Hermeneutika Sebagai Basis Ilmu-ilmu Sosial-Kemanusiaan: Pengantar Pemikiran Dilthey
![]() |
gambar: geopolicraticus.tumblr.com |
Realitas Sosial-Kemanusiaan dan Problem
Epistemologis
Positivisme berkembang sejak abad 19. Kelahirannya dipelopori oleh Auguste Comte. Paradigma ini, lambat laun membawa perubahan besar dalam ilmu pengetahuan secara metodologis, Kondisi tersebut adalah hal positif bagi perkembangan ilmu empiris. Namun, di sisi lain, positivisme
melahirkan krisis epistemologis, setidaknya dalam tiga bentuk. Pertama, objek
ilmu-ilmu disempitkan hanya pada matra yang faktual dan empirik. Sehingga setiap
pengetahuan hanya benar sejauh menyangkut fakta-fakta yang tercerap.
Kedua,
melenyapkan peran-peran subjek dalam ilmu pengetahuan. Dasarnya adalah, pengetahuan tak boleh terkontaminasi baik subjektivitas peneliti maupun subjektivitas dari
objek yang diteliti. Ketiga, menetapkan ilmu-ilmu alam sebagai standar
metodologi dan satu-satunya norma bagi kegiatan berpengetahuan. Di sini, pengetahuan yang diperoleh hanya
benar sejauh dapat dijeleskan secara kuantitatif dan matematis.
Tak ada yang
salah dari semua itu, sejauh positivisme hanya berurusan dengan objek-objek
ilmu alam. Sebab, hakikat alam memang mesti diketahui melalui pengukuran dan
observasi. Pun, objek-objek alamiah memiliki hukum-hukum yang tetap dan tak
berkesadaran, sehingga sangat tepat ditempatkan sebagai objek yang tak
bertendensi untuk memengaruhi pengetahuan secara subjektif.
Tapi bagaimana
jika metodologi ilmu alam ingin diterapkan dalam kehidupan sosial? Di
sinilah positivisme melahirkan problem epistemologi, khususnya dalam
ilmu-ilmu sosial. Hingga menjadi persoalan bagi banyak pakar ilmu-ilmu sosial itu
sendiri. Positivisme memang dirancang dengan motif menerapkan metodologi ilmu
alam ke dalam ranah sosial-kemanusiaan. Bahwa Comte, sang penemu positivisme, yang sekaligus sebagai bapak sosiologi, sangat yakin jika masyarakat dapat ditentukan hukum-hukum tetap
dan kausalnya. Seolah-olah masyarakat serupa gerak pertumbuhan hewan, yang bisa
diketahui secara objektif dengan mencerap fakta-fakta empirisnya.
Akibat pengaruh positivisme, epistemologi dalam ilmu-ilmu sosial direduksi
hanya sebatas meraba kulit luar dari realitas sosial-kemanusiaan belaka.
Sedangkan kedalaman realitas soaial-kemanusiaan, seperti penghayatan masyarakat
terhadap kebudayaannya, tidak tersentuh. Sebab, dipertegas oleh Anthony
Giddens, ilmu-ilmu sosial yang dikristalisasi menjadi serupa ilmu-ilmu alam,
menempatkan gejala-gejala subjektivitas manusia—seperti kepentingan dan
kehendak—sebagai suatu hal yang tidak boleh mengganggu proses observasi dari
tindakan sosial. Agar ilmu sosial bisa dibangun pada matra yang lebih objektif,
dalam bentuk rumusan ‘hukum-hukum’ dan gejala kausal.
Maka, untuk
mendekati realitas sosial-kemanusiaan itu secara epistemik, tidak bisa dengan
hanya menyalin fakta objektif luarannya, sebagaimana yang biasa dilakukan dalam
observasi objek alam. Tapi mesti diintervensi sercara subjektif, melalui proses
interpretasi: masuk ke dalam konteks bersama dan dimensi kebatinan masyarakat.
Hanya dengan itulah motif-motif terbentuknya kebudayaan dalam masyarakat,
misalnya, bisa diketahui. Inilah yang disebut sebagai “sosiologi interpretatif”,
yang saat ini dikembangkan dalam dua pendekatan: fenomenologi dan hermeneutika.
