Menelaah Kemungkinan-kemungkinan Epistemologi Manusia di Era Cyberspace
Kebenaran adalah apa yang harus
ditertawakan
(Jean
Baudrillard)
Hal ini
sepertinya menarik untuk diperbincangkan: bagaimana melihat perkembangan
epistemologi manusia, dalam hubungannya dengan perkembangan artefak-artefak
teknologi. Soalnya begini: selama ini, perbincangan epistemologi selalu hanya
dikaitkan antara hubungan fungsi-fungsi alamiah manusia (akal, indra, hati) dengan
objek pengetahuan (realitas). Fungsi-fungsi alamiah itulah yang membuat tindak
berpengetahuan manusia atas segala sesuatu menjadi mungkin, atau malah sebaliknya,
mustahil—karena ada juga yang bersikap skeptik dan nihilistik terhadap potensi
epistemologi manusia. Padahal, perkembangan teknologi turut mengubah cara
manusia berpengetahuan. Dari situ, kenyataan akhirnya direngkuh secara
epistemologis melalui mediasi teknologi.
Pertanyaannya
kemudian, apakah dengan mediasi teknologi, tindak berpengetahuan manusia
menjadi lebih mungkin, atau sebaliknya, mustahil? Di sinilah kita akan
bincangkan kemungkinan-kemungkinan epistemologi manusia, dalam hingar-bingar
perkembangan teknologi, sampai pada perkembangannya yang paling mutakhir: cyberspace.
Maka artikel ini
akan fokus pada: pertama, bagaimana
teknologi memediasi manusia dalam mempersepsi kenyataan, sampai pada melihat
mungkin-tidaknya teknologi virtual di
era cyberspace menjadi mediasi yang
baik bagi kebutuhan pengetahuan manusia. Kedua,
realitas adalah basis ontologis pengetahuan. Ketika manusia memasuki era cyberspace, bagaimana nasib realitas sebagai
basis ontologis pengetahuan manusia? Apakah masih sama dengan realitas yang
direngkuh manusia, ketika tindak pengetahuannya dimediasi oleh artefak
teknologi pra-cyberspace? Ketiga, soal nilai pengetahuan di era cyberspace.
***
Ketika Antonie
Van Leewenhoek menemukan mikroskop lensa tunggal, apa yang mustahil dicerap oleh
mata manusia menjadi mungkin. Seseorang akhirnya bisa mengamati ekstensi yang
paling kecil sekalipun semisal sel darah merah, bakteri, atau protozoa.
Teknologi mikroskop—yang mulanya dikembangkan pertama kali oleh Zacharias
Jansen—mentransformasikan pengalaman manusia kejangkauan lebih detail dan luas mengenai
dunia sekitarnya.
Sebelumnya, Don
Ihde, pesohor filsafat teknologi, sudah menyadari hal itu. Dengan menyadari adanya hubungan relasional
antara manusia dan teknologi, Don Ihde pun berkesimpulan bahwa manusia bisa
mengenali dunianya secara utuh dengan mediasi teknologi. Pahaman inilah yang disebut
Don Ihde sebagai fenomenologi instrumentasi (posfenomenologi). Bersifat
fenomenologis karena asumsi tersebut mengandaikan adanya hubungan intensional
(keterharahan) antara manusia sebagai subjek dan realitas sebagai objek— yang
dalam fenomenologi disebut sebagai dunia kehidupan (lebenswelt). Bersifat instrumentasi karena ternyata pengalaman
manusia terbentuk secara intensional dan persepsional dengan mediasi teknologi:
dunia kehidupan kemudian terpahami secara instrumental.
Ketika teknologi
menjadi medio pencerapan manusia untuk menjangkau secara detail dunia
pengalaman, maka di sinilah tercipta apa yang Don Ihde bilangkan sebagai
“relasi kemenubuhan”: ketika teknologi telah menjadi bagian dari tubuh manusia.
Relasi manusia-teknologi inilah yang menjadikan fungsi-fungsi pencerapan tubuh
melampaui kemampuan-kemampuan alamiahnya. Melalui hubungan relasional
manusia-teknologi, handpone misalnya,
menjadikan telinga manusia melampaui batas-batas pendengarannya, dan teleskop
menjadikan mata manusia melampaui batas-batas penglihatannya.
Lantas, apakah
relasi manusia-teknologi turut memungkinkan kebenaran tentang realitas yang diketahui
manusia? Dalam arti, apakah relasi kemenubuhan itu memungkinkan manusia
mencerap realitas sebagaimana mestinya?
