Mahasiswa: Kaum Inteligensia
![]() |
Ilustrasi: Tribun Timur |
Catatan
kecil untuk kawan-kawan mahasiswa baru Jurusan Teknologi Pendidikan UNM, atau
untuk mahasiswa baru lainnya, dan untuk diri saya secara pribadi.
***
Setelah
mengikuti Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PK2MB) dari tingkat
Universitas, Fakultas, hingga tingkat Jurusan, apa yang kalian rasakan,
kawan-kawan mahasiswa baru? Apa kalian merasa senang sudah bisa menghirup aroma
kampus yang selama ini diidam-idamkan? Yang pastinya, hari-hari ke depan akan
berbeda dengan hari-hari kalian sewaktu di sekolah menengah. Kalian akan
menemui pengalaman-pengalaman yang lebih kompleks lagi.
Ibarat
berpetualang di rimba raya sungai Amazon. Di sana kalian dapat
menikmati indahnya panorama alam. Jika menelusuri lebih dalam lagi,
kalian mungkin mendapatkan buah-buahan yang nikmat, tapi tak menutup
kemungkinan akan bertemu monster hutan: anaconda, ikan piranha, atau laba-laba
beracun. Persis seperti itu petualangan kalian di kampus barumu kelak: manis
dan getir bercampur baur.
Tapi aku senang
jika kalian memulai petualanganmu dengan rasa riang gembira. Kuperhatikan media
massa memberitakan kegiatan PK2MB itu, dengan wajah kalian terpampang di sana.
Ada ribuan tawa dan senyum yang semringah. Kuyakinkan diriku jika suasana hati
itu adalah sepercik semangat. Bahwa kalian sangat yakin, jika akan ada
masa ketika gelar sarjana yang direbut dalam empat tahun yang akan datang
menjadi kunci untuk membuka pintu kesuksesan: seragam PNS sudah mulai
berseliweran di dalam imajinasi mungil kalian. Selama bertahun-tahun doktrin
itu tak pernah lekang di telan masa: suatu kepercayaan bahwa kampus adalah
ruang pencetak PNS atau karyawan swasta.
Hal tersebut
sesungguhnya tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Sejak saya
diminta oleh salah seorang mahasiswa Teknologi Pendidikan untuk menuliskan
catatan ini, kuiyakan segera. Karena inilah kesempatanku untuk mewartakan pesan
ini: kampus tidak sesederhana image
yang kalian bangun, kawan. Yah, terlalu kecil peran kampus jika hanya sebagai
ruang pencetak manusia-manusia pekerja.
Sejatinya
kampus adalah ruang di mana peradaban itu bermula, dan mahasiswa adalah output
Pendidikan Tinggi yang seharusnya berperan mengubah jalannya sejarah.
Karena kampus ibarat kawah candradimuka, tempat membenahi diri, menuju kaum
inteligensia! Ketika kalian telah sukses menjadi kaum inteligensia, kesuksesan
lain pun pastinya akan mengikuti: menjadi PNS begitu mudah, apalagi jika hanya
menjadi sales atau marketing di suatu perusahaan. Maka, kesuksesan
materil seperti itu hanyalah efek-efek kecil ‘revolusi diri’ yang kalian
lakukan.
Syahdan, apa
itu kaum inteligensia? Seorang Sosiolog, Ignas Kleden mendefinisikan, kaum
inteligensia sebagai kaum terpelajar dan terdidik yang berperan sebagai ujung
tombak perubahan dan pembaruan masyarakat. Melalui definisi ini, kaum
inteligensia dipahami sebagai kaum yang cerdik pandai, yang memiliki
tanggungjawab moril untuk memperbaiki tatanan masyarakatnya. Untuk itu,
sejak memasuki dunia kampus, kalian sebenarnya telah lahir menjadi bayi-bayi
peradaban. Maka jadikan kampus tempat mendulang ilmu pengetahuan dan mengasah
kepekaan sosial. Agar setelah selesai nanti, kalian telah siap menjadi kaum
inteligensia di tengah-tengah masyarakat.
Lantas,
bagaimana menjadi kaum inteligensia? Asah minat literasimu, rakuslah membaca
buku! Sebab buku adalah sarapan rohani yang utama untuk menjadi kaum
inteligensia. Tentu, buku yang saya maksudkan di sini adalah segala jenis dan
judul buku yang ada (kecuali majalah porno). Bahwa, menjadi mahasiswa tak
hanya membaca buku yang kalian beli dari dosen semata, untuk kepentingan
penguasaan akademik belaka. Tapi menjadi mahasiswa, mesti giat membaca buku apa
saja. Baik itu buku-buku fiksi, maupun buku-buku filsafat.
Kawan,
keterpurukan bangsa Indonesia saat ini salah satunya diakibatkan oleh minat
literasi masyarakatnya yang rendah. Bayangkan, hasil studi deskriptif Central
Connecticut State University, Amerika Serikat mencatat, Indonesia berada di
peringkat 61 dari 60 negara yang diteliti dalam hal literasi para warganya. Dan
sampai saat ini kita belum bisa menandingi Jepang yang warganya terkenal
sebagai pecandu buku—bahkan di dalam kereta saja warga Jepang menyempatkan diri
untuk membaca. Maka dari itu kita jauh tertinggal oleh Finlandia yang warganya
paling terpelajar di dunia.
