Memulai Epistemologi yang Berdialog, Menyudahi Fanatisme: Upaya Mendekati Nalar Lintas Disiplin
Belakangan ini, kita dirundung problem mengenai masa depan
kedaulatan berpikir masyarakat. Agama diseret oleh pemeluknya menjadi penafsir
tunggal atas kenyataan. Agama kemudian jadi beku, dan anti dialog. Di sela-sela
itu, bermunculanlah kalangan agamawan yang menanamkan kepercayaan fanatik
terhadap bentuk negara seperti apa yang mesti ditegakkan, dan seperti apa wujud
pemimpin yang diinginkan Tuhan.
Tentu,
permasalahannya terletak pada tertutupnya kemungkinan pengetahuan lain sebagai
pertimbangan alternatif untuk menilai kenyataan, akibat absolutivisme yang
berlebihan itu. Padahal pembentukan negara, misalnya, bukan hanya melulu
bersandar pada rujukan teologis, tapi juga pertimbangan teori-teori sosiologi
dan kebudayaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap fenomena mesti dilihat
secara multidimensional: punya keterkaitan dengan ranah sosial, politik, ekonomi, dan tak hanya pada
ranah religius semata.
Pengandaian ini sudah harus dilakukan, untuk menyikapi sikap fanatik berlebihan yang akhir-akhir ini memenjara cara pandang pada satu elemen pengetahuan saja. Dan tak tanggung-tanggung, problem etis dari fanatisme itu memang sangat menyeramkan: penyingkiran terhadap yang beda, intimidasi dan diskriminasi terhadap minoritas, dan sikap radikal yang bukannya revolusioner, tapi malah membawa petaka.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada diskursus
agama-agama, izinkan saya mengungkapkan hal ini:
Pada permasalahan etis itu, umat beragama memang sudah harus
membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan epistemologi lainnya, mencoba
berintegrasi dalam dialog yang dinamis, untuk menghadapi gejala sosial yang
kompleks ini: situasi multidimensi yang tak hanya bisa diselesaikan dengan
suara kebenaran tunggal agamawan.. Integrasi di sini bukan dalam rangka
pembauran epistemologis sehingga ciri esensial pengetahuan menghilang. Tapi
lebih pada organisasi setiap bentuk pengetahuan untuk saling bahu membahu
membaca kompleksitas berdasarkan wilayah rujukan masing-masing. Puncaknya akan
melahirkan kesepahaman dan saling tukar tambah pengetahuan untuk pembacaan
fenomena secara menyeluruh, dan tidak sepotong-sepotong. Hal ini kiranya lebih
membawa perubahan, daridapa harus saling bersikukuh menyingkirkan yang beda,
untuk penegakan doktrin keagamaan yang bisa saja sudah jauh berbeda dari apa
yang dimaksudkan Tuhan, oleh karena
rentang sejarah interpretasi yang terlalu panjang.
Seperti belum lama ini, dunia sains dikejutkan dengan penemuan
kemungkinan lahirnya hibrida babi-manusia, dengan memasukkan sel-sel manusia ke
dalam embrio babi. Jun Wu dan
rekan-rekannya di Salk Institute, yang menginisiasi penelitian itu, memanggil makhluk
baru itu dengan nama khimaira, yang diambil dari nama mahluk legendaris dari
mitologi Yunani yang berwujud gabungan dari tiga hewan: berbadan kambing,
berkepala singa, dan berekor ular. Melalui penelitian secara berkala, akhirnya
khimaira mampu bertahan hidup di dalam perut babi. Yang hendak dicapai dalam
penelitian itu adalah, terciptanya organ manusia di dalam tubuh babi, meskipun
harus melalui tahap penelitian bertahun-tahun untuk mencapai penyempurnaan.
Namun melalui itu, gerbang masa depan bagi transplantasi organ mulai terbuka.
Jika kelak, organ manusia bisa tumbuh di dalam tubuh babi,
dan menjadi jawaban bagi ketersediaan organ buat keberhasilan transplantasi, bagaimanakah
agama akan dibawa untuk menyikapi itu? Apakah transplantasi organ nantinya
menjadi haram, mengingat donor organ berasal dari babi, dan setelah itu
melaknat atau mengajak perang para penemunya? Ataukah mencoba bersikap terbuka,
dengan merancang fatwa untuk memerbolehkan transplantasi itu, yang mungkin pada
batas-batas yang sangat sudah mendesak dan bisa ditoleransi, mengingat hal ini
adalah menyangkut hidup-mati seseorang? Penilaian final soal penyikapan atas
temuan itu bisa ditarik ketika tafsir teologis bersedia didialogkan dengan ragam
macam bidang ilmu, termasuk sains itu sendiri. Sebab persoalan itu harus
dipandang sebagai realitas yang bersifat menyeluruh.