Namun, tulisan
ini akan fokus menjelajahi hermeneutika, khususnya yang telah dikembangkan oleh
Wilhelm Dilthey (1833-1911), karena dialah yang mencurahkan hidupnya untuk
mengembangkan hermeneutika ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan. Melalui hermeneutika
Dilthey, akan kita jawab dengan lebih tegas lagi, perbedaan metode ilmu alam
dan metode interpretatif (hermeneutika) dalam mendekati realitas
sosial-kemanusiaan, sekaligus mencoba menjabarkan bagaimana
hermeneutika dalam perspektif Dilthey. Sementara, hermeneutika a la Dilthey
akan dijabarkan dengan meminjam asumsi-asumsi F. Budi Hardiman dalam buku
terbarunya, Seni Memahami: Hermeneutik
dari Schleiermacher sampai Derrida. Sebagai catatan,
naskah ini tidak menjabarkan pengertian dan sejarah hermeneutika atas dasar,
peserta diskusi telah mendapatkannya di pertemuan pertama.
Dilthey dan Hermeneutika Metodologis
Selama ini
banyak orang yang masih terjebak dalam mehamami hermeneutika. Bahwa
Hermeneutika hanya dipahami sebagai metode memahami teks-teks yang tertulis
maupun yang terungkap secara lisan. Memang benar, setidaknya sampai di masa Schleiermacher,
hermeneutika menemukan bentuknya dalam defenisi yang sangat khusus,
yakni hanya sebatas ilmu interpretasi teks-teks tertulis maupun yang
dilisankan. Namun, hermeneutika berkembang, dan berkembang pula objek kajiannya
sampai pada segala hal yang mengandung makna. Di sini, teks tidak hanya
dipahami sebatas yang tertulis maupun yang dilisankan. Tapi, dunia sosial-kemanusiaan seperti artefak
kebudayaan, gaya hidup, tradisi dst., bisa juga dibilangkan sebagai teks. Sebab semua itu dipahami sebagai realitas yang mengandung jejaring makna dan
struktur simbol-simbol, sebagaimana esensi teks. Maka, di tangan Dilthey, objek
kajian hermeneutika menjadi meluas. Tapi, konsepsi hermeneutikanya hanya fokus
menjelajahi makna-makna dalam dunia sosial-kemanusiaan.
Untuk itulah, di
tangan Dilthey, hermeneutika yang semula digunakan oleh Schleiermacher sebagai
metode menafsirkan teks-teks kuno, berubah menjadi hermeneutika sebagai metode
ilmiah yang khusus digunakan untuk memahami alam batiniah masyarakat melalui
tafsir atas produk-produk kebudayaannya di dunia sosialnya. Di sini, antara
Dilthey dan Schleiermacher masih memiliki kemiripan. Yakni bagaimana memahami
alam batiniah manusia (dunia mental) secara utuh. Namun objek yang didekati
keduanya berbeda.
Persamaan dan
perbedaan antara Dilthey dan Schleiermacher mendapatkan penjelasannya secara
rinci dari Budi Hardiman dalam Seni
Memahami. Kata Budi Hardiman, Dilthey masih meminjam asumsi Schleiermacher
soal modus mengetahui kehidupan batiniah suatu persona. Modus tersebut antara
lain: pertama, dengan memiliki konteks, atau ruang lingkup, dunia kehidupan
yang sama dengan orang lain. Maksudnya adalah, setiap orang akan mudah memahami
orang lain jika antara mereka memiliki konteks bersama. Seperti dua kaum muslim
yang bisa sama-sama saling memahami penghayatan religius dan kebudayaan, sebab
memiliki konteks bersama, yakni Islam. Bahkan, jika suatu individu yang mulanya
tidak memiliki konteks bersama dengan masyarakat yang ingin dipahaminya, sang
individu tersebut dapat menciptakan sendiri konteks bersama dengan masyarakat
tersebut, dengan menciptakan pengalaman yang dihayati bersama.
Kedua, empati,
atau mengalami kembali dunia kehidupan orang lain. Pada yang kedua ini, antara
Dilthey dan Schleiermacher berpisah karena perbedaan perspektif. Budi Hardiman
menjelaskan, dalam mengalami kembali dunia kehidupan orang lain, Schleiermacher
lebih menekankan pada metode introspeksi. Dilthey tidak sepakat dengan cara
demikian, karena cenderung psikologistik. Untuk mudah memahaminya saya memberi
contoh. Misalnya saya ingin menghayati kebudayaan pemotongan jari di suatu suku
di Papua dengan seolah-olah merasakan sakitnya jari yang terputus, hingga dari
sini saya mengatakan bahwa budaya demikian tidak baik, karena mencelakakan
orang lain.
Kata
Dilthey—dalam interpretasi Budi Hardiman—kita tidak bisa memahami orang lain
dengan merenungkan pengalaman kita sendiri atau membayangkan kalau kita adalah
orang itu. Sebab, sangat dimungkinkan hasil interpretasi disusupi anggapan
pribadi sang subjek yang mengetahui. Mestinya digunakan pendekatan interpretasi.