Jika kaum
mahasiswa di Indonesia malas membacas buku, generasi apa yang akan dihasilkan
kelak untuk membangun negeri ini? Indonesia sudah sekarat, kawan. Sudah amat
lama. Dan sampai saat ini, kita belum punya cukup banyak generasi brilian, yang
bisa diharapkan untuk bergotong royong membangun bangsa ini. Kalian telah
memasuki ruang pengap kampus. Kelak, ketika telah menyandang gelar sarjana,
kalianlah yang akan menentukan baik dan buruknya peradaban bangsa ini.
Jika sedari mahasiswa, semangat literasi itu sudah tumpul, kualitas kelimuan
juga tak lebih baik dari anak SMA, maka peradaban apa yang bisa dihasilkan dari
sarjana seperti itu?
Menjadi kaum
inteligensia juga tidak hanya gandrung membaca buku, dan menari-nari di jagat
teoritik. Kaum inteligensia memiliki kepekaan sosial yang menggugah. Maka, di
dalam pengalaman mahasiswa kalian yang melelahkan nantinya, sempatkanlah diri
terjun ke tengah-tengah masyarakat. Berbaktilah sesuai tingkat kemampuan
kalian. Buatlah hasil bacaan dan ilmu akademik kalian menjadi berguna untuk
banyak orang. Sebab, ilmu dan praktik tidak pernah saling beroposisi. Justru
saling mengisi.
Kalian tahu?
catatan kecil ini bahkan menampar diriku sendiri. Saya kuliah tujuh, tapi
belum menjadi sarjana yang baik. Melalui catatan ini, kusampaikan sebuah
harapan, jadilah generasi-generai yang lebih baik—lebih cerdas, lebih inovatif,
lebih revolusioner— dari generasi-generasi terdahulu. Tapi, kalian
masih baru. Tentu kalian butuh teman yang dapat mengajakmu menuju kaum inteligensia.
Maka bergaullah dengan mahasiswa dan dosen yang bermutu, yang memiliki etos
literasi yang baik, dan memiliki jiwa pembaharu yang berapi-api.
Karena tidak
semua mahasiswa bisa diajak untuk mengasah diri menjadi kaum inteligensia.
Kelak, kalian akan menyaksikan ratusan mahasiswa yang seolah-olah terlihat
seperti kaum inteligensia. Mereka senang mengatakan dirinya organisatoris. Tapi
pikirannya hanya sanggup memikirkan ide-ide yang dangkal: hanya pintar membuat
bazar, paling banter menyelenggarakan latihan kader. Ada pula yang gandrung
meneriakkan term ‘revolusi’ dengan suara lantang dan serak di jalan raya yang
sesak. Tapi yang kita temui dari huru hara yang mereka ciptakan hanyalah asap
tebal yang menyelimuti cakrawala, atau kemacetan yang berkepanjangan, atau
hujan batu yang menyisakan darah dan keringat. Selebihnya, kesia-siaan.
Aktivisme kaum
inteligensia tidak seperti itu, kawan. Gerakannya betul-betul menawarkan solusi
perubahan. Tawaran perubahannya diracik dari jejaring ide-ide yang kompleks.
Kaum inteligensia tak muluk-muluk mengaku revolusioner ataupun demonstran
sejati. Namun, mereka bisa berhasil memperbaiki tatanan masyarakatnya, meskipun
sumbangsihnya kecil.
Seperti itu
pula dosen-dosen kalian. Tidak semua dari mereka bisa diajak untuk mengasah
diri menjadi kaum inteligensia. Kelak, akan ada jenis dosen yang melihat
pertumbuhan mahasiswanya hanya melalui kalkulasi-kalkulasi IPK semata, dan
bukan karena keluasan wawasan maupun produktivitasnya dalam berkarya dan
membangun masyarakat. Dan, akan ada jenis dosen yang tidak memberi kesempatan
untuk menjadi kritis apalagi mengasah minat literasi kalian. Tetaplah bergaul
dengan dosen seperti itu, tapi jangan berharap banyak pada mereka. Mereka
adalah produk gagal dunia akademis.
Mungkin catatan
kecil ini terkesan menggurui. Tapi sejatinya tak ada maksud untuk itu. Toh,
ketika harapan-harapan yang tertuang di dalam catatan ini tidak kalian
pedulikan, tak ada masalah. Jika kalian menyepakati isi catatan ini, maka
persiapkan bekalmu menuju kaum inteligensia. Bergegaslah! Di luar pagar
kampus yang berdebu dan mulai berkarat itu, dunia kehidupan yang boyak telah
menantimu. Dengan harap, ilmu pengetahuan yang kalian asah dapat bermanfaat
untuk orang banyak. []
Komentar
Posting Komentar