya berfokus pada materi esensial saja guna memberi kemerdekaan pada guru dalam pengembangan kompetensi siswa. Jadi, guru tak hanya kekurangan beban menyusun RPP karena Nadiem Makarim membebaskan guru menyederhanakan RPP. Namun, guru juga tak lagi disibukkan mengejar ketuntasan penyampaian materi  karena kurikulum prototipe berfokus pada materi esensial saja.  Kebijakan tersebut memberi otonomi yang lebih luas bagi guru untuk berinovasi dalam mengkontekstualisaskan kurikulum sesuai kebutuhan siswa.

Secara konseptual kurikulum prototipe menarik. Namun kita tidak tahu apakah sudah berhasil diuji coba di 2.500 Sekolah Penggerak. Di samping itu, penerapannya yang senyap di 2.500 Sekolah Penggerak, membuat kurikulum prototipe luput dari uji publik. Padahal, produk kurikulum yang baik jika dikembangkan berdasarkan hasil masukan masyarakat , pakar, dan tentunya guru sebagai pihak yang akan mengimplementasikan kurikulum tersebut.

Di sisi lain, kita juga tidak tahu apakah kualitas guru sudah matang untuk diberi kemerdekaan dalam berinovasi. Otonomi guru memang sangat penting dalam pengembangan kurikulum. Namun, tentu dengan syarat guru sudah siap dari segi kualitas. Kita bisa belajar dari pengalaman penerapan KTSP. Saat diberi kelonggaran untuk mengembangkan kurikulum sesuai konteks sekolah masing-masing. Justu banyak sekolah yang hanya menjiplak silabus dan RPP dari sekolah lain.

Dalam penerapan kurikulum yang fleksibel, dibutuhkan guru yang berintegritas dan sanggup memikirkan gagasan kreatif dalam mengembangkan pembelajaran di kelas dan sanggup menjabarkan kurikulum  sesuai kebutuhan siswa dan konteks lokalnya masing-masing. Fleksibilitas kurikulum prototipe tak berarti apa-apa jika diterapkan oleh guru yang hanya menempatkan dirinya sebagai PNS, yang sekadar mengejar gaji bulanan, tapi tidak peduli dengan peningkatan mutu pendidikan.

Jika Nadiem Makarim serius menerapkan kurikulum yang fleksibel, maka fokuslah membuat program peningkatan kapasitas guru. Ciptakan guru intelektual yang sanggup memproduksi ide-ide kreatif dan cakap dalam berimprovisasi. Kalau perlu, ke depan, seleksi guru harus diperketat biar teruji kelayakannya sebagai pendidik. Kita bisa belajar dari Finlandia. Di negara dengan pendidikan terbaik itu, profesi guru sangat bergengsi. Karena untuk menjadi guru seleksinya sangat ketat. Maka wajar saja kualitas pendidikan Finlandia sangat bagus. Karena dibina oleh guru yang andal dan sudah teruji kapasitasnya. 

Terbit di Harian Fajar Kamis, 23 Desember 2021

Komentar

Populer Sepekan