Yang Bermula dan Berakhir di Antara Jutaan Butir-butir Hujan

 

Ilustrasi: www.wallpaperflare.com
 

Jika Tuhan berbaik hati mempertemukan kita, aku hanya ingin mengucapkan satu pertanyaan untukmu: apa kabar, Lau? Pertanyaan itu menyiratkan satu hal sebenarnya: kita sudah tidak lagi bertemu dalam jangka waktu yang amat lama.

Yah, masa telah melintas dari purnama ke purnama, dari Desember ke Desember, dan kita tak pernah lagi bercakap-cakap soal manis geritnya masa lalu, dan bagaimana mengupayakan agar masa depan bisa dipilih sesuka hati. Tapi persoalan itu sudah terjawab, Lau: masa lalu memang getir dan kita gagal merengkuh masa depan sendiri.

Kita berdua telah menjalani hidup yang mulanya tidak pernah disepakati, dan rekam kenangan ternyata bukanlah perilah yang mudah untuk aku tepis. Entah, kau telah berhasil atau belum, aku tak tahu.

Jika memang tiap narasi tentang kita telah kau abaikan, aku berharap masih ada sisa patahan fragmen mengambang di pikiranmu: apakah kau masih ingat ketika kita selalu mencoba menangkap tiap butir hujan berjatuhan, saat masih bocah dulu?

Aku berharap Tuhan berbaik hati mempertemukan kita. Sebab aku ingin menceritakan perihal yang mungkin telah menjadi omong kosong di kepalamu: selalu ada waktu yang aku curi untuk mengulang-ulangi kebodohan masa kecil itu, Lau.

Aku masih melakukannya, di bulan Desember ini, meskipun tidak sesering dulu. Tentu tak pernah berhasil menggenggam sebutirpun. Tapi aku menyukai kedunguan ini saat tak ada cara lain untuk merayakan kenangan dengan sangat bergairah.

Mungkin aku bisa mengenangmu dengan memandangi buku Germinal peninggalan terakhirmu yang suci dari debu karena ia yang paling rajin kukeluarkan dari rak buku. Atau aku bisa bercinta dengan seorang lelaki di ranjangku untuk merepetisi tiap adegan seks kesukaan kita, agar bisa kuhasrati kehadiranmu.

Tapi entah mengapa derai hujan dan wangi tanah basah selalu menjadi material yang tepat untuk memugar ingatan. Tapi memang, aku gagal menepis kenangan tentang langkah kakimu yang pelan-pelan melebarkan jarak dan membuat butir-butir hujan merampas bayanganmu, hingga menghilang, di suatu pertengkaran itu. Dari awan gelap, air langit yang jernih, dan halilintar yang menggema, kita memulai dan sekaligus mengakhiri cerita.

kita memulai dan sekaligus mengakhiri cerita........

Tentu Desember ini bukan soal hujan yang menggairahkan kenangan tentang kita, Lau. Desember adalah bulan ketika aku gagal mengejarmu di stasiun kereta api setelah 2 tahun tak melihat wajah dan tubuhmu yang hanya bisa kutemui dalam imaji yang kadang muncul dan tenggelam mengikuti frekuensi rindu.

Aku berharap di waktu yang mendesak itu Tuhan berbaik hati mempertemukan kita. Sebab ada banyak.... Yah, ada banyak kesalahpahaman ini yang perlu kuluruskan, Lau. Entah, seberapa mudah hatimu menerima tiap-tiap alasan yang telah kupersiapkan jauh-jauh hari jika kelak kita akan bertemu. Tapi tak ada yang lebih menghibur diriku saat kau tahu jika selama ini separuh nafasku habis untuk menemukanmu di antara 250 juta manusia.

Jika Tuhan berbaik hati mempertemukan kita, aku hanya ingin mengucapkan satu pertanyaan untukmu: apa kabar, Lau?

Komentar

Populer Sepekan