Jagal dan Banalitas Kejahatan
Suasana penerimaan materi
Pernah di suatu masa, Indonesia memasuki babak baru sejarah yang begitu kelam. Masa di mana pergulatan politik dan ideologi menghadirkan peristiwa yang menyedihkan; tentang jutaan jiwa yang dibantai dengan bengis. Ketika itu, kelompok PKI dan/atau yang memiliki hubungan dengan orang-orang komunis (meski dia bukan komunis), dihabisi dengan rupa-rupa modus pembunuhan yang amat keji. Geliat pembantaian itu serentak di semua daerah di Indonesia. Sebab saat itu, Soeharto, sebagai pemimpin dari operasi penumpasan PKI, memberikan kebebasan terhadap setiap orang yang ingin terlibat dalam pembantaian itu. Oleh karena sejarah itu amat monumental, maka sampai saat ini, setiap orang kerap mengenangnya, namun dengan cara yang berbeda. Ada yang mensyukuri polah pembantaian itu, ada pula yang mengutuknya. Kita sebut saja peristiwa itu sebagai pembantaian massal 1965 (penyebutan selanjutnya, “peristiwa 65”).
Sejarah pembantaian itu begitu rumit untuk dilupakan.
Sehingga ragam macam cara dilakukan oleh berbagai pihak untuk tetap terus
mengenangnya. Melalui studi ilmiah, sastra, musik, drama, macam-macam. Tapi
ketika sinema Indonesia berada di puncak perkembangannya, orang-orang pun
mengenang peristiwa itu dengan merekonstruksi sejarahnya dalam bentuk film.
Sudah ada beberapa produksi film untuk mengenang
peristiwa 65. Di zaman Orde Baru, film tentang PKI sengaja dibuat untuk
menanamkan kebencian terhadap mereka yang pernah berideologi, atau dekat dengan
orang PKI, agar masyarakat tetap waspada terhadap apa-apa yang berbau komunis:
rezim wacana dalam sinema waktu itu dikuasai sepenuhnya oleh diskursus
anti-PKI, anti-komunis, yang dibentuk oleh pemerintah. Namun kita telah
memasuki zaman yang baru, ketika demokrasi membuka pintu selebar-lebarnya
terhadap kebebasan berekspresi. Mulailah bermunculan film yang dibuat untuk
menyampaikan diskursus yang lain tentang sejarah, yang pastinya berbeda dengan
wacana yang diproduksi Orde Baru.
Salah satu yang pernah heboh di jagat per-film-an
adalah Jagal (The Act of Killing), buah karya dari Joshua
Oppenheimer. Film ini menjadi heboh karena berhasil membeberkan perihal
peristiwa 65 yang berbeda dari pemahaman banyak orang: suatu fakta yang
sebenarnya tidak banyak orang yang tahu. Maka wajar saja ketika kehadirannya
sangat mengusik banyak orang, mengganggu pikiran mapan beberapa pihak. Lantas
apa dan bagaimana sebenarnya Jagal itu?
Suasana peserta diskusi
Dokumenter yang Tak Sepenuhnya Dokumenter
Jagal adalah film ber-genre dokumenter, tapi
tak hanya sekadar dokumenter belaka. Dikatakan dokumenter, karena berupaya
untuk merepresentasikan kenyataan, berupaya merekam fakta-fakta, dan kemudian
saling digabungkan agar memiliki plot yang jelas dan sistematik. Dalam film
ini, realitas yang direkam adalah hingar bingar kehidupan para pembantai
anggota, dan/atau yang terduga sebagai PKI di Medan sewaktu momen peristiwa 65,
baik itu sisi kehidupannya sebagai anggota Pemuda Pancasila (PP), sebagai
satuan kerabat, maupun sebagai bapak dalam rumah tangga. Salah satunya adalah
Anwar Congo, algojo paling beringas di peristiwa pembantaian itu. Dalam film
ini, ia memerankan tokoh utama.
Sesungguhnya film dokumenter tak hanya merekam jejak
kehidupan sang tokoh, tapi juga turut merekam pernyataan langsung mereka
mengenai pengalaman hidup, dan peristiwa yang pernah dialaminya seorisinil
mungkin, sejujur mungkin, agar tak terjadi bias. Di sinilah dibutuhkan
kecakapan seorang “filmaker” untuk bagaimana lebih dekat dengan sang penutur,
agar mereka ingin berbicara secara jujur mengenai tema yang diangkat dalam
film. Melalui film ini, akan dikuak bagaimana sang pembantai menghabisi
korbannya, motif-motif pembantaiannya, dan seperti apa perasaan sang algojo itu
saat dan setelah membantai korbannya, melalui tuturan langsung sang pelaku.
