Membaca Manusia Secara Filosofis tapi Puitis ala Nirwan Ahmad Arsuka
Percakapan
dengan Semesta
(PDS) adalah buku tipis. Sang pengarang, Nirwan Ahmad Arsuka, pendiri Gerakan
Pustaka Bergerak, hanya meraciknya dari tiga esai yang kemudian menghasilkan
120 halaman belaka. Tapi yakinlah, buku ini begitu padat akan sajian diskursus.
Para pembaca tidak hanya diajak menyelami tema-tema kebudayaan, tapi juga
filsafat, sains, sejarah, yang diracik padu untuk membaca manusia. Manusia akan
dilihat pada pertautannya dengan semesta (esai pertama), pertautannya dengan
citra-citra foto (esai kedua), dan manusia yang ditafsirkan dalam sebuah karya
sinema (esai ketiga). Pertautan-pertautan itulah yang sekaligus membuka tabir-tabir
problem kemanusiaan.
Meski diskursus
yang disajikan cukup padat, tapi kiranya tidak menjadi kendala bagi psikologi
pembaca era kiwari, yang tentunya cepat bosan dengan bacaan-bacaan yang
menguras pikiran, apalagi untuk pembaca pemula. Sebab yakinlah, Anda tak akan
bosan dengan gaya menulis Nirwan yang begitu sastrawi. Sehingga ragam macam
pembahasan filosofis di dalamnya menjadi indah untuk dibaca, sehingga dapat
membuat orang betah menghabiskan setiap paragraf yang diracik dari paduan
bahasa teknis-ilmiah dan puitik: perbincangan filosofis akhirnya ibarat
menyelami teks-teks puisi.
Rekaman manusia
itu sudah bisa kita temukan esai pertama PDS, “Percakapan dengan Semesta”, yang
mengangkat tema mengenai bagaimana manusia memahami semesta, dan menceritakannya.
Upaya memahami semesta itu, yang dalam buku ini sudah berlangsung sejak leluhur
manusia mulai berimajinasi terhadap data-data pengalaman kesehariannya. Dan
pada dinding padas itulah hasil memahami semesta—atau hasil percakapan dengan
semesta dalam bahasa Nirwan— dinarasikan dalam bentuknya yang paling purba:
melalui gambar-gambar imajinatif, dengan sentuhan teknologi lukis yang masih
sederhana.
Kemudian waktu
bergerak, diikuti pula dengan gerak vertikal kecerdasan manusia. Hingga manusia
bisa sampai pada ekspresi memahami (percakapan dengan) semesta yang jauh
melampaui usaha-usaha epistemik tradisional yang pernah ada. Ekspresi memahami
paling mutakhir itulah yang dalam era kiwari dibilangkan sebagai pengetahuan
ilmiah. Pengetahuan yang bagi Nirwan “berkembang menjadi bentuk percakapan
tertinggi karena ia berusaha sepenuhnya menjadi dialog (hal.9)”. Dialog itu
terjadi ketika teori ilmiah coba dikorespondensikan dengan kenyataan, dan akan
bisa benar atau salah tergantung semesta menyepakati atau tidak (sesuai dengan
realitas apa adanya atau malah melenceng).
Namun,
percakapan dengan semesta ini, bukannya tidak melahirkan rasa cemas. Dari
awalnya Nirwan menarasikan sejarah percakapan semesta-manusia dengan optimisme
yang kuat, tetiba ia menunda optimisme itu pada refleksi era kiwari. Era yang
bisa saja menjadi jalan buntu manusia untuk terus menerus mengembangkan dialog
mutakhir dengan tatanan kosmik dan segala hamparan misterinya. ketakutan Nirwan
ada pada kalangan akademisi yang hanya memuja gelar akademik, tapi begitu
berjalan mundur dalam menarasikan semesta.
