Ketika Sekolah Tak Lagi Menyemai Kebahagiaan
Pernah suatu ketika, saya menemukan
bebarapa orang siswa yang sedang asik ngobrol sambil menikmati sebatang rokok.
Cek per cek mereka sedang bolos sekolah. Itu saya ketahui saat kuhampiri mereka
dan mengajaknya bercerita. Saat kutanyai satu persatu mereka membolos dengan
motif yang sama: malas masuk sekolah.
Tak bisa kita sangsi, bahwa situasi
demikian adalah perihal yang telah berlarut-larut merasuki dimensi kedirian
siswa. Ia adalah Sebuah gejala yang mengeras dalam ruang habitus siswa. Bila
merujuk pada asumsi Boudieu, habitus dalam hal ini adalah kebiasaan yang telah
menancap begitu lama sebagai ekses dari konstruksi lingkungan. Maka pada posisi
ini, dapat dikata bahwa membolos yang kerap dilakukan siswa bukanlah sesuatu
yang natural, tetapi terbentuk oleh konstruksi lingkungan yang telah lama
menyelubungi dimensi pengalaman siswa.
Dengan demikian, sangat menyedihkan rasanya bila harus menuduh siswa itu sendiri sebagai subjek yang bertanggung jawab atas kebiasaan membolos yang kerap dilakukannya. Sebab ia adalah kebiasaan hasil konstruksi lingkungan, maka kita mesti curiga bahwa pastinya ada beberapa macam faktor yang membuat kebiasaan membolos bertahan dan mengakar sampai saat ini.
Namun faktor yang menjadi penting untuk
dipersoalkan adalah tak adanya kebahagiaan yang ditemukan siswa di lingkungan
sekolah. Itulah sebabnya sebagian siswa selalu mencari kebahagiaan lain di luar
sekolah. Dan ini sifatnya fatal. Semakin siswa berusaha mencari kebahagiaan di
luar sekolah, semakin ia terjerumus dalam lubang hitam pergaulan. Sebab kita
tahu, anak kecil maupun remaja memiliki sifat latah yang sangat kuat. Apa yang
populer selalu ingin ditiru meskipun itu sesuatu yang merugikan. lantas apa
yang menyebabkan kebahagiaan kian kering di lingkungan sekolah?
Krisis
Kualitas Guru
Kuat dugaan, bahwa keringnya
kebahagiaan di sekolah disebabkan proses pembelajaran di sekolah terlampau
membosankan. Itu di karenakan guru saat ini hanya menggunakan metode belajar
yang itu-itu saja: ceramah, diskusi, tanya jawab. Padahal model pempelajaran
yang menyenangkan saat ini berkembang dengan pesat namun sayang jarang dijemput
dengan hangat oleh para tenaga pengajar kita.
berdasarkan problema diatas, maka wajar
saja para murid selalu merasa bahwa sekolah itu tak menyenangkan, sebab begitu
statisnya proses pembelajaran disekolah mengakibatkan aktivitas pedagogik
terasa jumud. Dan kondisi demikian pastinya menciptakan rasa bosan yang
berlarut-larut.
Di samping itu, kebanyakan guru tak
lihai dan kreatif menggunakan media pembelajaran. Maka wajar saja bila proses
pembelajaran yang terjadi di kelas sangat standar dan biasa-biasa saja. Hal ini
pastinya mengurangi gairah belajar murid sehingga lama kelamaan menimbulkan
rasa bosan.
Perlu diketahui, selain menarik etos
belajar siswa, penggunaan media juga turut membentuk rasa senang murid. Sebab
berbeda kiranya sensasi yang dihasilkan media slide dan media video dibanding
media gambar yang standar bila di implementasikan dalam proses pembelajaran. Perihal
seperti ini pun sangat menguatkan keyakinanku bahwa profesionalisme para
pendidik kita sudah semakin tumpul.
Mengakarnya Pengekangan terhadap Murid
Pun, perihal yang membuat siswa tak
merasa bahagia yakni di mata siswa, guru dipandang sebagai sosok yang menakutkan
(bahasa kerennya sosok yang killer).
