Larut dalam Samudra Simbol-simbol: Masyarakat Konsumer dan Permasalahannya
Kapitalisme
Pasca-Fordisme dan Lahirnya Masyarakat Konsumer
Sekitar sebulan yang lalu, di Pantai Akkarena, AHM bekerja
sama dengan Astra Motor Makassar menggelar acara Honda Bikers Day. Selain menggelar
beragam event untuk para bikers, AHM
juga memboyong konsep produk motor trail
berkecepatan 150cc. Produk itu dipajang di gelaran tersebut, agar pengunjung
dapat melihat-lihat produk yang baru sebatas contoh itu. Hal ini dilakukan agar
manajemen AHM dapat mempelajari hasrat konsumen mengenai motor trail seperti yang
diinginkan konsumen itu sendiri.
Pihak AHM tentunya mempelajari keinginan-keinginan konsumen
itu melalui masukan-masukannya soal produk itu. Semua masukan itu ditampung, dipilah-pilah,
agar menjadi patokan untuk mengembangkan kembali motor trail 150 itu agar
sesuai dengan animo pasar. Dengan kata lain: agar sesuai dengan hasrat
konsumen.
Model produksi yang semacam ini sudah menjadi strategi umum
bagi sebagian besar korporasi raksasa. Kalla Toyota sebagai main diler resmi
Toyota di wilayah Indonesia Timur juga melakukan hal yang serupa. Sekitar seminggu
yang lalu, di gelaran Kalla Toyota SALE 2017, Kalla Toyota juga turut
memamerkan model terbaru Sienta yang diberi nama Sienta Ezzy. Line up terbaru Sienta ini juga masih
sebatas product concept. Pengembangan
selanjutnya akan dilakukan jika pihak Toyota telah mengetahui respon masyarakat
soal produk itu, dan mencatat semua keinginan-keinginan mereka.
Ada catatan penting dari dua peristiwa di atas. Di era
kapitalisme mutakhir (pasca industrial), setiap komoditi diproduksi sesuai dengan
permintaan konsumen. Artinya, sebelum komoditi
diproduksi, kapitalisme melakukan komunikasi konstan kepada konsumen terlebih
dahulu, untuk mendapatkan data mentah soal apa yang paling diinginkan konsumen,
baru setelah itu komoditi dibuat.
Berbeda dari model kapitalisme klasik (industrial) yang sifat produksinya
didasarkan pada sistem produksi massal tanpa mempertimbangkan domain konsumen
sebagai syarat utama produksi. Dalam
bahasa marxisme otonomis, era kapitalisme kontemporer dibilangkan sebagai
kapitalisme pasca-fordisme dan era kapitalisme industrial disebutnya sebagai
kapitalisme fordisme. Kedua istilah ini akan kita pakai dalam studi
selanjutnya.
Sayahdan, mengikutsertakan permintaan-permintaan konsumen
adalah hal yang sangat penting dalam sistem produksi kapitalisme pasca-fordisme.
Sebab, konsumen hari ini cenderung mengkonsumsi suatu komoditi jika objek itu
menawarkan makna sosial yang dapat mengangkat prestise, kemewahan, kehormatan,
dan meningkatkan gaya hidup. Sehingga, agar dapat laris di pasar, suatu komoditi
mesti dirancang sesuai apa yang dicari oleh konsumen.
Untuk itulah, produk-produk kapitalisme era kiwari selalu
menawarkan diferensiasi. Maksudnya, suatu objek komoditi dibuat dengan
mengikutsertakan produksi makna-makna
yang berbeda dari tawaran produk perusahaan lain. Hal ini dilakukan agar suatu produk dapat
menarik perhatian calon pembeli, sembari memberi keyakinan, jika produk inilah
yang sedang dicari-cari oleh mereka.
Bagaimana orang bisa tahu jika suatu produk betul-betul jadi
objek yang sedang dicarinya? Di sini, kapitalisme pasca-fordisme punya
strategi: produksi isi informasional dan kultural dari komoditi. Atau dalam
istilah kaum marxisme otonomis, disebut sebagai produksi nilai imaterial. Di
sini, semakin nampak perbedaan antara kapitalisme fordisme dengan
pasca-fordisme. Kapitalisme model kedua ini tidak hanya memproduksi nilai
material dari suatu komoditi, namun juga memproduksi nilai imaterialnya.