Ketakutan itu
juga terletak pada masih menjamurnya pemujaan pada pandangan dunia tertutup:
pandangan dunia yang bisa menjadi ancaman bagi perkembangan ilmu pengetahuan,
yang menyaratkan keterbukaan untuk mengkritik, dikritik dan bereksperimen pada
hal-hal yang baru. Dan kemunduran memahami semseta pada akhirnya ada pada
kemampuan otak manusia itu sendiri, yang harus tunduk pada hantaman ombak
informasi yang datang tiada henti. Masalahnya kemudian, “Luapan informasi yang
datang dari segala penjuru mengepung manusia tidak dalam kuanta dan paket yang
bisa dicerna. Agar bisa dicerna, arus informasi itu harus disederhanakan dan
disesuaikan dengan daya cerna manusia: sejumlah informasi pun disingkirkan. Penyingkiran
informasi itupun bisa bersifat temporer, juga permanen. Jika ia permanen,
manusia dengan mudah melakukan kekerasan kognitif dengan mudah (hl.23),”
begitulah ketika Nirwan menarasikan masa depan otak manusia yang kian murung.
Penyesuaian informasi oleh daya cerna manusia akhirnya menjadi problem.
Informasi yang ditelan kemudian banyak yang belum terbukti secara logis, kritis
dan sesuai dengan kenyataan apa adanya, karena daya cerna otak manusia yang
rendah hanya menginginkan informasi yang bisa langsung menentramkan, tanpa
perlu dipikirkan matang-matang. Jika manusia pada keadaan epistemologis seperti
itu, perbincangan pada semesta sukar untuk berkembang.
Di dua esai
lainnya, Nirwan memulai perbincangan tentang manusia pada hal yang mungkin di
kalangan awam begitu remeh-teme, tapi penting setelah dibedah secara filosofis:
fotografi dan sinema. Untuk tema mengenai fotografi, Nirwan mencoba membedah
pemikiran Susan Sontag dalam sebuah esai, “Susan Sontag: Citra-Waktu”.
Pembahasan yang tidak melulu mendeskripsikan pemikiran filosofis Sontag
mengenai fotografi, tapi juga berupaya mengkritiknya. Melalui esai inilah,
Nirwan juga bergerak untuk membaca manusia pada relasinya dengan citra-citra
fotografi. Fotografi ini, yang bagi Sontag memang sebagai mahakarya teknologis
abad ini, tapi justru menjadi jalan buntu untuk menyelesaikan problem
epistemologis dan etis dari manusia.
Fotografi
memang bisa menguasai waktu, tapi tak bisa menguasai ruang: problem
epistemologisnya terletak di sini. Yang tertangkap pada kamera hanyalah irisan
kenyataan yang sukar menjadi medium untuk manusia menilai kenyataan itu secara
apa adanya. Itu karena kehadiran separuh kenyataan dalam foto berarti
ketersediaan informasi di dalamnya juga terbatas. Sementara problem etisnya
adalah, fotografi dalam amatan Sontag, bukannya menjadi medium untuk
menyelesaikan problem kemanusiaan (misalnya mengintervensi simpati manusia
untuk revolusioner dengan melihat foto-foto bencana atau perang), citra foto
malah membekukan keberpihakan manusia (berhadapan dengan gambar foto perang,
misalnya, membuat manusia serasa tak berdaya, dan hanya bisa diam).
Nirwan bergerak
melampaui amatan Sontag. Bukannya menyalahkan citra foto—seperti yang dilakukan
Sontag—, Nirwan malah melihat problem itu pada manusia itu sendiri: pada
kualitas daya cerna manusia saat berhadapan dengan kenyataan pada citra foto.
Keterbatasan kognitif manusia inilah yang kerap membuatnya selalu lupa jika
foto bukanlah visualisasi kenyataan yang utuh. Sementara problem etis yang
disangka Sontag pada fotografi, Nirwan hanya mengatakan ini: “Bila benar bahwa
limpahan citra penderitaan manusia akan membuat kebas mereka yang menatapnya,
maka gelombang bantuan kemanusiaan pasca-tsunami dan gelombang bantuan bencana
alam lainnya, tentunya tak akan terjadi. Awalnya, mereka yang menatap foto-foto
dan rentetan bencana tsunami mungkin memang terpaku beku, tetapi kemudian
mereka bergerak (hal. 51-52).”