Dalam konteks tertentu, hal tersebut benar adanya. Dulu, para ilmuwan
dipusingkan dengan fakta-fakta astronomi yang terbelah menjadi dua: apakah Bumi
mengelilingi Matahari (heliosentris) atau malah Matahari yang mengelilingi Bumi
(geosentris). Copernicus percaya pada temuan Hipacrus, bahwa teori heliosentrislah
yang benar. Sementara Ptolemeus percaya pada teori geosentris.
Lantas,
bagaimana fakta-fakta astronomi ini menemukan titik temu kepastiannya?
Pengembangan teleskop oleh Galileo akhirnya menyudahi kebingungan itu. Dengan
bantuan teleskop, Galileo mampu mengamati gunung-gunung dan ceruk kawah di
Bulan, dan fakta-fakta astronomik lainnya, yang sebelumnya tak bisa dijangkau
oleh pencerapan indrawi manusia. Kemudian, pengamatan-pengamatan Galileo itu memberi
kepastian kebenaran terhadap heliosentris—meskipun kemudian Galileo dihadapkan
pada petaka, karena gerejawan waktu itu lebih menyepakati asumsi Ptolemeus.
Pada penjelasan
tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa pengetahuan yang dibangun secara teknologis
bisa lebih jelas dan pasti ketimbang mengandalkan fungsi alamiah pencerapan.
Ilmu pengetahuan akhirnya turut berkembang melalui temuan-temuan persepsi
manusia yang dimediasi oleh teknologi.
Kemudian,
manusia memasuki abad 21, dan teknologi turut berkembang. Ditemukanlah
televisi, komputer, sampai yang lebih mutakhir, smartphone. Penemuan itu tak hanya menandai puncak dari revolusi
pengetahuan, tapi juga revolusi informasi. Televisi akhirnya menjadi mediasi
alternatif, ketika orang-orang hendak mengetahui informasi di belahan dunia,
tanpa harus mengunjunginya. Di sini, televisi tak hanya memediasi manusia
mencerap realitas, tapi televisi sendirilah yang menghadirkan kenyataan itu (hadir
dalam bentuk citra). Sehingga manusia,
dengan hubungan kemenubuhannya dengan teknologi (televisi) bukanlah mahluk yang
membangun pangalamannya secara aktif. Namun, pengalamannya pasif, akibat
kehadiran televisi yang justru secara aktif mempertontonkan (mengarahkan)
kenyataan secara intens di hadapan manusia.
Sampai di sini
sebenarnya tidak ada masalah. Menjadi masalah kemudian adalah, objek
pengetahuan yang dihadirkan oleh televisi justru pada kadar tertentu, tidak
sesuai dengan kenyataan aslinya. Sehingga secara persepsional, manusia bisa
mengalami kesalahan. Puncak dari ambruknya realitas ketika teknologi virtual
(komputer, smartphone, dst) hadir di
tengah-tengah kehidupan manusia. Selain kita disuguhi kenyataan yang cenderung
manipulatif, teknologi virtual juga sanggup menciptakan kenyataan baru, yang
tak memiliki referensi di dunia nyata: dunia pengalaman yang sesungguhnya.
Akhirnya, hidup
manusia telah memasuki era cyberspace.
Ketika komputer dan smartphone,
dengan segala kemampuan jejaring internetnya, membawa aktivitas kehidupan
menuju pada dunia baru, dunia yang sebelumnya tak terpikirkan bahkan oleh
imajinasi liar manusia primitif: dunia maya. Komunikasi jarak jauh, bahkan
saling tatap muka menjadi mungkin dilakukan. Informasi begitu mudah di akses.
Mencerap setiap belahan dunia secara persepsional turut juga dimungkinkan.
Inilah era yang kerap pula dibilangkan sebagai zaman informasi dan komunikasi.
Lantas bagaimana
masa depan pengetahuan manusia, di tengah kepungan realitas yang dihadirkan cybercpace atau dunia maya? Masih
mungkinkah manusia membentuk pengetahuan yang pasti terhadap realitas, melalui
mediasi teknologi virtual, sebagaimana pastinya pengetahuan mengenai suhu badan
kita yang dimediasi oleh termometer?
Soalnya begini:
sekali lagi ditekankan bahwa di dunia maya, kenyataan kerap kali direpresentasikan
dalam bentuknya yang tidak sejati, tidak otentik. Sehingga, ketika ia menjadi
basis ontologis pengetahuan, akan bermasalah bagi konstruksi pengetahuan kita.
Lantas, mengapa diandaikan cyberspace
sebagai medan kehadiran dunia yang tidak otentik? Kiranya Baudrillard bisa menjawab
persoalan ini.
