Pengakuan
Hari sudah tengah malam saat Darma mengunjungi rumah
Badula. Ia terlihat begitu menikmati kreteknya, setelah lima bulan lamanya
tidak menghisap sebatang pun. Sementara Badula hanya menatapnya dengan banyak
tanda tanya yang membebani pikirannya. “Sungguh, aku terkejut saat melihatmu
masih hidup,” kata Badula, sambil mematikan bara pada ujung kreteknya yang
sudah memendek di sebuah asbak.
“Jangan terlalu lama terkejut, Kawan. Cepat ambilkan
handuk,” timpal Darma, menyindir.
Badula hanya tersenyum dan bergegas mengambilkan
handuk, sehelai baju dan celana untuk Darma. Sementara hujan di luar semakin
deras. Menyerbu bumi. Seolah-olah setiap butir hujan turun dari langit untuk
merayakan kedatangannya.
Malam ini, rumah Badula begitu sepi. Istri dan anaknya
kebetulan menginap di rumah orangtuanya yang persis berada di batas desa.
Hingga Darma terlihat leluasa membuka seluruh pakaiannya. Sebab ia pikir, tak
ada yang keberatan jika ia telanjang bulat di rumah ini, kecuali mengundang
tatapan nanar dari Badula. Ternyata nasib bisa meleset saat merenggut
nyawa seseorang, pikir Badula saat memandangi tubuh Darma yang
dihiasi sebuah bekas lubang peluru di bagian kanan perutnya, dan beberapa bekas
sobek di bagian dada dan punggung hasil berbenturan dengan bebatuan dan
pepohonan saat ia terjatuh di lembah. Tak ada yang bisa dikatakan Badula
tentang mala yang menimpa Darma, kecuali hanya memberikan handuk, sehelai
celana pendek dan baju kaus kepadanya.
Darma yang sedang menyeruput kopi hitam, menyadari
keheranan Badula. Ia lantas menceritakan perihal dirinya yang berhasil
selamat. Tentang bagaimana ia merawat sendiri luka-lukanya dengan obat
tradisional yang diracik dari tumbuhan liar. Dan bagaimana ia, selama lima
bulan ini, mesti memulihkan kaki kirinya yang patah terlebih dahulu sebelum
mencari jalur menuju desa. Belum lagi ia mesti menghadapi ajak-ajak yang begitu
beringas ingin mencabik-cabik dagingnya saat ia dalam keadaan ringkih.
Ajak-ajak itu adalah ancaman bagi hidupnya, sekaligus juga berkah untuk
hidupnya. Satu bangkai ajak yang dibunuhnya bisa menjadi bekal makanan untuk
dua hari.“Kau tahu, daging ajak ternyata enak disantap jika dipanggang,” katanya
dengan amat serius. Apa yang dipikirkan Darma setelah menceritakan itu adalah,
kopi pahit yang diseruputnya belum segetir kehidupannya selama lima bulan di
hutan.
“Jadi, siapa dalang dari petaka yang lalu?” Darma
seketika menyinggung inti permasalahan.
“Bajobarat,” timpal Badula. Ia kemudian bercerita
tentang sosok itu.
Sebagai salah seorang mahasiswa yang sedang melakukan
penelitian di desa ini, ternyata ia juga adalah agen intelijen. Ia dikirim saat
rezim sedang terancam ambruk. Yah, lima bulan yang lalu, negara sedang berada
di puncak gejolak amat sangat. Puluhan ribu massa dari mahasiswa, kelompok
buruh dan tani, juga beberapa jaringan aktivis lainnya mencoba menjatuhkan
rezim yang dianggap otoriter dan banyak menyengsarakan rakyat kecil.
Hari demi hari, gemuruh perlawanan dari setiap
jaringan aktivis semakin dahsyat. Huru-hara pun tak bisa lagi dielakkan, saat
para pemberontak—begitulah rezim menamai mereka—semakin anarkis. Hal inilah
yang membuat rezim memerintahkan militer untuk membasmi para pemberontak itu,
termasuk mengirim intelijen di setiap tempat yang dicurigai sebagai sarang
pemberontak. Bajobarat mulai menyadari jika di desa ini terdapat seseorang yang
menjadi otak berkembangya kelompok buruh dan tani, yang terlibat perlawanan
dengan tirani. Ialah Darma.
Demikianlah kejadiannya, saat rombongan militer datang
ke desa ini lima bulan yang lalu, atas informasi yang diberikan oleh Bajobarat.
Setiap tentara menyisir ke sudut-sudut desa, ke rumah-rumah penduduk, untuk
menemukan Darma. Tapi, yang mereka temukan hanyalah lima petani yang juga
terlibat dalam pemberontakan. Sementara Darma belum juga diketahui
keberadaannya.Tiga orang lantas diseret ke dalam truk, dan dua orang
lainnya ditembak mati saat berusaha melawan.
Di desa ini sangat banyak pemberontaknya, termasuk
Badula. Tapi, mereka cukup terlatih, hingga mampu menyembunyikan identitasnya.
Juga, siapapun yang ditangkap dari mereka, sudah menjadi kewajiban untuk tidak
memberitahu identitas teman-temannya. Hanya Darma, dan lima orang anggotanya
yang sedang tak beruntung saat itu.
Lama berselang, anggota militer telah mengetahui jika
Darma menuju ke hutan. Mereka dengan sigap mencarinya. Entah dari
mana mereka tahu. Mungkin melalui Bajobarat. Atau kalau tidak,
kemungkinan melalui bocoran dari tiga anggotanya yang telah ditangkap. Bisa
saja itu terjadi. Sebab bagaimanapun terlatihnya para pemberontak itu dalam
menjaga rahasia, potensi mereka dalam mengumbarnya juga cukup besar, ketika
sudah dihadapkan dengan beragam penyiksaan yang keji. Tapi, tentang peristiwa
itu, Badula mengaku tak tahu pasti akan pelakunya. Ia hanya menceritakan, para
tentara yang memburu Darma kembali ke desa dan membawa kabar buruk: Darma telah
ditembak mati, dan mayatnya jatuh ke lembah.
