Laut Hanya Kemungkinan-kemungkinan Belaka, Sondang
Dulu kau bilang,
laut adalah ketetapan. Perahu menemukan takdirnya berlayar di hamparan air asin.
Juga pukat, sudah mantap sebagai artefak yang berfungsi menangkap komunitas air
asin: ikan-ikan bersuhu tinggi ditakdirkan berakhir di cengkraman jaring-jaring.
Dan gulungan ombak, juga angin laut? Katamu, mereka sudah harus menjadi
tantangan bagi para nelayan.
Sementara aku
adalah gadis laut, yang sanggup kau lihat wajahku di laut, dan kau bilang
refleksi wajah itu petanda takdir kita: ketetapan laut.
Dari situlah bermula kekonyolanmu sebagai lelaki berwarna coklat yang sangat yakin bisa mempersuntingku. Aku masih ingat, di setiap ketidakpedulianku, kau selalu berteriak padaku, “Kau ditakdirkan jadi istriku.” Tapi kau tak tahu saja, Sondang. Saat aku berjalan membelakangimu dan kau meneriakkan kalimat itu, aku hanya tersenyum remeh membayangkan ketidakberhargaanmu sebagai lelaki miskin yang bermimpi menikahi anak kepala desa.
Imaji laut
sebagai ketetapan adalah kekonyolan, Sondang. Laut bukan Tuhan, dan refleksi
wajah itu hanya angan-angan yang lahir dari gairahmu yang mengebu-gebu, bukan
suatu petanda takdir dari entah di mana. Tapi di suatu hari aku melihat sekujur
tubuhmu dilumuri puisi, dan entah mengapa kau tetiba begitu indah dan
menggetarkan.
12,1,2,3....
jarum jam terus menembus waktu numerik: masa kian berganti, dan mengganti pula
isi pikiranku dengan pertanyaan “entah mengapa”.
karena kau
seketika menjadi terka-teki, ketika aku ditekuk oleh tatapan matamu, oleh kulit
coklat cemerlangmu, oleh keramahanmu pada masyarakat desa. Seketika kau menjadi
teka-teki ketika aku mulai merindukan kata “Kau ditakdirkan jadi istriku”
yang meletup di mulutmu. Dan lagi, kau seketika menjadi teka-teki saat aku
mulai dirundung cemburu ketika melihatmu bercengkrama dengan seorang gadis
desa: aku semakin menjadi “entah mengapa”.
Kau akhirnya
menjadi teka-teki selama bertahun-tahun dalam hidupku, saat hanya kau, di
antara kerumunan pemuda itu, yang bersedia melabrak gulungan ombak yang
mengganas oleh bantuan angin dan hujan deras, dan membawaku kembali menepi saat
aku sudah pasrah ditelan angkara laut: entah mengapa.
Jawaban
teka-teki itu adalah, karena laut adalah ketetapan, katamu. Suatu pernyataan
yang sudah kau sebut berulang-ulang kali yang bisa membuatku mati karena
terlalu bosan mendengarnya. Tapi pernyataan itu bahkan masih teka-teki bagiku
hingga kita menikah.
Karena laut
bukan Tuhan, Sondang: sekali lagi aku tunjukkan keyakinanku. Aku hanya meyakini
laut adalah kemungkinan-kemungkinan belaka. Kau mungkin saja menjadi kekasihku
atau malah tak menjadi apa-apa dalam hidupku meskipun citra diriku pernah kau
lihat pada hamparan air laut. Hanya karena kau memang yang punya kesetiaan
mendalam untuk berjuang memilikiku, di antara banyaknya pemuda laut yang telah
berupaya tapi gagal karena kerapuhannya sendiri.
Dan sampai saat
ini aku akan, dan harus yakin bahwa laut hanya kemungkinan-kemungkinan belaka.
Kau bisa saja belum sampai ke pesisir dalam 3 hari ini. Tapi sebentar, besok
atau lusa kau bisa tiba dengan membawa berkilo-kilo ikan, atau malah tak
membawa apa-apa kecuali daging dan hidupmu.
Ombak mengganas
dan badai menghempas di cakrawala. Aku tetap di pesisir pantai dan harus yakin
bahwa laut adalah kemungkinan-kemungkinan belaka. Titik hitam yang menirus itu
bisa saja adalah kau yang sedang berlayar menghampiri pantai, atau malah si kakek
bisu tetanggamu yang masih setia menjadi nelayan meskipun sudah uzur.
Ketika pada
akhirnya yang menepi adalah si nenek bisu itu, atau malah orang lain, aku tetap
yakin jikalau Laut hanyalah kemungkinan-kemungkinan
belaka. Karena aku hanya ingin tak percaya jika laut bisa menetapkan takdir
segala ihwal: dan hidup-matimu tak ditentukan oleh gelombang air laut, juga
hempasan angin laut.
Aku masih
memandangi hamparan air asin yang birunya telah menyatu bersama kilau jingga
matahari, meskipun aku tahu yang menepi adalah si nenek bisu yang tetibanya
langsung menggerak-gerakkan lengan dan jari-jarinya. Tapi aku tak paham bahasa
orang bisu, Sondang. Ia hanya berlari menuju perkampungan dan berteriak-teriak
seperti orang gila yang sedang cemas.
Kau lagi-lagi
seperti teka-teki. Aku seperti bermain tebak-tebakan atas apa yang aku pandangi
pada batas cakrawala. Seperti titik hitam yang baru saja muncul lagi di
kejauhan, aku akan menebak lagi apakah di sana adalah kau yang lagi tersenyum
menyungging, atau malah nelayan lain lagi. Aku akan menunggumu di sini. Ah,
tidak. Maksud saya, kami, Sondang. Aku dan mahluk kecil yang begitu tenang
terbungkus perut ini akan setia menunggu kedatanganmu.
Ilustrasi: wusk.deviantart.com/art/Beach-Sunset-56192772
Ilustrasi: wusk.deviantart.com/art/Beach-Sunset-56192772
Kereen :) perempuan yang menunggu.
BalasHapus