Ilmu pengetahuan kian berkembang. Sementara agama hanya
diseret ke permasalahan yang amat purba, yang sama sekali tidak mengandung visi
peradaban: pelarangan pembangunan tempat ibadah, soal-soal aliran sesat,
soal-soal pemimpin kafir, dan ngotot-ngototan merasa paling benar. Pemujaan
terhadap fanatisme buta membuat kalangan agamawan akhirnya gagal memersiapkan
kemungkinan-kemungkinan perkembangan masa depan, seperti memutakhirkan fatwa-fatwa sebagai implikasi dari dialog dengan
penemuan-penemuan sains, filsafat, dan ilmu humaniora. Jika kawasan
epistemologi keagamaan tidak ingin dipukul mundur oleh kemajuan, maka berdialog
dengan kawasan epistemologi lain adalah perihal yang tak bisa ditawar-tawar:
bahkan sunni-syiah bisa saling tukar tambah pengetahuan, demi menjawab realitas
keislaman yang saat ini tampil lebih kompleks.
Sains pun mesti demokratis terhadap epistemologi keagamaan,
atau kawasan epistemologi lainnya, untuk menjawab kompleksitas permasalahan
dunia, atau mengurangi cacat etis dari implikasinya sendiri. Sebab tak dapat
ditampik, pada matra yang lebih praktis, sains kerap dirundung problem etis
yang cukup mengkhawatirkan. Penemuan-penemuan ilmiah dipergunakan untuk
mengembangkan teknologi nuklir, yang telah mengancam perdamaian dunia.
Implementasi teori fisika dan kimia pada pengembangan teknologi industri
menjadi ancaman bagi kehidupan ekologis. Untuk menyelesaikan problem etis dan
kemanusiaan itu, sains mesti harus membuka diri pada model pengetahuan
yang memiliki penghargaan besar terhadap
eksistensi kosmik dan kemanusiaan, untuk mencapai kehati-hatian dalam
implementasi teknis ilmu-ilmu.
Sementara di tataran teoritik, sains juga kerap tunduk pada
fanatisme. Metodologi ilmu-ilmu alam diandaikan
oleh komunitas ilmiah sebagai satu-satunya yang sanggup menarasikan alam
semesta secara apa adanya. Ruang abstrak filsafat, juga teologi disingkirkan dari
cabang-cabang ilmu pengetahuan, karena pengandaian teoritiknya tidak
berlandaskan situasi objektif alam semesta: yang metafisik dalam filsafat dan
yang ilahia dalam teologi disingkirkan oleh model kosmologi yang tercerap dan
terjelaskan secara matematis. Sehingga gerak alam semesta tidak lagi menemukan
penjelasannya pada penggerak yang berdiri sendiri di luar alam semesta, tapi
terjelaskan oleh hukum-hukum fisika. Dalam amatan Newton, alam semesta persis
seperti sebuah mesin besar, di mana gerak benda-benda ditentukan oleh gaya-gaya
yang berada pada benda tersebut.
Namun apalah artinya fanatisme itu, ketika alam semesta dan
seisinya adalah “maha misteri” yang ternyata tak mudah ditekuk oleh keketatan
metodologi? Memang benar ketika Nirwan Ahmad Arsuka, dalam bukunya Percakapan dengan Semesta, membilangkan
bahwa, “Pengetahuan ilmiah berkembang menjadi bentuk percakapan tertinggi
karena ia berusaha menjadi dialog. Para ilmuwan memang terus mengamati dan
mengumpulkan fakta lalu berusaha menyusun teori, tetapi teori itu hanyalah
usulan belaka. Teori tersebut, draft cerita rekaan itu, harus dibenturkan oleh
kenyataan. Hanya yang disetujui oleh semesta yang bisa diterima sebagai cerita
semesta yang ilmiah.” Namun, sebagai percakapan tertinggi, pada akhirnya pengetahuan ilmiah harus
menyerah oleh semesta yang sebagian darinya susah untuk dipercakapkan:
seolah-olah alam raya menyembunyikan sebagian entitasnya. Di sini,
eksperimentasi dan pembacaan matematis
hanya sampai pada kondisi “mungkin tepat” dalam menarasikan semesta.
Seperti yang dialami oleh kosmologi dan fisika. Pada
keterbatasan pencerapan, pada ketakmampuan mengisolasi kosmos menjadi objek
observasi, mau tak mau gerak skala besar planet dan bintang-bintang yang
misterius itu mesti dicarikan sebuah postulat yang harus benar secara apriori. Dan para ilmuwan sepakat untuk
menamakan daya gerak misterius itu sebagai energi gelap. Agar para astronom dan fisikawan dapat
menjelaskan gerak percepatan pemuaian kosmos, yang pada penjelasan itu
sebenarnya tak jauh beda dengan penjelasan teologi bahwa gerak semesta adalah
campur tangan Ilahi. Kehadiran postulat pada akhirnya menjadi tanda kehadiran
elemen subjektif dalam ilmu-ilmu empirik: spekulasi nalar dan permainan imajinasi
yang jauh hari sudah ditekuni dalam pengembaraan metafisika oleh para filsuf.