“Ini menggelikan. Aku tak mengira jika mereka bisa
menemukanku di hutan itu,” kata Darma. Ia tersenyum masam.
“Mereka banyak, Darma. Mereka semakin mudah
menemukanmu di hutan itu.”
“Lantas, bagaimana kabar perlawanan kita saat ini?”
Badula menceritakan, sejak tiga bulan pasca Drarma
menghilang, para pemberontak kalah. Semuanya bersembunyi kala setiap otak
pemberontakan dibunuh. Sehingga, tak ada lagi tokoh yang menggerakkan massa
untuk tetap melawan. Di samping itu, jumlah pemberontak semakin menipis saat
banyak di antara mereka yang ditangkap, dibunuh, dan diculik hingga
keberadaannya tidak diketahui. Sehingga, para pemberontak harus mundur. Badula
sendiri tak tahu kapan mereka akan melakukan perlawanan lagi. Yang ia tahu,
para revolusioner dari golongan buruh dan tani, termasuk dirinya, sudah
mengangkat bendera putih, dan menganggap tembok kekuasaan begitu musykil
dirobohkan.
“Para kelompok buruh dan tani tak semestinya berhenti
berjuang. Sebab kita yang paling dirugikan oleh rezim ini. Harusnya kau
mempertahankan nyala perjuangan di jiwa mereka. Bukan malah dibiarkan mati
seperti ini,” kata Darma, kesal.
“Sudahlah Darma, rezim ini terlalu kuat. Aku
sudah tak tahan lagi melihat orang-orang dibantai,” timpal Badula. Tapi Darma
tak menanggapi perkataan sejawatnya itu. Tubuh dan jiwanya seakan beku oleh
hatinya yang dingin. Tingkah yang diperlihatkan Darma sangat memancing retaknya
kesabaran Badula.
“Darma!” teriak Badula. “ Ingat, sudah berapa banyak
korban karena ide konyol bernama revolusi itu! Apakah kau sudah tahu jika istri
dan anakmu dibunuh karena berusaha membacok para tentara itu?”
Darma terlihat kaget, meskipun berusaha tenang saat
mendengar pernyataan Badula. Suatu kabar yang sebenarnya belum ia tahu. Bahkan
Darma tidak curiga sedikit pun saat ia berkunjung ke rumahnya, dan tidak
menemukan istri dan anaknya. Ia hanya membatin, mungkin mereka menginap di
rumah salah satu sanak saudaranya. Tapi, kesedihan tetaplah kesedihan. Perihal
yang tak bisa dibendung, bahkan untuk seorang perkasa seperti Darma. Air
matanya mulai berjatuhan.
“Di mana mereka dikuburkan?” ucap Darma, lirih.
“Di samping kuburan ayah dan ibumu.”
Darma mengambil tasnya, dan mengeluarkan selongsong
peluru. Ia kemudian menyimpannya di atas meja. Setelahnya, ia bergegas
berdiri untuk beranjak pergi. Badula hanya fokus menatap selongsong peluru itu.
Sebuah benda yang seketika membawa ingatannya pada kejadian lima bulan yang
lalu.
“Terimakasih atas peluru yang kau sarangkan ke
perutku,” kata Darma, membelakangi Badula. “Kawan, bekas codet di lehermu
terlihat melalui cahaya api dari pistol yang kau tembakkan di kegelapan malam
itu, bagaimanapun kau berusaha menipuku dengan memakai seragam militer.”
Badula hanya menikmati laku diamnya. Ingatan tentang
kejadian lima bulan yang lalu itu sungguh mengguncang jiwanya. Pada saat ia,
mau tak mau, ditugaskan oleh Bajobarat untuk membelot. Dengan kemampuan
spionasenya yang terlatih, Bajobarat akhirnya tahu jika Badula juga adalah
salah satu bagian dari pemberontakan. Saat itulah, menurut pengakuannya kepada
Darma, Bajobarat memanfaatkan dirinya untuk membunuh Darma ketika para tentara
kesulitan menemukannya dengan imbalan, ia dan keluarganya tidak dibunuh. Sebab
Bajobarat tahu jika Badula cukup menguasai jalur hutan. Pastinya akan sangat
membantu dalam pencarian Darma, dan menghabisinya.
“Aku tak punya pilihan,” kata Badula. “Bunuhlah
aku!”
“Aku tak akan membunuh orang yang telah kuanggap
sebagai saudaraku sendiri.”
Darma akhirnya meninggalkan rumah Badula, membawa
serta luka yang menganga di jiwanya. Luka itu, sudah kita tahu, torehan dari
kabar kematian keluarganya dan pengakuan getir karibnya, yang lebih menyakitkan
ketimbang luka disekujur tubuhnya. Langkah kakinya kian mengantarkannya
menerobos hujan, semakin membawanya tenggelam di kegelapan malam. Sementara
Badula mulai tenggelam dalam ingatan masa kecilnya. Saat ia dan Darma kerap
bermain di hutan, hampir setiap hari. Hingga sampailah ia pada suatu ingatan,
saat ia diselamatkan oleh Darma dari serangan ajak. Suatu kejadian yang
menghadiahinya sebuah codet di leher.
Sumber gambar:
http://jg244.deviantart.com/art/Man-Has-Returned-to-the-Forest-212276306
Komentar
Posting Komentar