Kemudian, seperti yang telah disebutkan, Jagal juga
memuat sisi non dokumenter, atau dimensi fiksi dari sebuah film. Sebab para
narasumber menceritakan peristiwa kelam itu dengan memeragakan seni peran
(sebagai aktor), merekayasa latar dan peristiwa untuk men-simulasi-kan adegan
pembunuhan yang dilakukannya. Model film seperti inilah yang umumnya diproduksi
dan ditonton oleh banyak orang, baik di media televisi, bioskop, maupun di
media audio-visual lainnya. Hal demikian tentunya membuat film ini
terkontaminasi oleh unsur kepura-puraan (fiktif), yang pastinya sangat
bertentangan dengan esensi film dokumenter itu sendiri. Sebab bagaimanapun,
yang membedakan antara dokumenter dan non dukumenter adalah sisi fiksi dan
nonfiksi dalam lakon dan peristiwanya.
Suasana saat para aktor bermain film
Lantas, apakah dimensi fiksi dalam Jagal memiliki peranan yang signifikan, atau malah sebaliknya, merusak dokumentasi fakta itu sendiri? Bagi saya, kecerdasan seorang Joshua Oppenheimer terletak di sini: pengaburan batas antara yang fakta dan yang fiksi dalam sebuah film dokumenter. Sehingga, buah karyanya begitu khas dan orisinil. Dan, jika berbicara mengenai penting-tidaknya fiksi dalam film ini, bagi saya, di sisi lain memang memiliki kegunaan tersendiri.
Telah banyak film non dokumenter yang idenya berasal dari kisah nyata, namun diperankan oleh yang bukan pelaku sejarah itu sendiri. Dalam film ini, adegan pembunuhan, juga pembantaian justru dilakukan oleh pelaku sejarah. Sehingga dari segi peran, rekonstruksi kejadian yang hendak diceritakan bisa mendekati kenyataan, baik perilaku si tukang jagal di kala melakukan pembantaian itu, maupun gambaran suasana ruang dan kejadian ketika ia membunuh. Sehingga baik sisi psikologis pembantai maupun sisi suasananya, memberikan gambaran yang lebih utuh soal bagaimana kebengisan si tukang jagal menghabisi korbannya sewaktu peristiwa 65 itu.
Saya sempat bertanya-tanya seputar proses pembuatan film ini. Yakni, mengenai kesepakatan antara sutradara dan para narasumber/aktornya. Sebab, bagaimanapun, adalah hal yang sungguh tabu ketika para pembantai itu hendak menceritakan apa dan bagaimana dia melakukan pembantaian itu (bahkan mereka mengisahkannya dengan penuh kegembiraan dan rasa percaya diri). Bahkan sang sutradara berhasil memasuki ranah paling privat dari para jagal itu, dan itu direkam tanpa ada rasa gugup dan curiga dari tampang mereka (ranah paling privat itu semisal mereka direkam saat pesta bir, bertemu dengan jaring-jaring kekuasaan, memalak pedagang pasar, sampai kehidupan pribadi sang narasumber).
Maka di sini, ada dua kemungkinan yang bisa kita tarik. Pertama, bahwa Joshua—entah bagaimana ia melakukannya—berhasil bernegosiasi dengan para jagal itu, sehingga pembuatan film ini menjadi mungkin dilakukan. Kedua, Joshua sebelumnya berbohong kepada mereka, atau menggunakan kamera tersembunyi saat hendak merekam peristiwa dan pembicaraan yang seharusnya tak perlu dipublikasi. Entahlah, yang pastinya, salah satu sisi menarik film ini terletak di situ.
Melihat Pembantaian Sebagai Kewajaran
Kemudian soal isi. Sungguh mengejutkan perihal apa yang diperlihatkan Jagal kepada penontonnya: ihwal banalitas kejahatan. Istilah “banalitas kejahatan” saya pinjam dari seorang filsuf politik asal Jerman, Hannah Arendt. Istilah itu hadir saat pemikir berkelamin perempuan itu menyaksikan secara langsung aktor utama pembantai Yahudi saat rezim Nazi berkuasa, sewaktu diadili secara hukum di Israel: Adolf Eichmann. Di situ Arendt melihat ada yang paradoks antara kebrutalan Eichmann dengan tampangnya yang datar, tenang, yang sebenarnya lebih mirip orang baik-baik ketimbang sosok pembantai. Tampang itu pula memberikan cerminan kepada pribadi Eichmann sebagai sosok yang sama sekali tak merasa bersalah terhadap apa yang dia lakukan. Tapi, mengapa dia bisa sebengis itu? Arendt membilangkan, bahwa itulah Banality of Evil (banalitas kejahatan). Yakni, situasi di mana kejahatan tidak lagi dirasakan sebagai kejahatan, tetapi sesuatu yang wajar-wajar saja dilakukan.
Apa hubungan banalitas kejahatan dengan film Jagal? Bahwa setiap pembantai yang direkam dalam film ini, baik itu Anwar Congo, Ady Zulkadry, dkk, sama sekali tidak merasa bersalah atas pembunuhan sadis yang pernah dilakukannya. Maka kekerasan yang dilakukannya pun terasa banal: dianggap sebagai tindakan yang biasa-biasa saja. Bahkan ketika Anwar Congo menjelaskan dan mempraktikkan bagaimana cara ia membunuh korbannya, terasa tak ada beban psikologis yang dialaminya (semisal rasa gugup dan cemas), bahkan dirasanya sebagai tindakan yang heroik (hal itu dilihat dari merasa bangga dan gembiranya ia mempraktikkan metode pembantaiannya).