Makna interpretasi di sini bisa lebih diperjelas lagi dengan memberi tafsiran
pada apa yang langsung dikatakan seseorang yang mengalami kebudayaan tersebut. Hal
itulah yang Dilthey sebut sebagai verstehen:
‘memahami’. ‘Memahami’ kemudian
dirumuskan Dilthey sebagai yang tepat digunakan dalam cara kerja ilmu
sosial-kemanusiaan: hermeneutika kemudian menjadi metode ilmiah dalam suatu
bangunan ilmu sosial.
Perbandingan Metodologi Ilmu Alam dan
Hermeneutika Metodologis
Sampai di sini,
kiranya sudah begitu jelas cara kerja metodologi ilmu-ilmu alam dan
hermeneutika dalam mendekati dunia kehidupan. Bahwa hermeneutika yang
dirumuskan Dilthey mencoba untuk menelusuri makna dengan masuk ke dalam “tubuh
masyarakat dan segala ekspresi kebudayaannya”, dan memahaminya melalui
interpretasi. Caranya adalah dengan mengambil bagian dalam dunia batiniah orang
lain, baik mengambil bagian dalam konteks bersama, berpartisipasi dalam
komunitas masyarakat, maupun mengalami kembali dunia penghayatan orang lain
langsung melalui subjeknya.
Sementara cara
kerja ilmu-ilmu alam tidak seperti itu. Metodologi ilmu alam dalam memahami
masyarakat hanya mengamati fakta-fakta luaran dalam suatu komunitas masyarakat.
Selain itu, dengan pendekatan observasi, antara peneliti mengambil jarak dengan
yang diteliti. Dan, cara kerja ilmu-ilmu alam tidaklah menghayati kembali
pengalaman batin orang lain. Sebab ia ingin membersihkan subjektivitas
dalam ilmu pengetahuan. Lebih tegas lagi Dilthey memberi pembedaan antara
keduanya dengan menuding metodologi ilmu alam hanya mampu menjelaskan (Erklaren), dan hermeneutika mendalami
realitas sosial-kemanusiaan dengan cara memahaminya (Verstehen).
Budi Hardiman
mengemukakan, karena Verstehen
mencoba memusatkan diri pada “sisi dalam” objek penelitiannya, maka sangat
sesuai diterapkan untuk mengetahui masyarakat dan kebudayaannya. Tentu, manusia
masih bisa didekati dengan metode Erklaren
dalam ilmu alam, melalui “sisi luarnya”. Misalnya meneliti organ tubuh
manusia, yang kemudian menghasilkan ilmu kedokteran dan filologi. Tapi, sungguh
“sisi dalam” manusia tidak bisa diobservasi dan dikerangkeng dalam
laboratotium, sebagaimana jantung dan paru-paru, misalnya. Sehingga
mendekatinya mesti menggunakan metode “memahami”, mendekatinya dengan
interpretasi atas jejaring simbolik baik dalam tingkah laku, percakapan, maupun
kode-kode kebudayaan masyarakat itu sendiri.
Lantas, mengapa
dunia sosial-kemanusiaan mesti dipahami melalui dimensi batiniah—sisi dalam—
masyarakatnya? Itu karena dunia sosial-kemanusiaan adalah hasil dari
eksternalisasi, atau objektivikasi dari penghayatan masyarakatnya. Bahkan, gaya
hidup raja-raja adalah suatu bagian dunia sosial-kemanusiaan yang bermula dari
proses penghayatan dan olah mental masyarakat. Sehingga ketika di
eksternalisasikan, menghasilkan realitas baru.
Itulah mengapa
Dilthey mencoba untuk mendekati realitas sosial-kemanusiaan dengan cara yang
hermeneutis. Sebab, realitas sosial-kemanusiaan sangat mirip dengan teks. Jika
untuk memahami teks, hermeneutika mesti mengetahui isi pikiran pembuatnya,
dengan menelusuri latar belakang dan konteks dibentuknya teks itu. Maka,
realitas sosial-kemanusiaan—yang oleh Dilthey sebut sebagai “ungkapan
kehidupan”—pun demikian. Ia hanya bisa dipahami dengan memasuki matra terdalam
dari sisi batiniah pembuatnya: masyarakat itu sendiri.
Naskah ini disampaikan pada seri diskusi hermeneutika yang digelar oleh Cafe Dialektika Makassar
Naskah ini disampaikan pada seri diskusi hermeneutika yang digelar oleh Cafe Dialektika Makassar
Komentar
Posting Komentar