Ketika pada akhirnya pengetahuan ilmiah juga tak lepas dari—
dalam bahasa Fritjof Capra –“penggambaran kira-kira”, maka apa yang perlu dibanggakan dalam
kekurangan pencerapan manusia ilmiah? Bahkan
harus menyisihkan ilmu-ilmu lain, tanpa sadar akan keterbatasan metodik dari
sains sendiri, yang membuatnya tidak lebih baik dari bermetafisika ala filsafat,
misalnya. Einstein pun, dalam perumusan teori relativitas mesti berspekulasi
ria dalam menciptakan model-model alam semesta. Membayangkan tata kosmik
sebagai kelengkungan ruang-waktu demi menjelaskan betapa dinamisnya alam
semesta pada geraknya yang relatif: suatu temuan yang kemudian menghempaskan
mekanika klasik ala Newton yang membayangkan alam semesta bergerak secara
deterministik. Benda-benda langit
akhirnya dibayangkan bergerak relatif sesuai situasi lengkung ruang-waktu yang
dihadapinya (seperti kelereng yang bergerak maju namun berubah gerak ketika
menemui sebuah lengkungan tanah).
Tapi, terlepas dari itu, pengetahuan ilmiah setidaknya masih
lebih maju dari fanatisme keagamaan akhir-akhir ini. Di internal para ilmuwan, preferensi
untuk saling kritik teori amat besar. Ketika suatu teori tak bisa lagi diselamatkan,
maka ia harus menyerah dengan kedatangan teori baru, yang sekiranya lebih
mutakhir menjelaskan realitas. Atau malah masing-masing teori saling bahu
membahu mengembangkan narasi ilmiah yang baru. Berbeda dengan, misalnya, Islam
yang di internalnya sendiri masih sibuk saling kafir-mengkafirkan sesama, dan
saling menghabisi mazhab-mazhab lain demi menyatakan diri sebagai Islam yang
paling benar. Padahal ragam cara pandang dalam Islam bisa saling padu dalam
membaca kompleksitas realitas keislaman.
Perbedaan pengetahuan
ilmiah dan fanatisme keagamaan ini mendapatkan penjelasannya secara apik oleh
Nirwan: “Gabungan antara kritik, eksperimen dan kenyataan semesta yang terbuka
bagi pemahaman akal manusia (intelligibility),
membuat pengetahuan ilmiah tak mengenal istilah ‘pelecehan ilmu’ atau
‘penistaan sains’. Dalam masyarakat
ilmiah, mustahil terjadi seorang penyusun teori atau pelaksana percobaan
dituntut dan diseret ke meja hijau. Masyarakat ilmiah tak mungkin goncang
lantas meletup naik pitam dan jadi haus darah hanya karena selebrasi
teorema...”
Ketika cara pandang tertutup dirasa tak memadai lagi, maka
setiap dari kita sudah harus rendah hati dalam menerima setiap kontribusi
pengetahuan dari realitas pemikiran apapun. Sains mungkin bisa berdialog dengan
filsafat pada wilayah kenyataan yang sukar ia sentuh. Atau mungkin saja
kosmologi Islam dalam tafsir teologi ulama bisa didukung temuan-temuan kosmologi,
fisika dan metafisika, seterusnya demikian. Sehingga ragam macam cara pandang
itu bisa saling memahami wilayah rujukan masing-masing.
***
Pada tahun 1996, UNESCO mengundang Edgar Morin—Direktur
Emeritus mengenai riset di CNRS, juga sebagai Presiden Perwakilan Kebudayaan
Eropa—untuk menguraikan gagasannya mengenai pendidikan masa depan. Dalam paparannya,
Edgar Morin mengurai kebutuhan pendidikan masa depan dalam tujuh poin, yang
kemudian dibukukan dengan judul Tujuh Materi pending Bagi Dunia pendidikan
(Seven Complex Lesson in Education for
the Future).
Salah satu poin yang sangat menarik perhatianku—untuk tidak
mengatakan bahwa yang lainnya tidak penting— adalah “Prinsip Pengetahuan yang
Saling Berkaitan”. Pada poin itu, ia mengkhawatirkan pendidikan dewasa ini yang
memecah pengetahuan dalam bagian-bagian yang terspesialisasi. Sementara setiap
pengetahuan harus berhadapan dengan realitas yang sejatinya memiliki konteks,
kompleksitas, berskala global dan berciri multidimensional.