Saat bagaimana Anwar Congo dengan semangatnya
memeragakan metode membunuhnya
Mungkin karena ketiadaan rasa salah itu, mereka mau-mau saja
melibatkan diri dalam proyek film ini. Dan mungkin juga karena ketiadaan rasa
salah itu, mereka tak sungkan-sungkan memperlihatkan polah premannya di hadapan
kamera, dengan memalak satu persatu pedagang keturunan Cina di pasar. Sungguh
polah yang miris, tapi banal. Hal demikian juga sebenarnya implikasi dari
pemahaman mereka tentang preman. Bahwa dalam benak mereka, preman berasal dari
kata free man: orang-orang bebas. Sehingga secara leluasa kekerasan itu
dilakukan atas dasar hakikat mereka sebagai orang merdeka, yang bertindak tanpa
syarat dan aturan.
Dan mengenai aturan, mereka memang bebas hukum sewaktu zaman
pembantaian massal itu. Sehingga yang mulanya mereka hanya preman bioskop,
turut membantai ria orang-orang (yang dianggap) komunis itu. Apakah mereka
membantai karena soal politik dan ideologi? Mereka sendiri secara tidak
langsung telah menjawabnya: tidak! Seperti pengakuan mereka, pembantaian yang
dilakukannya karena si PKI itu melarang film Hollywood masuk secara leluasa di
bioskop Indonesia, karena dianggap sebagai produk neo-kolonialisme. Sehingga
hal ini mengancam pendapatan mereka yang sebagian besar berasal dari keuntungan
yang diraup melalui penjualan karcis bioskop. Sehingga melalui ini, sang
sutradara berhasil mengolah “narasi baru” mengenai tindak-tanduk pembantaian
yang dilakukan masyarakat waktu itu. Bahwa sebagian dari mereka membantai atas
dasar tidak suka, atas dasar menyenagi kekerasan itu sendiri, dan bukan karena
motif politik, apa lagi ideologi. Ringkasnya, mereka membantai atas dasar
motif-motif premanisme.
Namun, bagaimana pun kejinya, setiap manusia memiliki rasa
iba. Kekuatan film ini, selain memasuki ranah paling privat kehidupan tukang
jagal itu, juga berhasil menyeret salah seorang dari mereka untuk “bercermin”
kembali. Dengan memberikan peran sebagai korban kepada Anwar Congo, akhirnya
sang sutradara “menjebak” Anwar Congo untuk merasakan beban berat seorang PKI
yang pernah dibantainya. Di akhir film ia menangis, tanda bahwa ia menghayati
betul kesakitan yang dialami oleh para korban. Yah, sang pembantai, sekalipun
begis tetap adalah manusia, yang memiliki rasa simpati.
Yang mesti dicatat, bahwa pembahasan ini tidak dirancang
untuk membela PKI, ataupun komunisme. Bahkan saya secara pribadi, setidaknya
pada level gagasan, tidak sepenuhnya sepakat mengenai doktrin komunisme.
Pembahasan ini hanya diarahkan untuk melihat secara jernih satu dimensi
patologis manusia. Bahwa ada saja manusia yang dengan senang hati ingin
membantai, bahkan menganggapnya sebagai tindakan yang heroik, dan wajar-wajar
saja. Bukankah sampai saat ini, masih sering kita dapati perilaku demikian,
menjadikan kekerasan sebagai prestise? Karena bagaimanapun, laku membantai,
apalagi dengan alasan yang tak jelas, adalah tindakan melanggar HAM!
Yang juga tak kalah mengherankan, sesuai yang direkam oleh
Joshua, ternyata para pembantai itu memiliki akses yang mudah dengan kekuasaan.
Sangat gampang bagi Anwar Congo untuk menemui Gubernur, juga Pak Menteri. Kita
bertanya-tanya, mengapa itu bisa? Sebab, fakta sebaliknya, para korban atau
keturunan-keturunan korban, untuk menjadi PNS saja susahnya bukan main. Di sini
ada kesan yang terbentuk, bahwa para jagal itu kemudian dianggap sebagai
pahlawan, dan korban (yang masih hidup), juga keturunan korban kemudian
dianggap sebagai the other, “bukan orang kita”, dan penjahat yang tak
perlu diberikan ruang di republik ini. Lantas, apakah itu suatu ketidakadilan
dan melanggar HAM? Mari mendiskusikan ini.
----------------
----------------
Esai ini adalah naskah pengantar untuk diskusi film Jagal (2012)
yang diadakan oleh KOFIMA (Komunitas Film Mahasiswa) dan Perpustakaan
UNM
Esai ini pernah diterbitkan di kalaliterasi.com
Komentar
Posting Komentar