Tentu, isi esai
kedua dalam PDS tak sesederhana yang saya bilangkan itu. Esai ini diracik
dengan sangat cerdas. Analisisnya sangat kuat dan mendalam dalam melihat
diskursus fotografi Sontag yang banyak menyisakan problem filosofis itu. Tapi
juga tak sepenuhnya menyalahkan Sontag. Pada beberapa hal, Nirwan bahkan
mendukung pikiran-pikiran revolusioner pakar fotografi itu. Amatan dalam esai
ini akhirnya terlihat bijak dalam menanggapi suatu diskursus. Meskipun memang,
esai kedua ini akan rumit dipahami jika tak dibekali banyak kosakata
teknis-ilmiah, dan ketakbiasaan membaca teks-teks analogi dan metafor: struktur
teks dalam esai kedua ini seperti memaksa setiap orang memaksimalkan proses
kognitifnya dalam memahami isinya.
Terakhir, pada
esai yang ketiga, manusia coba direkam Nirwan dalam pertautannya dengan cita
ideal dan semangat kepahlawanan dari film Hero
Episode 2 dengan mengangkat judul esai, “Pedang dan Dunia ‘Hero’
Episode 2”. Film yang dianggap Nirwan sejak Hero
Episode 1 “tak tuntas menggali pengertian arketipe tentang pahlawan
dalam psike Timur
(hal. 92).” Film ini, kata Nirwan, “mentok jadi propaganda bagi kediktatoran
dan aneksasi, bagi paham legalisme yang mempromosikan kuatnya negara di depan
masyarakat, yang dengan sistematis dilemahkan (hal.92).”
Model
kepahlawanan dalam psike
Timur yang belum tuntas digali dalam Hero
1, sepertinya tak bisa saya komentari lebih lanjut. Apakah yang
dimaksud adalah, karena ia film dari Timur (Cina) maka hendaknya
merepresentasikan citra kepahlawanan dalam kebudayaan Timur? Sebab memang, film
ini bercerita banyak tentang kepahlawanan: bagaimana seorang manusia (4 pendekar),
yang sudah jengah dengan kediktatoran penguasa, coba melakukan persekongkolan
untuk membunuh sang Kaisar, dengan melakukan pengorbanan nyawa (atau dalam
akhir film Hero 1,
justru terjadi negosiasi dengan sang Kaisar untuk menjadi “tiang utama” terbentuknya
kerukunan antar kerajaan, yang sebenarnya juga bisa dikata sebagai puncak
kepahlawanan.). Tapi, apakah memang pesan kepahlawanan dalam film ini, tidak
sepenuhnya mewedarkan perspektif kepahlawanan di belahan Timur?
Terlepas dari
itu, dalam esai ini, Nirwan sebenarnya lebih memusatkan perhatiannya membedah
nilai seni dan muatan sastra dalam struktur film Hero 2 (dan sesekali menyinggung Hero 1), mulai dari kualitas
sinematorgafinya yang sangat memukau, hingga jalinan puisi yang menubuh pada
setiap adegan dan tuturan para pelakon film. Hingga, pembacaan atas manusia
lebih padat pada dua esai pertama ketimbang esai terakhir ini.
Namun, Nirwan
pada esai ketiga ini tetap tidak meninggalkan gaya menulisnya yang khas: puitis
dan filosofis. Bahkan, membaca esai ini, seperti membaca sebuah cerita pendek
yang menceritakan huru-hara di belahan Cina di zaman kerajaan, dengan mengolah
kembali kisah-kisah Hero 2
dalam bentuk teks.
https://alhegoria.blogspot.co.id/2017/08/sadrak-dan-kerumunan-yang-membuatku.html
BalasHapus