Kota Melahap Ruang Bermain Anak-anak


Doc: Foto pribadi

Jika saya sedang melewati Jalan Jendral Sudirman, Makassar, saya tidak akan lupa untuk menengok sejenak di depan Menara Bosowa. Di sana, ada kolam kecil, tempat anak-anak SD menunggu orangtuanya datang menjemput mereka. Selalu ada rasa menyenangkan melihat polah bocah-bocah SD itu tatkala mencari kesibukan saat menunggu jemputan orangtuanya. Mereka bermain untuk mengusir kebosanan, untuk memanfaatkan waktu lowong itu.

Tapi juga ada rasa miris dan cemas. Mereka harus berjibaku dengan terik matahari, polusi udara, dan kendaraan lalu lalang. Kota memang bukanlah tempat aman bagi anak-anak untuk bermain. Pembangunan ini melahap habis ruang bermain mereka.  Yang kita lihat akhirnya, kolam milik Menara Bosowa itu menjadi pilihan terburuk bagi anak-anak untuk menyalurkan hasrat bermainnya. Sebab, di mana lagi mereka harus mengekspresikan senyum dan tawa mereka, di antara tata gedung yang tak lagi menyisakan apa-apa kecuali beton dan aspal?

Selama ini, pembangunan infrastruktur tak pernah bergerak dalam asas keadilan. Pembangunan tidak hanya merenggut ruang sempit dan pengap pemukiman warga kecil, tapi juga tidak menyisakan hamparan tanah berlapis rumput tempat bocah berari-lari, juga jejeran pohon-pohon tempat bocah bermain petak umpet.

Kita tahu, di depan Menara Bosowa ada lapangan Karebosi sebagai ruang publik untuk semua kalangan. Tapi, siapa juga di antara anak-anak itu ingin mengambil risiko bermain di sana tanpa pengawalan orangtua? Kota penuh penjahat. Kota juga bukanlah ruang yang intim dan diakrabi oleh anak-anak "jaman now". Segala ancaman kota menjadikan anak-anak harus menghabiskan waktu bermainnya di dalam rumah, atau paling jauh, di pekarangan tetangga atau di sekitaran lorong mereka saja.

Tentu, kondisi ini jauh berbeda dari anak-anak generasi 80an hingga 90an. Saya yang menikmati masa kecil di fase tahun 90an selalu punya banyak pilihan tempat bermain selepas pulang sekolah. Jika saya ingin bermain bola, atau menangkap jangkrik, saya tinggal pergi ke sawah milik kepala desa. Di sana sudah akan ditemukan anak-anak yang sedang berlari-lari. Atau jika saya ingin membuat pistol bambu, saya tinggal pergi ke perkebunan bambu milik tetangga. Di sana sudah akan ditemukan anak-anak bermain perang-perangan.

Saya tidak perlu takut oleh ancaman polusi, terik matahari yang menyengat, atau pencuri anak yang berniat meminta tebusan. Ruang bermain anak-anak masih menyisakan banyak pohon-pohon yang sejuk, sungai yang mengalir jernih dan para masyarakat yang saling kenal mengenal dan mengakrabi.

Kiranya di Kota sudah jarang kita temui yang seperti itu. Dan anak-anak akhirnya tak memiliki banyak ruang untuk bermain. Kota, sebagai ancaman berbahaya bagi anak, memaksa mereka untuk menikmati masa kecilnya bersama video game, ular tangga, dan android di rumahnya sendiri. Jika terpaksa harus bermain di luar rumah, tentu mereka harus bermain di tempat-tempat yang penuh risiko bagi keselamatannya.

Lingkungan kota sekaligus membuat anak-anak tidak akrab dengan lingkungan alamiah. Mereka terpisah dari pepohonan, persawahan, sungai jernih dan tanah liat. Itu karena, kota tak lagi menyediakan lingkungan alamiah tempat anak-anak bisa bermain sebebas-bebasnya. Buldoser telah melenyapkan rerumputan, senso telah menebang pohon-pohon dan beton telah menekuk persawahan.

Yah, kota tetap menyediakan taman bermain. Tapi aksesnya sungguh jauh dan unitnya sangat sedikit. Kota juga menyediakan wahana pariwisata. Tapi keserakahan swasta memperkecil akses anak-anak untuk menikmati tempat-tempat wisata: you harus punya duit.

Komentar

Populer Sepekan