Yang Tengah Ditekuk dalam Dunia Anak-anak
Yang saya tulis
ini adalah fragmen seorang bocah gendut yang sedang menyendiri di depan
rumahku, sambil bermain-main dengan kaleng susu rongsokan, pada suatu pagi yang
murung. Awalnya saya sendiri tak yakin, permenungan apa, atau pengetahuan macam
apa yang bisa dicapai, saat menuliskan riwayat bocah gendut dan kaleng
rongsokannya itu . Saya gambarkan adegannya: kaleng yang agak penyok itu cuma
dibolak-balik sambil ditatap, sesekali dipakai untuk melempar kucing. Dan
kaleng itu pun dibuat tambah penyok ketika si bocah itu menghantamnya dengan
batu secara berkali-kali. Sudah, itu saja.
Tapi akhirnya saya menyadari, ketika saya memutuskan menuliskan adegan tak lazim dari si bocah dan kaleng rongsokannya itu, adalah ketika saya justru mencercanya sebagai peristiwa konyol dan tak menghasilkan apa-apa. Saya lantas berpikir, ada yang salah dari sikapku dalam melihat polah bocah itu. Maka saya reka ulang adegan itu hanya hendak menunjukkan sebuah pesan: anak-anak berimajinasi dan orang dewasa (saya) gagal memahaminya.
Seperti ketika
dulu sekali, saat saya masih seumuran bocah. Saya sangat senang bermain
pura-pura ilmuwan, dengan menciptakan ramuan aneh dari rerumputan dan dedaunan
liar plus campuran serangga yang aneh-aneh, dan tetangga saya hanya mengatakan,
“hummm.... bikin kotor-kotorko lagi di situ.”Kalimat itu punya nada yang tegas:
bahwa si empunya kalimat tengah melihat perihal yang omong kosong dari
imajinasi mungil seorang bocah, yang itu berarti ia sudah gagal mencerna
ketaklaziman itu.
Karena ia
tengah hidup di dunia orang dewasa, sebagai pegawai bank, yang melulu hidup
untuk mengukur, menghitung, dan dituntut untuk produktif. Maka ia tak begitu
terampil membayangkan suatu hal di luar dari yang praktis dan banal. Imajinasi
telah susut di dunia orang dewasa. Mungkin sebab itu, perkembangan anak-anak
sudah mulai jarang dijembatani oleh dunia khayal orangtua: gerbang mimpi
anak-anak di malam hari tak dibuka lagi oleh dongeng kancil dan buaya dari sang
ibu yang bersahaja.
Lantas, apa
yang salah dari itu semua? Sebab kita hanya tahu bahwa anak-anak adalah
anak-anak, dan orang dewasa adalah orang dewasa. Dunia mereka memang berbeda.
Oleh sebab itu orang dewasa melihat dunia anak-anak adalah sebuah kawasan yang
asing dan jauh: sebuah dunia yang memang pernah mereka huni, tapi telah
ditinggalkan, dan dilupakan.
Tapi ada suatu
hal yang memang patut kita curigai: kegagalan orang dewasa memahami dunia
imajinatif anak-anak. Sehingga memaksa anak-anak meninggalkan sejak dini
kehidupan bermainnya, untuk sebuah masa depan yang dibayangkan oleh orang
dewasa. Ketika itulah anak-anak harus disibukkan oleh kursus-kursus di siang
harinya, dan mengerjakan soal-soal matematika di malam harinya. Mereka sejak
dini sudah dipersiapkan untuk menghadapi kerasnya kehidupan orang dewasa,
dengan segala tuntutannya untuk produktif dan kompetitif.
Sehingga tak
ada lagi para cilik yang membuat monster dari tanah liat, dan mereka saling
menertawai buah tangan masing-masing, karena polah seperti itu dianggap tidak
bertautan dengan masa depan. Padahal, di kehidupan imajinatif dan bermain para
cilik itu, sekiranya adalah kehidupan di mana mereka bisa merasakan kebebasan
dan kebahagiaan yang paling murni. Dan, di fase hidup itulah mereka bisa
menghayati kehidupan yang luwes, ekspresif dan melihat dunia dengan cara yang
paling khusus. Masa kanak-kanak yang indah itu kelak akan semakin ditekuk,
kemudian dilupakan, dalam kesibukan-kesibukan praktis saat mereka telah
beranjak dewasa.
Ilustrasi: http://babykidszoom.blogspot.co.id/2015/03/gambar-anak-anak-bermain-3.html
Komentar
Posting Komentar