Ibn ‘Arabi, Para Pencari Ilmu, dan Suatu Rasa Bersalah
Di ruang berisikan puluhan meja
dan kursi itu, peserta diskusi tengah duduk santai, sambil menikmati sajian
kopi dan fasilitas internet. Saya datang terlambat. Dan entah mengapa, setelah
sampai di warkop itu saya merasa gugup. Saya tak seperti biasanya.
Mungkin karena materi yang
dibebankan oleh Yusri, owner
dari warkop yang bernama Be Smart Coffee itu, membuatku seperti ciut sendiri.
Bayangkan, saya harus mengulas pemikiran Ibn ‘Arabi, meski hanya pengantar
saja. Dan kita tahu, pemikiran Ibn ‘Arabi begitu rumit, tak sederhana yang kita
bayangkan. Tapi saya pikir, ini tugas intelektual yang harus saya emban. Saya
hanya memilih mensiasati diskusi ini dengan mengutarakan apa yang saya tahu,
dan tidak mengutarakan, atau tidak asal ngomong dari apa yang saya tidak tahu
tentang percik pemikirannya.
Soal tugas intelektual, bagi
saya adalah “barang” yang tak bisa ditawar-tawar. Justru karena itu, saya
berupaya memantik semangat berbagi ilmu dalam diri saya yang nyaris hilang
belakangan ini, dengan menerima undangan sebagai pembicara pada majelis ilmu
yang digelar Be Smart Coffee, meskipun tawaran materinya rumit bukan main.
Yah, belakangan ini saya sering
“ogah” berkunjung, ketika diundang sebagai pembicara di suatu majelis ilmu.
Saya menyadari, kelakuan seperti itu sebenarnya tidak baik. Bahkan saya kerap
merasa bersalah sendiri ketika melakukan penolakan untuk menjadi pembicara. Di
samping juga, kelakuan seperti itu perlahan mematikan etos belajar anak-anak
muda kita. Apa jadinya ketika mereka lagi semangatnya menuntut ilmu, lantas
kecewa gara-gara pematerinya yang tidak ada? Sangat betul, kelakuan seperti itu
sungguh tak baik. Apalagi saat melihat air muka para peserta diskusi Ibn ‘Arabi
malam itu, yang kelihatan haus intelektual, kuyakinkan diriku sekali lagi untuk
ke depan, tak lari dari tanggung jawab intelektual.
Baiklah untuk tidak
berlama-lama, di kesempatan ini, saya berencana mengulang bahasan Ibn ‘Arabi
malam yang lalu. Meski tidak sesempurna pada saat diskusi yang lalu, setidaknya
garis-garis besar pembahasan itu bisa kuutarakan di sini, untuk yang tidak
sempat menghadiri diskusi, ataupun untuk mereka yang mau mengomentari pemahaman
sempit saya tentang Ibn ‘Arabi. Oke, the
next…..
***
Ibn ‘Arabi. Pesohor tasawuf
teoritik itu, setidaknya bagi mereka yang bergulat dalam dunia diskursus,
adalah persona yang tak asing lagi. Apa lagi jika mendengar konsep wahdat al-wujud, tajalli dan insan kamil, maka pikiran
kita tertuju pada persona yang pemikirannya penuh kontroversi itu. Malam itu
saya hanya membahas dua konsep kuncinya. Yakni hanya membahas pokok pemikiran wahdat al-wujud-nya, dan
konsep tajalli-nya.
Sebenarnya penyematan wahdat al-wujud untuk
konsepnya mengenai ketunggalan wujud, bukanlah berasal dari Ibn ‘Arabi. Cuma
ciri pemikiran wahdat al-wujud
dimiliki sepenuhnya dalam diskursus metafisikanya. Bahkan, pemantik awal
perkembangan diskursus wahdat
al –wujud, baik dalam tasawuf teoritik maupun dalam terang
metafisika Islam, berasal darinya.
Jika disimak baik-baik konsep
pemikirannya, Ibn ‘Arabi hanya menjelaskan bahwa wujud itu tunggal dan esa,
bersifat tetap dan tak berubah, tidak sebagaimana semesta kosmik yang berubah,
bergerak dan jamak. Bahkan eksistensi segala yang ada di alam semesta, diragukan
Ibn ‘Arabi sebagai yang benar-benar “ada”.
