Klakson
Klakson. Siapa
yang tidak kenal dengan salah satu artefak kendaraan yang menjengkelkan ini?
Yah, menjengkelkan. Pahamilah bahwa itu cuma tesis saya secara pribadi. Tapi
saya pikir Anda juga kerap jengkel dengan alat ini. Apalagi pas lampu lalu
lintas baru menunjukkan warna kuning, lantas Anda sudah dikepung dengan
bunyi-bunyian klakson dari arah belakang. Kampret kan namanya?
Oh, maaf. Saya
menulis esai ini memang dalam keadaan emosi yang tak tertahankan. Tadi pagi
saya hampir jatuh karena diserang bunyi ‘taradiditaradiditaradidi’ yang muncrat
dari klakson pete-pete. Dan bocah-bocah tengik yang nongkrong di pinggir jalan menganggapnya
lelucon. Makanya, awal tulisan ini sepertinya mencerminkan diriku yang tidak
rasional. Karena begitu terburu-burunya saya menyalahkan klakson tanpa
mengomentari penggunanya.
Maka dari itu,
saya akan mulai sedikit rasional di sini. Sebenarnya yang patut disalahkan,
ketika Anda (dan saya) kadang dibuat jengkel dengan suara klakson yang membabi
buta di jalan raya, ialah penggunanya. Sudah
menjadi tontonan yang lumrah di jalan raya pengendara motor dan mobil
menggunakan klakson seenaknya. Sudah banyak kasus untuk itu—setidaknya dari
pengalaman saya.
Misalnya, di
jalan raya selalu ada saja pengguna kendaraan mengklakson secara bertubi-tubi dengan
maksud menyuruh saya menyingkir. Padahal dia tidak sadar sedang menggunakan
klakson dengan keadaan yang tidak relevan. Karena tanpa menyuruh saya
menyingkir, dia sebenarnya bisa lewat melalui sisi kiri atau kanan karena ruang
masih luas untuk menyalib. Atau misalnya, dalam keadaan macet, masih saja ada
orang yang dari belakang membunyikan klakson berkali-kali. Padahal, membunyikan
sampai mati pun, kalau memang keadaannya lagi macet, sia-sia kan? Masa saya
harus terbang pakai motor untuk memberikan dia ruang?
Apa yah. Sebanarnya
mengklakson bertubi-tubi dalam situasi yang tidak sesuai, tanpa sadar, menjadi refleksi
kejiwaan kita. Bukan maksud mau bilang, orang kayak begitu tandanya sakit jiwa,
bukan itu. Tapi Ibarat cermin, klakson memantulkan setiap dimensi hasrat kita,
misalnya, nafsu berkuasa. Seperti tiap-tiap ruang di jalan raya adalah
kepemilikan sepihak. Hingga mengklakson dengan ganas seperti sebuah pesan,
“Minggir kamu, ini jalan saya”.
mengklakson juga
menjadi tanda yang jelas betapa keseharian orang-orang modern adalah keseharian
yang terburu-buru. Tapi di sisi lain, kita tak jua sadar, mepetnya waktu yang
kita miliki disebabkan oleh kelengahan kita sendiri sebelum memulai perjalanan.
Karena kita yang terlambat bangun, terlambat mandi, dan kita pula yang mengklakson
tiap orang untuk melipir, untuk mengalah. Seolah-olah melalui klakson, kita hendak
menyampaikan pesan, “Waktuku yang lebih berharga, ketimbang waktumu”.
Makanya, dari
dulu saya selalu berpikir, bagi siapapun yang ingin menguji kesabarannya,
berlama-lamalah di jalan raya. Selain kemacetan, klakson siap menjadi ujian
bagi kesanggupan kita menahan amarah. Apalagi yang lagi berniat menjadi sufi,
atau mistikus, maka janganlah berlama-lama berzikir di masjid. Sekali-kali
berlama-lamalah di jalan raya untuk menguji makam spritual Anda. Ini tak hanya
barlaku bagi orang-orang yang menjadi objek suara klakson yang bertubi-tubi,
tapi juga bagi pengguna klakson dengan cara yang tidak waras. Coba, bisakah
Anda mengarungi hiruk-pikuk jalan raya tanpa membombardir orang dengan suara
klakson? Kalau memang tak sanggup, biasakanlah bersabar di jalan raya. Gunakan
klakson seperlunya saja. Kita fungsikan ia dalam keadaan yang tepat dan relevan
saja.
Kopi... mana
kopi...
Ilustrasi: http://www.sakamautoservice.com/2015/05/klakson-mobil-tidak-bunyi-ini-dia-penyebabnya.html
Komentar
Posting Komentar