Pada kondisi itu setidaknya akan terjadi tiga hal: Pertama,
pengetahuan akan kehilangan konteksnya. Misalnya, ilmu ekonomi adalah ilmu
sosial yang secara matematis paling maju, tapi ilmu yang paling terbelakang
secara sosial dan manusiawi karena ia memisahkan diri dari kondisi-kondisi
sosial, historis, politis, psikologis, dan ekologis yang sebetulnya tak
terpisahkan dari aktivitas ekonomi. Sehingga ekonomi bisa gagal membaca situasi
sosial, historis, politis, psikologis,
dan ekologis dari masyarakat yang dapat memengaruhi aktivitas ekonominya.
Kedua, maka dari itu akhirnya pengetahuan yang
terspesialisasi gagal memahami dimensionalitas
kenyataan. Bahwa masyarakat mencakup dimensi sosiologi, historis,
politis, mistis. Sebagaimana juga manusia yang mencakup dimensi biologis,
psikologis, sosial dan religius. Ketiga, ketika gagal memahami dimensionalitas
kenyataan, akan gagal pula memahami kompleksitas kenyataan: bahwa di antara
setiap dimensi yang jamak itu sebenarnya adalah kesatuan yang tak terpisahkan.
Amatan Edgar Morin ini setidaknya bisa menjadi refleksi dari
problem epistemologi kita yang sudah saya bahas panjang lebar. Bahwa yang
diinginkan Edgar Morin dari penjelasan di atas hanyalah bagaimana setiap
pengetahuan tidak menjadi spesialisasi yang tertutup. Sehingga masalah itu
mesti diselesaikan dengan membiasakan pengetahuan saling relasi, untuk mencegah
ketidaklengkapan penalaran dalam membaca realitas. Ekonomi mesti berdialog
dengan sosiologi, psikologi, teologi, agar kesatuannya itu menghasilkan cara
pandang yang lebih menyeluruh dalam memahami manusia yang multidimensi. Pengetahuan
yang berkaitan, yang saling berdialog ini, dapat menghubungkan bagian-bagian
dari keseluruhannya, agar kenyataan dapat dicerap secara menyeluruh.
Kembali pada penjelasan sebelumnya, mengenai batas-batas
pencerapan dalam ilmu pasti. Pada selebrasi teoritik para ilmuwan yang tak
menentu dan bisa berubah-ubah, oleh karena jangkauan terbatas dari pencerapan,
bisa saja membuka kemungkinan bahwa kosmos tak hanya sebatas kesatuan
materi-energi semata, tapi juga punya keterhubungan dengan realitas yang selama
ini ditolaknya: realitas metafisik dan spritual. Hal itu mesti diandaikan, jika
sedari awal kita memercayai bahwa setiap fenomena itu kompleks dan
multidimensi. Maka dengan ini, akan terbuka kemungkinan antara sains, filsafat
dan agama bisa bergialog mencari titik temu penyingkapan misteri semesta.
Pengetahuan yang saling berkaitan ini bisa membuka
kemungkinan untuk meretas fanatisme epistemologis di segala bidang. Karena kebutuhan
membangun relasi terhadap pengetahuan lainnya akan menjadi suatu kondisi sadar
diri akan batas-batas epistemologi setiap pengetahuan. Sehingga masalah ekologi,
misalnya, tidak hanya bisa diselesaikan oleh
ilmu lingkungan semata, apalagi sarjana ilmu lingkungan mau ngotot bahwa bidangnya sudah cukup untuk
(dan hanya ia yang bisa) menyelesaikannya. Bagaimanapun juga masalah ekologi
menuntut kehadiran sosiologi, biologi, ekonomi, mungkin juga fatwa-fatwa
keagamaan.
Hal inilah yang dalam dunia diskursus dibilangkan sebagai penalaran
holistik, atau boleh jadi: nalar lintas disiplin. Karlina Supelli dalam Dari Kosmologi ke Dialog, menyebutnya
sebagai penalaran trans-disiplin. Trans-disiplin ini bisa dikembangkan untuk
“mencari koherensi narasi dalam keanekaragaman gejala manusia. Atau setidaknya,
menemukan saling pengertian akan titik-titik acuan,” ungkap Karlina Supelli.
Bahkan, dalam amatan karlina Supelli, “penalaran trans-disiplin menunjukkan
bahwa.......jerih payah menemukan kebenaran bukan semata-mata perkara
membincang objektivitas. Upaya mencari kebenaran melibatkan dialog metodologis
dan kerjasama berbagai bidang pengetahuan dalam bahasa yang dibagi bersama.”
Catatan: Artikel ini dibuat untuk menjadi bahan diskusi di Komunitas Pojok Bunker, dan pernah diterbitkan di jurnal online kalaliterasi.com edisi 25 Februari 2017
Komentar
Posting Komentar