Produksi imaterial hanya menjadi mungkin terjadi jika ada
pekerja imaterial yang bertugas
memproduksi isi informasional dan kultural dari komoditi. Pekerja
imaterial ini bisa berupa desainer, biro iklan, dan biro pemasaran—Antonio
Negri dan Michael Hardt, dua pentolan marxisme otonomis menyebutnya sebagai
kaum kognitariat. Artinya, kapitalisme pasca-fordisme sangat membutuhkan
tangan-tangan kreatif dan kepiawaian komunikasi dari seseorang kaum kognitariat
untuk memproduksi dimensi imaterial dari komoditi.
Desainer akan bertugas merancang model virtual motor trail
anyar AHM untuk diperlihatkan oleh masyarakat melalui televisi, Youtube,
Instagram, Facebook, media cetak, hanya untuk mengabarkan jika motor impian
masyarakat telah hadir dan siap mengaspal.
Tentunya, publikasi komoditi anyar ini sudah disertai dengan berbagai
informasi-informasi soal kecanggihan, kemutakhiran dan betapa gaul dan mewahnya
motor ini, sambil menyisipkan model yang biasanya selalu perempuan agar dapat
berfungsi sebagai perangkat bujuk rayu.
Apa yang ingin
dicapai oleh kapitalisme pasca-fordisme ini adalah menciptakan masyarakat yang
memiliki hasrat menggebu-gebu untuk terus membeli dan mengkonsumsi. Dengan
strategi produksi yang berpusat pada konsumsi, dengan kecenderungannya memproduksi
nilai imaterial berikut makna-makna sosial dari komoditi, kapitalisme
pasca-fordisme sekaligus berhasil menciptakan model masyarakat yang kemudian
hari disebut-sebut sebagai masyarakat konsumer.
Seperti inilah kondisi masyarakat hari ini. Di bawah bendera
kapitalisme pasca-fordisme, hasrat konsumtif dipacu melalui pengaruh daya pikat
komoditi, yang memang sengaja dirancang dengan mengikutsertakan kode-kode
tertentu agar dapat menginterpelasi masyarakat untuk terus membeli dan
mengkonsumsi. Di era kiwari, kapitalisme terus melanggengkan ideologinya dengan
menciptakan dan meningkatkan kapasitas konsumsi melalui diferensiasi produk,
iklan, pemutakhiran kemasan agar nampak jika produknyalah yang selama ini
diidam-idamkan oleh masyarakat konsumer.
Hingga masyarakat semakin bergairah untuk membeli, berdampak pada derasnya
akumulasi modal kapitalisme.
Pada pembahasan selanjutnya, akan difokuskan untuk membahas
kondisi masyarakat konsumer. Sekaligus kita akan membahas bagaimana masyarakat
konsumer ini dirangsang hasrat konsumtifnya justru melalui ilusi-ilusi hiperrealitas
yang diciptakan oleh kapitalisme pasca-fordisme melalui kekuatan teknologi
informasi dan media massa. Hingga akan dibahas bagaimana masyarakat konsumer tenggelam
dalam gairah konsumsi: menuju pembalikan radikal atas nilai-nilai.
Masyarakat
Konsumer: Merayakan Realitas Semu, Membebaskan Hasrat
Sekali lagi ditegaskan, masyarakat konsumer sesungguhnya
adalah anak kandung dari kapitalisme pasca-fordisme. Lahir dengan menjadikan
konsumsi sebagai pusat aktivitas kehidupan. Besarnya kecenderungan konsumtif
masyarakat konsumer ini, menjadikan motif konsumsinya tidak lagi berpusat ke
nilai guna dan nilai tukar, tapi lebih ke arah konsumsi makna-makna sosial,
yang kemudian disebut oleh Jean Paul Baudrillard, seorang sosiolog Prancis
sebagai nilai simbol (nilai tanda).
Di sini, Baudrillard memisahkan diri dari Karl Marx. Jika
dulu Marx meyakini, intervensi nilai guna dan nilai tukar sebagai motif utama
seseorang mengkonsumsi, tapi Baudrillard, melalui analisisnya pada kondisi era
kiwari, melihat asumsi itu sudah tidak relevan lagi. Masyarakat kini lebih
menekankan nilai simbol sebagai motif utama mengkonsumsi.
