Empat Tweet Tentang Filsafat
I
Filsafat hadir untuk melawan dogmatisme, suatu sikap yang memegang teguh keyakinannya sebagai kebenaran mutlak dan tak perlu dipertanyakan lagi. Dogmatisme membuat pikiran semakin tertutup dan tak ada toleransi untuk keyakinan lain yang dianggap berbeda. Seorang yang berfilsafat seharusnya tak terjebak dalam dogmatisme seperti itu.
Sebab ia terlatih untuk bersikap kritis. Bahkan filsafat memandang agama seharusnya dipahami secara rasional, dan tak hanya meyakininya sebagai ajaran yang turun menurun diwariskan secara dogmatis tanpa pertanyaan dan interupsi. Keyakinan yang dihasilkan dari pencarian filosofis pasti adalah keyakinan yang dibangun melalui fondasi pengetahuan yang kokoh dan mendalam.
Jika kamu merasa bahwa Tuhan itu benar-benar ada, maka carilah Tuhan di dalam pikiranmu. Berfilsafatlah. Pikiran memiliki kekuatan maha dasyat yang sanggup membawamu ke sebuah realitas metafisik yang tak bisa ditundukkan oleh sains. Ketika di ujung jalan kamu mendapati bahwa ateismelah yang benar. Silakan mempertanggungjawabkan keyakinan itu.
Tapi ingat, tak sedikit orang-orang yang berfilsafat justru semakin menguatkan keimanannya terhadap ajaran agama yang ia peluk. Filsafat mengajari kita untuk menghargai perbedaan pendapat. Meski harus saling menyangksikan pendapat satu sama lain, silang pendapat tersebut dilakukan melalui jalan dialog: argumen lawan argumen, bukan dengan jalan kekerasan.
Saat kamu telah asyik berfilsafat, jangan sekali-kali menjadi manusia yang merasa tahu segalanya. Berarti Anda gagal berfilsafat. Sebab, seharusnya semakin kita berfilsafat, semakin kita tidak pernah puas dengan apa yang telah kita ketahui. Selalulah merasa "tak tahu apa-apa" agar pikiranmu terus bekerja mencari tahu hakikat kehidupan, secara terus menerus, tanpa henti, sampai maut menjemputmu.
Untuk itulah, orang-orang yang berfilsafat selalu ingin tahu, selalu ingin belajar, sebab ia memahami bahwa dunia yang kita huni menyimpan sejuta misteri yang belum terpecahkan. Bahkan pengetahuan kita hari ini kelak akan kembali diperiksa ulang, membuang yang telah usang dan kembali mencari yang baru. Walhasil, jangan takut berfilsafat, agar kamu kritis, bijak, dan tercerahkan.
Jika kamu merasa bahwa Tuhan itu benar-benar ada, maka carilah Tuhan di dalam pikiranmu. Berfilsafatlah. Pikiran memiliki kekuatan maha dasyat yang sanggup membawamu ke sebuah realitas metafisik yang tak bisa ditundukkan oleh sains. Ketika di ujung jalan kamu mendapati bahwa ateismelah yang benar. Silakan mempertanggungjawabkan keyakinan itu.
Tapi ingat, tak sedikit orang-orang yang berfilsafat justru semakin menguatkan keimanannya terhadap ajaran agama yang ia peluk. Filsafat mengajari kita untuk menghargai perbedaan pendapat. Meski harus saling menyangksikan pendapat satu sama lain, silang pendapat tersebut dilakukan melalui jalan dialog: argumen lawan argumen, bukan dengan jalan kekerasan.
Saat kamu telah asyik berfilsafat, jangan sekali-kali menjadi manusia yang merasa tahu segalanya. Berarti Anda gagal berfilsafat. Sebab, seharusnya semakin kita berfilsafat, semakin kita tidak pernah puas dengan apa yang telah kita ketahui. Selalulah merasa "tak tahu apa-apa" agar pikiranmu terus bekerja mencari tahu hakikat kehidupan, secara terus menerus, tanpa henti, sampai maut menjemputmu.