Ibn ‘Arabi melihat, yang mawujud
(yang berada) di alam semesta tidaklah ada-pada-dirinya. Sebab limpahan
keberadaan yang plural itu bisa binasa oleh kuasa ruang-waktu, hingga menjadi
tiada. Sehingga Ibn ‘Arabi memahami, tak pantaslah segala yang ada di semesta
kosmik ini dibilangkan sebagai al-wujud.
Hanya satu yang pantas disematkan sebagai al-wujud.
Ialah Tuhan. Dan selainnya, hanyalah “ketiadaan”, perihal yang fana. Dari
sinilah Ibn ‘Arabi identik dengan wahdat
al-wujud.
Yang menjadi soal kemudian, Ibn
‘Arabi memahami, Tuhan sebagai al-wujud
itu adalah perihal yang tak terperi. Ia musykil terkatakan oleh bahasa manusia,
musykil terpikirkan oleh nalar manusia, dan musykil pula tergambarkan oleh
imajinasi manusia. Menjadi soal karena, al-wujud
akhirnya tak bisa dipahami, apapun modus pengetahuan yang kita pergunakan.
Sehingga ketidakpahaman kita pada al-wujud,
atau Tuhan itu sendiri, benar-benar membawa kita pada kondisi absennya
pengetahuan kita tentangnya. Dia-pada-diriNya-sendiri adalah suatu kesendirian,
suatu yang tak terjamah oleh nalar manusia. Jika kita ingin menggambarkan
ketidak terjamanya Dia, maka meminjam istilah suatu hadis Qudsi yang dipakai
oleh Ibn ‘Arabi, katakanlah al-wujud itu sebagai “Harta yang tersembunyi”.
Tetapi, redaksi yang lengkap
dari hadis Qudsi itu sebenarnya menyiratkan juga suatu kemungkinan untuk
mengenali Allah sebagai al-wujud.
Di situ diterangkan, “Aku adalah harta yang tersembunyi. Aku tidak dikenal,
maka Aku ingin dikenal”. Hal demikian adalah suatu pertanda bagi mungkinnya
mengetahuan tentang-Nya.
Di sinilah konsep Tajalli Ibn ‘Arabi dirumuskan
dalam melengkapi diskursus metafisikanya. Upaya Allah agar dikenal oleh
mahluknya adalah dengan melalui proses “penyingkapan diri” (Tajalli). Dengan tajalli, Allah melimpahkan
wujudnya
Dalam penciptaan mahluk bersama
semesta kosmik, melalui proses manifestasi “ke –Diri-an-Nya”, melalui
pemancaran cahaya wujudnya yang paripurna dan tak terbatas. Sehingga mahluk
tercipta pada segenap limpahan wujudnya, dengan memberikan eksistensi kepada
setiap mahluk, sesuai porsi penciptaan mereka masing-masing. Maka dari itulah
Allah, sang al-wujud itu,
memungkinkan menjelma pada setiap mahluknya, dan menyingkapkan “wajah”-Nya pada
setiap mahluknya. Dalam arti memungkinkan untuk dikenali. Yah, Dia lebih dekat
dari urat leher kita (QS. Qaff : 16). Dan, di manapun kita menghadap di situ
ada wajah Tuhan (QS. Al Baqarah: 115).
Pada konsep tajalli itu, ada dua pokok
yang bisa kita urai. Pertama, tajalli
adalah suatu konsep kosmologi, suatu proses bagaimana Allah mencipta mahluknya,
dan penjelasan asal usul alam semesta ini. Dari sini, Allah adalah al-wujud yang tunggal, esa
dan sendiri, melimpahkan wujudnya, menciptakan pluralitas eksistensi, kejamakan
realitas. Kedua, tajalli
adalah konsep di mana Allah memperkenalkan dirinya kepada mahluknya. Pengenalan
itu, selain Dia menyingkapkan “wajah” pada setiap mahluk, juga bisa melalui 99
asma-Nya. Maka dalam 99 asma Tuhan itu adalah upaya simbolisasi, upaya konseptualisasi
dalam menggambarkan sifat-sifat –Nya, menggambarkan identitas-Nya agar dikenali
mahluk.