Tentu, kecenderungan konsumsi masyarakat hari ini
dipengaruhi sepenuhnya oleh strategi-strategi ekonomi kapitalisme pasca-fordisme.
Gairah konsumsi masyarakat didorong sepenuhnya oleh pengaruh nilai simbol yang
ditanamkan kapitalisme di dalam produk-produknya. Nilai simbol ini tentu selalu
disesuaikan bentuknya terhadap bentuk-bentuk hasrat masyarakat, dan terhadap
fantasi masyarakat mengenai suatu produk yang selama ini ingin dimilikinya.
Jika saat ini, masyarakat memiliki hasrat untuk tampil mewah, artistik,
berkelas, dan ingin memiliki aksesoris tubuh yang seperti dimiliki oleh
selebriti idolanya, maka animo pasar ini yang ditangkap oleh kapitalisme dan
diinternalisasi dalam produk-produknya: menjadi nilai simbol.
Kapitalisme pasca-fordisme ini punya cara agar masyarakat
dapat mengakses kumpulan-kumpulan produk yang telah dicekoki berbagai macam nilai
simbol itu: melalui kemampuan membangun citra yang dimiliki teknologi informasi
dan media massa. Kapitalisme di era kiwari memang sangat diuntungkan oleh
teknologi informasi dan media massa. Pengiklanan produk dapat bergerak cepat
hingga bisa sesigap mungkin sampai ke masyarakat.
Lewat televisi,
Facebook, Instagram, situs-situs website, komoditi ditampilkan dengan beragam
efek-efek virtual dan artis (model) yang menyertainya, sambil mengkomunikasikan
makna-makna sosialnya ke khalayak. Melalui sinetron, reality show, komoditi
yang dikenakan sang artis lantas memancarkan semangat gaya hidup yang mengguncang
hasrat penontonnya. Melalui dunia maya dan layar kaca, komoditi menjadi
tontonan, dan di sinilah awal mula gairah konsumsi itu dimulai: hasrat dipacu untuk
terus membeli dan membeli.
Tentu, terserapnya penonton ke realitas virtual itu punya
problem tersendiri. Apakah mereka sadar
tengah memasuki realitas semu? Sadar atau tidak, ketika kita tengah larung
dalam citra-citra komoditi yang saling hadir dan meniadakan di dunia maya dan
layar kaca, sesungguhnya kita telah terjebak dalam sebuah dunia yang disebut
Baudrillard sebagai hiperrealitas. Yakni realitas semu dan fantasi yang selalu
diandaikan lebih nyata dari kenyataan itu sendiri dan menjadi refleksi manusia
untuk membangun identitasnya.
Kita seolah-olah melihat kenyataan. Namun sesungguhnya,
citra-citra yang hadir silih berganti itu hanyalah duplikat realitas, terbentuk
melalui apa yang disebut Baudrillard sebagai proses simulasi. Bahkan, dalam dunia
simulasi, manusia sesungguhnya mendiami sebuah dunia di mana perbedaan antara
nyata dan fantasi, benar dan salah, amatlah tipis.
Apa konsekuensi dari terserapnya manusia ke dalam ruang
simulasi? Pertama, mengikuti asumsi
Baudrillard, khalayak akan menjadi massa yang diam. Itu artinya, citra-citra komoditi
hanya mengalir deras memasuki kesadaran penonton, tapi tidak ada bekas apa-apa
yang tertinggal dari tontonan itu kecuali terbentuknya gairah untuk membeli dan
menirukan segala yang tampak dalam tontonan.
Tak ada makna apa-apa yang terserap seperti makna-makna
intelektual, moral, spritualitas, selain hanya meyisakan seorang individu yang
keinginan-keinginan konsumtifnya tengah dibentuk oleh iklan. Ringkasnya, tak
ada kedalaman apapun yang ditemukan dari tontonan-tontonan simulasi. Yang ada
hanyalah kedangkalan imajinasi yang sedang berfantasi untuk mengikuti gaya
hidup sang artis idola: untuk itu seseorang akan bergegas ke pusat
perbelanjaan, untuk membeli dan membeli.