Untuk itulah, orang-orang yang berfilsafat selalu ingin tahu, selalu ingin belajar, sebab ia memahami bahwa dunia yang kita huni menyimpan sejuta misteri yang belum terpecahkan. Bahkan pengetahuan kita hari ini kelak akan kembali diperiksa ulang, membuang yang telah usang dan kembali mencari yang baru. Walhasil, jangan takut berfilsafat, agar kamu kritis, bijak, dan tercerahkan.
II
Saat hoaks dan fitnah bertebaran di mana-mana, saat kedangkalan informasi menekuk akal sehat jutaan manusia Indonesia, di sinilah pentingnya belajar filsafat. Filsafat akan membuat kita semakin berhati-hati dalam menyaring dan menjustifikasi nilai kebenaran suatu informasi. Sebab filsafat mengajak kita untuk bersikap kritis terhadap suatu hal.
Dengan melatih sikap kritis, filsafat akan sekaligus melatih akal sehat kita untuk selalu bertanya dan merefleksikan secara rasional suatu kabar yang mengerubingi pikiran kita, agar bisa dibedah sampai ke akar-akarnya, guna menjernihkan pemahaman kita terhadap suatu hal. Pada fase selanjutnya, filsafat akan membuat kita terbiasa untuk mandiri dalam bernalar.
Kita akhirnya punya benteng rasionalitas yang kukuh, yang membuat kita tak mudah untuk membenarkan segala informasi sebelum ia diperiksa secara reflektif, kritis dan "radikal". Sebab benteng rasionalitas kita terlalu kukuh untuk diindoktrinasi.
Akhir kata, dengan belajar filsafat, informasi-informasi sesat akhirnya tak bermakna apa-apa, sebelum ia melewati benteng rasionalitas kita, sebelum ia dikeroyok oleh pertanyaan dan pernyataan filosofis kita.
III
Jangankan filsafat sudah mati. Bahkan sains, agama, maupun sastra dan seni (jika keduanya dianggap sebagai cara manusia menghampiri kebenaran) juga sudah mati jika kita menyetujui tak ada lagi fondasi, kepastian, ikhwal yang esensial, berakhirnya narasi besar (meminjam istilah Loytard) dan tak relevannya lagi metafisika kehadiran (meminjam istilah Derrida).
Tapi apakah dunia yang kita huni memang seperti itu? Apakah yang absolut tak bisa lagi direngkuh, apakah tak ada lagi fondasi yang bisa jadi pegangan bagi manusia untuk mencari kepastian? Bahkan ketika kita hendak berdebat soal pertanyaan-pertanyaan ini, kita akhirnya harus berfilsafat lagi.
IV
Membela filsafat dan agama dari para pendukung fanatik sains bukan berarti anti-sains. Orang-orang yang waras pasti mahfum jika sains sangat berguna bagi kehidupan manusia. Malah secara praktis-pragmatis sains lebih berguna dari filsafat dan agama. Harus kita akui itu.
Saya pun mengakui sains (natural sains dan sosial sains) sejenis pengetahuan terbaik manusia untuk menyibak misteri realitas empiris. Hanya orang-orang bodoh yang ingin menggunakan filsafat dan agama untuk menjawab pertanyaan "bagaimana mengobati penyakit jantung". Anda butuh dokter untuk menyelesaikan problem penyakit jantungmu.
Hanya saja para pendukung fanatik sains semakin lama semakin menggemaskan. Fanatismenya sudah semakin keras kepala, sama batunya dengan fanatisme beragama. Saat ini mereka mencoba untuk mengeliminasi aparatus pengetahuan lain hanya untuk meneggakkan sains sebagai satu-satunya cara manusia memahami semesta.
Segampang itu kah semesta yang kompleks dan multidimensi ini--yang tak hanya berciri materi namun juga metafisis dan spiritual--dipahami hanya dengan sains, apalagi hanya mengandalkan metodologi ilmu pasti? Pertanyaan itu pasti akan menghasilkan perdebatan yang tak berkesudahan. Kecuali kita dengan rendah hati mengakui setiap jenis pengetahuan memiliki cara tersendiri dalam memahami semesta, berdasarkan pada bidang dan cakupan wilayahnya masing-masing.
Komentar
Posting Komentar