Saya Orang Modern, Saya Harus Cepat, atau Tergilas


Ilustrasi: https://1x.com/photo/481939

Saya orang modern, saya harus cepat. Pagi adalah penanda waktu saat keseharian manusia bermula, dan saya sudah harus cekatan melaju dalam aliran rutinitas, atau tergilas. Sebab orang-orang modern adalah mereka yang ditakdirkan berkompetisi  di dalam waktu. Ditekuk dalam momen persaingan, saling menggilas. Tergilas berarti menuju gerak melambat. Itu berarti pula gerak menuju keterbelakangan. Menjadi terbelakang berarti menjadi yang kalah dalam perebutan kesempatan. Orang-orang yang kalah, berarti mereka yang terbuang.

Maka dari itu saya harus bangun pukul sekian, sekian, sekian—lebih cepat lebih baik. Dan saya tak akan lupa mandi, sikat gigi, memakai peralatan kosmetik. Sebab menjadi harum dan bersih adalah suatu modal untuk berkomunikasi dengan baik dalam komunitas orang-orang modern. Bukankah orang modern selalu butuh modal?

Yah, saya harus sigap. Sebab saya tak boleh di belakang kecepatan detik. Membenahi diri pada pagi yang bersahaja itu, saya mesti rutin perpapasan dengan laju jarum jam. Mengimbangi geraknya saat melintasi waktu numerik. Sebab saya yang modern adalah saya yang berpapah pada angka-angka. Sebagaimana kosmik yang eksistensinya direpresentasikan melalui hitungan matematik ilmu-ilmu alam. Atau kalau tidak, saya akan terlambat dan tergilas.

Untuk itu saya mesti menjadi manusia multitasking, yang mampu menyelesaikan pekerjaan secara simultan, agar waktu dimanfaatkan secara efisien. Saya mesti mengangkat telepon sambil mengunyah sarapan pagi. Jika saya butuh informasi update seputar kejadian-kejadian di seluruh dunia, saya bisa searching di mesin pencari melalui smartphone sambil membuat kopi. Sebab pekerjaan remeh-temeh tapi penting itu, harus segera selesai agar dapat mengimbangi kecepatan detik. Saya orang modern, saya yang dikerumuni waktu yang dihitung.

Hingga pukul 9.00 WITA, saat ketika suatu kegiatan akan dilaksanakan di sebuah hotel, dan saya harus meliputnya. Saya harus bergegas, karena jarum jam sudah menunjukkan pukul 08.00 WITA. Bukankah terlambat berarti pasrah tergilas? Itu berarti jalan menuju keterbelakangan, membuang kesempatan dan tersingkir? Jika terlambat, mungkin saya kehilangan kesempatan untuk meracik berita soal kegiatan tersebut. Atau mungkin saya sanggup meracik berita dari sisa-sisa peristiwa, tapi kualitas artikel saya sangat terbelakang dan tidak lebih maju dibanding wartawan lainnya. Jika itu terjadi, saya telah membuang kesempatan, dan tersingkir dari persaingan di industri jurnalistik.

Tapi masih tersisa 1 jam, kenapa harus takut terlambat? Yah, saya sebagai orang modern sudah harus meprediksi bahwa lewat dari pukul 8 pagi, jalan raya akan dikerumuni kendaraan orang-orang yang juga ingin melaju cepat. Sehingga jalan raya pastinya akan macet. Saya harus lebih sigap agar tak terkurung di jalan raya, yang beku dan tak ramah itu.

Tapi, apa boleh buat. Di titik jalan yang kulalui saat ini sudah dirundung kemacetan. Gerak kendaraan melambat, waktu terbuang sia-sia. Bunyi-bunyi klakson dari arah belakang mulai mengintimidasi saya, dan juga menyerbu mereka yang lebih di depan. Bunyi-bunyian gaduh itu adalah bahasa jalan raya yang artinya, “kalian harus cepat!”.

Tapi bagaimanapun, meski tak dihajar bunyi-bunyian klakson, orang-orang modern sudah akan selalu mencuri kesempatan dalam kesempitan. Hal tersebut sudah menjadi suatu karakter yang hadir secara kultural saat masyarakat manusia terlempar dalam dunia modern. Dalam perebutan kesempatan itu, orang-orang modern akan menindas dan terkadang tidak demokratis. Dalam ruang ruang politik, ekonomi dan kebudayaan, hal itu sudah kerap terjadi.

Begitu pun dalam ruang pengap jalan raya. Lihatlah betapa menindas dan tidak demokratisnya pengguna kendaraan. Mereka merampas ruang trotoar untuk pejalan kaki, demi merebut peluang.  Saya sebagai orang modern juga mesti melakukan itu, atau kalau tidak, siap-siap tergilas. Kususuri trotoar, meski saya harus lebih beretika dibanding yang lainnya. Yang lain itu, mereka yang merampas yang bukan miliknya, dan menyerang lagi sang pemilik hak—pejalan kaki—dengan letupan klakson. Sang tertindas kena kesialan secara beruntun. Tak pelak, melalui tindak ketidakadilan yang kulakukan di jalan raya, saya bisa sampai tepat waktu. Mulailah saya hanyut dalam rutinitas yang banal sebagai “kuli tinta”.

Saya adalah “kuli tinta” yang selalu dihantui oleh deadline. Saya harus larut lagi dalam kecepatan detik. Tiap-tiap menit adalah tiap-tiap paragraf yang harus selesai diketik, pada waktu yang semakin sempit. Kumainkan smartphone, berselancar di dunia maya untuk mencari inspirasi di media sosial—suatu ruang publik virtual yang juga hadir sebagai perlambangan bahwa dunia modern kian hari kian cepat. Di sana, image-image berhamburan silih berganti, saling tumpuk dengan cepat. Juga pesan-pesan dari para user Facebook tumpah ruah. Tiap detik, teks-teks hadir dan saling meniadakan.

Media sosial bisa juga menjadi ruang di mana waktu terbuang sia-sia. Orang-orang dapat menghabiskan waktu di sana, hingga lupa akan aktivitas kesehariannya di dunia nyata. Maka saya mesti fokus, atau detik per detik akan semakin meninggalkanku. Hanya sesekali saja saya menyapa warganet di Facebook, sesekali mengetik berita. Sebab deadline adalah suatu keadaan di mana tiap waktu yang berubah adalah keterjepitan. Yah, orang-orang modern memang adalah masyarakat mutakhir yang selalu terjepit. Bukan hanya terjepit oleh utang, oleh keserakahannya yang menghantui, juga oleh kesibukan-kesibukan praktis yang begitu padat dalam sekuensi waktu yang kaku. Kerja, kerja dan kerja. Syahdan, saya orang modern, saya  harus cepat, atau tergilas.

Komentar

Populer Sepekan