Kedua, jika perbedaan antara nyata dan fantasi, benar dan
salah dalam dunia simulasi sudah amat tipis, maka segenap makna yang diterima
masyarakat melalui saluran citra-citra akan semakin sulit pula untuk ditinjau
kebenaran dan keasliannya. Kondisi paling ekstrim, dunia simulasi selalu akan
dianggap lebih riil dibanding kenyataan yang sesungguhnya (hiperrealitas).
Sebab, tak jarang jeleknya wajah kita selalu ingin dirubah oleh konsumsi
kosmetik semahal apapun. Oleh karena kita lebih percaya pada ilusi nilai simbol
yang ditampilkan iklan-iklan dari pada menerima kenyataan apa adanya.
Ketiga, merayakan dunia simulasi, berarti merayakan
pembebasan hasrat. Belantara komoditi, tanda-tanda,
makna-makna semu dalam dunia simulasi membangkitkan hasrat manusia untuk bebas
merasakan gairah kesenangan di hadapan objek tontonan. Hingga menceburkan diri
dalam keterpesonaan akan benda-benda dan citra-citra tubuh yang tampil
menakjubkan di layar kaca, dunia maya atau pada etalase-etalase mal.
Dari sini, hasrat seakan diminta untuk segera memuaskan
diri. Musik rock, sepak bola,
iklan-iklan, gaya hidup Raisa akhirnya menjadi pemicu dari meledaknya gairah
untuk lebih banyak lagi mengkonsumsi, dan berbelanja. Ada hasrat untuk tampil
lebih rock, untuk tampil lebih karismatik serupa Cristiano Ronaldo. Dan,
dorongan hasrat itu hanya terpenuhi jika sang subjek bergegas mengkonsumsi.
Yasraf Amir Piliang dalam Buku Dunia yang Dilipat, sejak awal telah mengatakan jika masyarakat
konsumer adalah corak masyarakat yang menjadikan hasrat sebagai bagian utama
kehidupan. Kondisi masyarakat konsumer
saat ini, dalam kacamata Yasraf, adalah
kondisi yang di dalamnya hampir seluruh energi dipusatkan bagi pelayanan hasrat—hasrat
kebendaan, kekayaan, kekuasaan, seksual, ketenaran, popularitas, kecantikan,
kebugaran, keindahan, kesenangan.
Hal tersebut tentu berdampak pada runtuhnya nilai-nilai
luhur dan kedalaman pada dimensi kehidupan manusia. Gelora hasrat yang semakin
mabuk di hadapan benda-benda, citra-citra
selebriti, konser musik, tidak menyisakan ruang bagi diri sendiri untuk
melakukan penajaman hati, penumbuhan kebijaksanaan, peningkatan kesalehan dan
pencerahan spritual.
Masyarakat konsumer adalah masyarakat yang larut dalam
kesenangan, dan tidak menyisakan ruang untuk refleksi dan merenung. Di balik
pelepasan hasrat ini, tentu ada yang paling diuntungkan: kapitalisme itu
sendiri. Gairah konsumsi tanpa batas masyarakat hari ini, semakin mempercepat
akumulasi modal kaum kapitalis. Artinya, ramalan Marx mengenai kehancuran
kapitalisme akibat kontradiksi dalam dirinya sendiri perlu untuk dievaluasi
kembali.
Terbebasnya hasrat manusia ini oleh permainan simbol yang
diciptakan kapitalisme, kembali menghadirkan persoalan baru dalam diskursus
kapitalisme itu sendiri: batas-batas moralitas kian meluruh. Gairah tak
terbatas masyarakat dalam mengkonsumsi simbol,
semakin berdampak pada hilangnya tabu, kerahasiaan, moral, dan kesopanan dalam aktivitas
kehidupan. Seorang perempuan rela berpenampilan seksi untuk mendapatkan sensasi
akan kecantikan. Ia tak kenal lagi konsep tabu, tak perlu lagi ada rahasia bagi
organ intimnya, karena hasrat untuk
mendapatkan pengakuan lebih penting dari itu semua.
Syahdan, persoalan sosial yang menonjol kini dalam diskursus kapitalisme bukan lagi
hanya masalah konflik sosial yang tersembunyi di balik relasi produksi, dan
alienasi kaum pekerja. Namun juga telah merambat ke persoalan tenggelamnya
nilai-nilai luhur dalam gairah konsumsi masyarakat atas simbol-simbol.
Komentar
Posting Komentar