Lantas, bagaimana mesti
menjelaskan hal tersebut? di satu sisi Ibn ‘Arabi menegaskan ketidak mungkinan
pemahaman apapun terhadap Allah sebagai al-wujud.
Tapi di sisi lain, Ibn ‘Arabi menegaskan kemungkinan-Nya untuk diketahui. Di
sinilah terkadang pemikirannya menuai kontroversi. Sebab, pada konsepnya,
cenderung memperlihatkan keadaan yang contradictio
in terminis, sehingga menuai prilaku yang multitafsir bagi para
pembacanya. Bahkan, Ibn ‘Arabi pernah dituduh sebagai seorang panteis. Sebab
konsep-konsepnya memperlihatkan kecenderungan menyamakan antara Tuhan dan
mahluk. Sebab bagaimanapun, keberadaan mahluk bukanlah keberadaan yang sejati.
Dikarenakan mahluk hanyalah bayangan Allah, limpahan wujud yang seolah-olah
plural, tapi sebenarnya tunggal. Bahwa keseluruhan adaan-adaan hanyalah wujud
Allah yang tampak jamak dan terpisah-pisah karena diakibatkan oleh tampakan
esensi-esensi saja. Maka dari sini, orang-orang seenaknya menuduh bahwa Ibn
‘Arabi memahami mahluk adalah Tuhan juga.
Padahal paradoks dalam pemikiran
Ibn ‘Arabi, karena ia contradictio
in terminis, maka tak bisa dijustifikasi oleh penalaran absolut
seperti apapun. Sebab Ibn ‘Arabi mengakui mahluk sekaligus tidak mengakui
mahluk. Ia mengakui pluralitas sekaligus mengabaikannya. Ia mengakui
ketidakmungkinan mengenali al-wujud
sekaligus mengakui kemungkinan pengenalan terhadap-Nya. Di sini, logika
Aristotelian tak memadai lagi untuk memilah-milah pemikirannya pada suatu
ketetapan justifikasi yang absolut. Definisi pun tak memungkinkan lagi.
Makanya, Ibn ‘Arabi tetap harus ditempatkan pada pemikir di jalan tasawuf. Di
mana pencapaian pengetahuan intuitif kadang tak memadai dibahasakan oleh bahasa
manusia.
***
Aku hanya menjelaskan itu.
Sangat jauh dari sempurna. Bahkan, bisa saja terjadi kesalahpahaman pada saat
saya mengurai pemikiran Ibn ‘Arabi. Tapi, bagaimana pun, saya tetap yakin bahwa
setidaknya, terselip percikan kecil kebenaran dari penjelasan itu. Dan, suatu
kesyukuran, para peserta cukup antusias bertanya, dan mengutarakan pendapatnya
sendiri. Diskusi akhirnya tercipta dengan sendirinya, dari sebuah lemparan
pertanyaan dari satu orang, menggelinding bagai bola sajlu, lebih besar dan
semakin besar muatan bobot diskusinya, hingga diskusi ini harus berakhir oleh
waktu yang terbatas.
Tapi setidaknya, “wajah’ Ibn
‘Arabi seperti nampak pada kedirian para peserta. Yakni, “wajah” Ibn ‘Arabi
yang haus pengetahuan, sang pencari pengetahuan. Sebagaimana Ibn ‘Arabi yang
mendalami ilmu dengan mencari tempat-tempat yang sekiranya berseliweran ilmu
pengetahuan di sana, dengan berjalan kaki. Para peserta pun seperti itu.
Perbedaannya, mereka belum setangguh Ibn ‘Arabi, yang mampu berjalan ribuan
kilo meter untuk mencari guru, mencari hikmah di setiap negara-negara terdekat.
Tapi etos mencari ilmu itu ada pada mereka.
Tulisan ini pernah diterbitkan di kalaliterasi.com
Komentar
Posting Komentar