Bagaimana tidak, guru terkadang menjadikan siswa sebagai objek, layaknya
benda-benda mati yang dapat diperlakukan semaunya. Pemberian hukuman melalui
penyiksaan fisik kepada siswa kerap kali dilakukan oleh guru.
Pemberlakuan siswa sebagai objek juga
sering terjadi dalam ruang kelas. Di mana, saat proses pembelajaran berlangsung,
siswa dipaksa menjadi sosok yang secara mekanis mesti menelan mentah-mentah apa
yang disampaikan guru tanpa adanya proses dialogis di dalamnya. Maka wajar saja
bila pemikir sekelas Freire sangat sinis pada fenomena pendidikan saat ini. Di mana, proses pembelajaran yang nampak sangat
dikotomis dan hirarkis. Selalunya murid ditempatkan pada posisi objek dan guru
berkuasa pada posisinya sebagai subjek.
Situasi di atas jelas membuat murid
selalu tak betah berlama-lama di sekolah. Bahkan murid selalu mendambakan pulang
lebih cepat bila berada di lingkungan sekolah akibat sekolah selalu di persepsi
murid sebagai lingkungan yang menakutkan. Sepertinya guru kian terjangkit
penyakit psikologis oleh apa yang Erik Fromm sebut sebagai nekrofilia: semacam
penyakit kejiwaan yang digambarkan Erick Fromm sebagai hasrat untuk mengubah sesuatu yang hidup menjadi sesuatu yang tak hidup,
menghancurkan demi kehancuran itu sendiri, ketertarikan khusus terhadap segala
sesuatu yang murni mekanis.
Sebuah Refleksi
Ah, Apakah pemerintah kita tak tahu
atau seolah-olah tak tahu, bahwa lingkungan sekolah telah berada pada situasi
yang tak normal? Inilah problemnya. Sebenarnya membuat siswa bahagia adalah
perihal yang sangat penting dalam pendidikan, namun kerap kali diabaikan begitu
saja. Itu karena commonsense yang berlaku
saat ini adalah bahwa pendidikan hanyalah berurusan dengan transfer pengetahuan
belaka. Padahal sejatinya, kenyamanan dan kebahagiaan siswa juga mesti
diperhitungkan.
Hal ini penting demi mengurangi kebiasaan
membolos para siswa. Sebab, apa lagi gunanya membolos jika sekolah telah
menyediakan kenyamanan dan kebahagiaan? Dan tak hanya itu, kenyamanan dan
kebahagiaan siswa turut mempengaruhi motivasi belajar siswa. Sebab, kenyamanan dan kebahagiaan siswa
petanda ia berada pada kondisi emosi yang positif. Semakin siswa berada pada
kondisi emosi yang positif, maka semakin memantik minat belajarnya. Dan hal ini jelas akan
berimplikasi pada pengembangan potensi dan bakat siswa.
Setidaknya pembenaran asumsi demikian
dapat kita temukan dari pendapat bebeberapa ahli. Menurut pakar Accelerated Learning, Rose &
Nicholl, bila emosi positif terbangkitkan maka “at-at
keceriaan” yang disebut endorfin dalam otak akan terbentuk. Hal ini akan memicu
meningkatnya aliran neurontransmister. Bila hal ini terjadi maka memungkinkan
terjadinya sambungan antar sel otak.
Dan menurut Menurut Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya belajar berbasis otak, makin banyak hubungan yang dilakukan yang
dilakukan oleh sel-sel otak, makin
baik seseorang dalam belajar.
Maka pada akhirnya kebahagiaan siswa
turut menentukan pengembangan potensinya juga. Seperti apa yang diasumsikan
oleh Aristoteles bahwa semakin bahagia seseorang, maka semakin seseorang
berhasil mengembangkan potensi dan bakatnya. Inilah alasan mengapa kebahagiaan
siswa tak boleh dipandang sebelah mata. Ia mesti dipantik agar siswa tetap
menganggap sekolah sebagai zona nyaman yang penuh hingar-bingar kegembiraan. Hal
demikian akan turut membangun gairah belajar siswa. Apalah arti sekolah bila
kering akan kebahagiaan? Dan apalah arti sekolah bila lingkungannya justru
mengekang siswa? Bukankah dengan ini, sekolah
tak ada bedanya dengan penjara? []
Komentar
Posting Komentar