Baudrillard
adalah sosiolog yang sangat terusik oleh kemampuan-kemamupan teknologi virtual dalam
merepresentasikan kenyataan. Ketika teleskop merepresentasikan kenyataan yang
masih asli di hadapan mata, maka kinerja teknologi virtual tidak seperti itu.
Ia hadir merefleksikan kenyataan dengan cara manipulatif, atau apa yang
Baudrillard sebut sebagai proses simulasi. Realitas dihadirkan kembali dalam
bentuk citra-citra, kode-kode matematis, yang bahkan selalu tidak sesuai dengan
aslinya. Bahkan, kemampuan teknologi virtual lebih dari itu. Ia mampu
merefleksikan kenyataan baru, kenyataan virtual yang tak memiliki acuan yang
jelas. Bagi baudrillard, simulasi pada dasarnya adalah sebuah strategi
penolakan atas persepsi kita terhadap realitas. Bahwa di samping realitas real,
ada juga realitas yang kadar ekstensinya begitu imajiner dan non real: simulacrum.
Permasalahannya
menjadi rumit saat dunia maya, yang terefleksikan secara virtual melalui
komputer dan smartphone kita, menjadi
hunian baru. Maka setidaknya ada dua implikasi
yang terjadi: pertama, bergumulnya kita
dalam sekat-sekat simulasi di dunia maya, yang pelan-pelan menggantikan medan
pengalaman kita, dan mewujud menjadi dunia alternatif untuk memahami dunia
keseharian. Kedua, melalui kondisi
tersebut, segenap konstruksi pengetahuan kita, sedikit banyak terbentuk oleh
injeksi dunia maya, yang tentunya dimediasi oleh teknologi virtual kita.
Lantas, menjadi
soal kah kondisi demikan? Pada situasi tertentu, patut dipertanyakan.
Baudrillard telah memperingati kita bahwa zaman simulasi menandai era di mana
batas-batas kenyataan meluruh. Di dunia maya, kita akan diperhadapkan pada kenyataan
di mana segala hal yang bertentangan, saling silang sengkarut: melumernya
batas-batas fakta-fiski, baik-buruk, benar-salah. Maka bisa jadi konstruksi
pengetahuan kita yang dibentuk dunia maya kita anggap benar padahal sebenarnya
salah, atau malah sebaliknya. Itu karena di dunia maya kita kadang menganggap
yang fiksi sebagai fakta, dan malah sebaliknya. Lantas, bagaimana dengan perihal
baik-buruk? Di dunia maya, terkadang nilai-nilai tradisional hilang seturut
intensnya interaksi kita “di dalamnya”. Di sana, tak ada kiai yang patut
dihormati. Anda tinggal meng-upload
foto Buya Syafi’i yang diedit secara profesional dengan menyelipkan perempuan
di sampingnya, maka kondisi pemahaman orang-orang turut berubah. Bahkan penjahat
bisa kita anggap bermoral, tergantung kode-kode pencitraan yang menjadi
representasi fiktif terhadapnya teraktual di dunia maya.
Belum lagi
sekat-sekat informasi yang tumpah ruah di dunia maya. Kehadirannya yang tanpa
batas, meruntuhkan independesi pikiran kita. Dunia maya, menjelma menjadi
realitas yang justru telah menyediakan isi pikiran dan juga membentuk proses
pikiran.
Lantas, apakah
selamanya kondisi seperti itu akan kita alami saat bergumul di dunia maya? Tentu
tidak, sejauh referensi final capaian pengetahuan kita tetap merujuk ke dunia
nyata. Atau, kita masih tetap berhati-hati, dengan kembali merenungi secara
mendalam segenap informasi dan sekat-sekat simulasi yang melarung di kesadaran
kita. Cuma persoalannya, kondisi demikian tidak terjadi pada sebagian orang.
Dunia virtual terkadang malah mendangkalkan cara berpikir kita, hingga kita
turut merayakan permukaan dan meninggalkan kedalaman.
Di era cyberspace, orang-orang kerap kehilangan
laku permenungan. Itu karena tak ada waktu untuk merenung, ketika citra-citra
dan lautan informasi tumpah ruah mengepung kesadaran kita tanpa adanya sikap
selektif: semua ditelan. Dari situ, tak ada jedah untuk berpikir jernih. Maka
dari itu, teknologi virtual bisa jadi gagal menjadi mediasi antara subjek yang
mengetahuidan objek yang diketahui, ketika kita hanya pasrah ditelan kepungan
simulasi yang dihadirkannya []
Komentar
Posting Komentar