Tentang Pemimpin, Bangsa Yang Gegar dan Kita


Indonesia yang Tunggang Langgang
Semua orang tahu, Republik ini dirancang dengan darah dan cucuran keringat: ihwal yang tak mudah. Inilah warisan yang tak ternilai dari para pendahulu kita. Namun kiranya, warisan ini tak betul-betul terawat dengan baik. Usaha heroik mereka terkhianati sudah oleh berbagai masalah yang kian berlarut-larut.

Tak bisa kita sangsi, Republik ini mulai meretak menjadi serpihan-serpihan yang tak berarti; ekses problem yang membebani. Apa yang kita sebut keberagaman di tubuh bangsa ini kian melapuk oleh pertikaian antar umat beragama. Ahmadiyah, Syiah dan kalangan minoritas lainnya kerap menjadi objek represi yang bengis oleh kelompok sektarian atas asumsi penyeragaman, bahwa semua harus menganut keyakinan mayoritas apapun caranya. Dalam sejarahnya yang timpa menimpa mencatat ada banyak korban berjatuhan. Sungguh situasi yang begitu tragis untuk Indonesia yang begitu bhineka.

Meski pertikaian umat beragama adalah sejumput masa silam yang kelam, namun kita mesti waspada, bahwa bisa saja hal demikian terulang lagi. Karena pemerintah terlalu lunak untuk bertindak tegas. Ia terlampau takut menegakkan keadilan di tengah-tengah gegap gempita warga negara yang tegang. Bahkan di Sampang, Madura, pemerintah daerah turut berperan mengusir kaum syiah. Mungkin masih hangat dikepala, pemerintah daerah di sana (diwakili bupati dan kepala dusun) memaksa warganya bertobat dengan menandatangani 9 ikrar yang telah disediakan. Seakan-akan keyakinan mereka adalah sebuah kesesatan yang sudah tentu final. Padahal, bukankah hidup rukun adalah sebuah pilihan yang indah? Sungguh ironis.

Yah, ironis memang. Kita hidup di pusaran bangsa yang gegar. Negeri ini telah lama di dera kemiskinan yang berkepanjangan. Namun malangnya, korupsi justru makin tumbuh berkembang. Dan situasi demikian adalah perihal yang begitu lumrah di Negeri ini. bahkan mungkin saja Indonesia lebih dikenal sebagai salah satu negara korup dari pada sebagai negeri dengan ragam pesona alam, suku dan kebudayaannya. Barangkali.

Korupsi adalah fakta yang tak terelakkan di tubuh Bangsa ini. Triliunan rupiah telah lenyap sia-sia. Padahal, uang segitu banyaknya bisa mengurangi sedikit derita kemiskinan masyarakat, atau membayar hutang negara yang begitu banyak. Namun apa daya, lagi-lagi di sini, pemerintah terlampau lunak dalam menyikapi fenomena demikian. Bahkan Institusi Negara kadangkala memberi perlindungan kepada para koruptor. Sebab di situ ada agenda kepentingan yang bermain: melindungi karena pelaku adalah kawan, atau melindungi karena pelaku berani membayar setinggi-tingginya.

Mungkin tak hanya korupsi dan soal perbedaan. Di Negara ini, terlampau banyak problematika yang tumpah ruah. Seperti pendidikan kita yang tak pernah serius dalam mendidik masyarakat. Warga negara yang miskin kesulitan mengakses pendidikan, oleh karena biayanya yang begitu mahal. Sedangkan warga negara yang mapan, pada akhirnya tak terdidik dengan baik. Mungkin iya, untuk kecerdasan intelektual. Namun kecerdasan emosional sungguh tak begitu terasah. Maka dari itulah kepekaan sosial tak begitu terbangun dengan baik dalam relung nurani di sebagian masyarakat yang katanya terdidik.

Di Negara ini juga telah lama menjadi sarang eksploitasi para investor asing. Sumber daya alam yang melimpah ruah tak pernah kita nikmati seutuhnya. Oleh karena kapitalis semakin hari semakin serakah, seakan-akan mereka tak memberi sisa kekayaan alam untuk kita. Lihatlah PT Freeport di bumi papua. Kegiatan tambang dalam memproduksi emas semakin mendulang keuntungan yang banyak. Sementara pemukiman rakyat di sekitar lokasi tambang mengalami pencemaran lingkungan yang kian menggila. Pun, buruh pabrik tak pernah betul mendapatkan kesejahtraan. Bahkan, menurut cerita yang beredar, jika buruh pabrik menuntut kesejahtraan, tak segan-segan pihak Freeport  menembak mati. Jika itu benar sngguh ihwal yang menyedihkan. Kita dijajah oleh  negara lain, sedang pemerintah berusaha menutup mata.

Sekelumit Harapan
Ah, problem kebangsaan seakan-akan mengalir tanpa jedah. Lantas, kepada siapa kita harus mengadu? Di tengah gelombang hingar bingar masalah yang terlampau banyak, sungguh merenggut korban dan kerugian yang tak sedikit. Dalam situasi seperti ini, apakah kita masih ingin berharap pada pemimpin yang terlampau lembek? Maka itu adalah sebuah pilihan yang tak konstruktif.

Mesti kita renungkan, Negara ini butuh perbaikan dengan segera. Maka, tak ayal lagi, Negara ini sebenarnya butuh pemimpin berkualitas; adil dan berani. Adil itu perlu bagi pemimpin bangsa. Agar kiranya ia  dapat bersikap bijak mengatasi problem warga negara yang kerap bertikai hanya persoalan perbedaan keyakinan. Pun dengan bersikap adil, tak ada lagi laku memihak yang berat sebelah; Yang salah mesti dihukum, sedang yang benar mesti diperjuangkan.

Pemimpin yang berani juga perlu untuk bangsa ini, agar kiranya koruptor dapat ditindak tegas dan memberinya sangsi yang betul-betul memberi efek jera.  Pun dengan ini,  eksploitasi oleh mesin kapital dapat dicegah agar tak berlarut-larut menguras kekayaan Indonesia, juga tak lagi mengotori hak asasi manusia. Yah, keberanian itu penting untuk dimiliki seorang pemimpin. Sebab kita terlampau lama menjadi bangsa inferior dan cemeng di hadapan negara-negara lain. sudah begitu banyak warisan kebudayaan Negeri ini yang coba dicuri oleh negara lain. Sedangkan pemimpin saat ini hanya taunya berdiam diri ketika harga diri republik ini dilecehkan. Dengan keberanian, bangsa ini tak lagi menjadi hamparan tanah yang remeh.

Marilah berkaca pada nenek moyang kita, sang pejuang yang gagah berani. Mereka tak kenal lelah untuk mempertahankan harga diri bangsa dibawah kekuatan penjajah. Nyawa yang mereka korbankan pada gilirannya membawa bangsa ini dapat berdiri sebagai salah satu negara dunia yang merdeka. Sungguh prestasi yang mengagumkan. Seharusnya pemimpin pada generasi saat ini mesti mengadopsi sikap berani yang diwariskan para nenek moyang, agar bangsa ini tak goyah ditempa intervensi kebiadaban dan kolonialisasi.

Momentum 2014, Fajar yang Merekah?
Tahun ini telah memasuki 2014. Tentu saja momen pemilu telah dekat. Ada kemungkinan situasi demokrasi kedepan tetap berjalan sebagai peristiwa malang yang didaur ulang: selalu tak ada semangat rekonstruksi, yang ada hanyalah perebutan kepentingan.  Namun, Bila toh kita masih berpikir untuk masa depan bangsa ini, kita mesti cerdas dan berhati-hati memilih pemimpin negara yang baru. Keadilan dan keberanian mesti menjadi tolak ukur kita. Meskipun kecerdasan dan moralitas tak bisa kita acuhkan begitu saja. intinya kualitas!

Yah, kita mesti menjadi warga negara yang cerdas dan berhati-hati. Jangan memilih atas dasar belas kasih, materi, serta asumsi-asumsi dangkal yang lainnya. Namun memilih pemimpin atas dasar kualitasnya. Ia mesti dicandra dari mutu hingga loyalitasnya terhadap rakyat dan harga diri negara.

Di sinilah dibutuhkan independensi sebagai masyarakat. Bahwa intervensi kepentingan mesti ditampik sejauh mungkin. Agar kiranya, kita dapat memilih dengan refleksi yang utuh tanpa gangguan apapun. Sebab saya sangat yakin bahwa semua orang dapat menilai siapa yang berkualitas dan siapa yang tidak. namun hal ini bisa runtuh saat campur tangan pihak tertentu telah menggerayangi kesadaran kita.

Seharusnya sikap demikian sudah mesti diterapkan dalam pesta demokrasi kedepan. Agar kita menjadi warga negara yang sedikit lebih maju. Pun, dengan sikap seperti ini, pemimpin yang terbaik dapat dimunculkan di tengah-tengah hingar bingar problem kebangsaan, menyelesaikannya, serta membangun indonesia lebih bermutu dan harmonis.

Komentar

Populer Sepekan