Mata Capung
Hari ini aku bertemu capung, Lau. Ia sedang hinggap di
tangkai kembang sepatu. Dan kau pasti tahu, jika kulihat capung, ingin
kutangkap segera. Tapi instingnya, juga kemampuan matanya yang dipenuhi lensa,
terlalu tangguh merasakan kehadiranku saat hendak menyekapnya. Ia hanya
terbang, melayang bersama angin. Ataukah aku yang sudah tak lagi lihai dalam
menangkap capung? Kecakapan akan hilang tenggelam dalam titimangsa jika tak
diterapkan. Sedang, ini sudah 20 tahun sejak kau mengajariku menangkap capung
saat kunjunganku ke Segeri. Mengajariku teknik menyekap capung dengan
tangan kosong, yang menyaratkan kecepatan dan konsentrasi. Sudah amat lama,
Lau. Pastilah aku ditimpa lupa. Meskipun aku tak akan pernah melupakanmu dan
hikayat pembantaian itu.
Tapi masa-masa itu aku ingat betul, adalah saat di
mana kita pertama kali bertemu.
Pada mulanya aku melihatmu sedang menyendiri di bawah
pohon trembesi, persis di tepi padang ilalang. Tubuhmu kurus dan kumal. Kau
menggunakan kaus yang kedua lengannya sudah hilang tersobek. Celanamu jeans,
tapi sudah terpotong sependek lutut. Kau bersandar dibawah pohon trembesi
itu, sambil memainkan suling. Nadanya merdu. Alunan musiknya harmoni bersama
desau angin dan bunyi gesekan rumput ilalang. Sejak kedatanganku di
Segeri, aku sering berkunjung sendirian ke padang ilalang itu, sekadar
melihat-lihat capung yang beragam rupa. Meskipun harus berjalan kaki di
pematang dan melewati setiap hamparan sawah. Nenekku yang menunjukkan tempat
itu. Sebab dia tahu aku suka capung. Dan sudah tiga hari aku
menyempatkan diri mengunjungi capung-capung yang beterbangan di atas
rumput-rumput ilalang, tapi baru kali itu aku melihatmu.
“Kau bisa menangkap capung-capung itu?” teriakmu saat
memperhatikanku sedang memandangi kawanan capung yang terbang begitu indahnya.
Kau berjalan menghampiriku, dengan jari-jari tangan yang menyekap capung. Kau
memberikannya padaku. Aku menatap matanya.
“Ternyata Nenek benar, lensanya banyak.
Cangih!” Aku menoleh ke wajahmu dengan megar senyum.
Waktu itu kau sangat bersemangat mendengar kisahku.
Kuceritakan, Nenek pernah bilang padaku, “Nyala, dengar yah, menjadi manusia
mesti menempatkan mata batinnya serupa mata capung.”
“ Mengapa harus seperti itu, Nek?” tanyaku
dengan bingung.
Sembari ia menyisir rambutku dan menatanya rapi, dia
bilang, “Agar kita dapat memandang kehidupan orang lain dari berbagai
sisi, sampai sisi yang paling dalam.” Ia batuk sejenak dan melanjutkan,
“Terkadang kita hanya memandang seseorang dari permukaannya saja. Sedang kita
acuh dari berbagai sisi yang orang lain miliki, yang pasti punya perbedaan
dengan sisi permukaannya. Capung, matanya kecil. Tapi ia punya ratusan, mungkin
ribuan lensa yang membuatnya dapat melihat kenyataan dari berbagai sisi.”
“Memang mata capung secanggih dan sehebat itu, Nek?”
Sehingga keunikan capung— matanya, terlebih keindahan
warnanya— membuatku bertambah suka terhadap binatang mungil itu. Tapi kau juga
unik. Kau, di samping hebat memainkan suling, juga jago menangkap capung dengan
mudahnya. Padahal capung punya penglihatan yang sangat baik, sehingga teramat
sulit untuk ditangkap. Tentu saja setiap harinya saya hanya bisa memandang
capung beterbangan dan hinggap di pucuk ilalang. Beberapa kali kucoba
menangkapnya, tapi aku kesulitan. Namun kau bilang, “Mau kuajari menangkap
capung, Nyala?” Aku senang, dan kita semakin akrab.
Kisah tentangmu sewaktu di Segeri memang sangat
berkesan. Bukan hanya karena kau telah mengajariku menangkap capung. Tapi kau
menyadarkanku bahwa orang-orang yang memperjuangkan hidup lebih baik daripada
orang-orang yang hanya sekadar menikmati hidup. Kau tak pernah bilang seperti
itu kepadaku. Aku memetiknya sendiri saat menafsirkan hidupmu. Usiamu waktu itu
15 tahun, dua tahun lebih tua dariku. Di usia dini, kau sudah bisa hidup
sendiri.
Kau hidup seperti seorang geriliawan. Rumahmu adalah
hutan, makananmu seisi hutan. Dan kau masih bisa mempertahankan hidupmu dengan
cara seperti itu. Kau penuh perjuangan. Sejenak aku merenung. Dalam hidup
yang kunikmati, masih ada orang-orang yang hidup berpeluh-darah seperti kau.
Tapi saat ini Lau, aku bisa mencapai impianku dengan
meperjuangkannya sendiri. Kini aku bisa masuk universitas ternama di Jakarta
dengan tidak menyogok, membayar uang kuliah dengan hasil keringat sendiri
sebagai guru privat, dan meraih gelar sarjana dengan hasil memuaskan. Dan
akhirnya aku menjadi guru di sekolah ternama. Itu karena aku mengikuti jejak
hidupmu.
Hingga sekarang, aku bisa melihat perbedaan yang
sangat jauh antara diriku yang dulu dan saat ini. Diriku yang dulu adalah
pribadi yang hanya tahu menikmati hidup. Segala yang menyenangkan—uang, pakaian
mahal, makanan yang enak—bisa terpenuhi dengan mudah. Bahkan memasuki
jenjang pendidikan, orangtuaku harus membayar kepala sekolah, dan selalu
menyogok guru-guruku agar diberi nilai rapor yang tinggi. Andaikan waktu itu
ibuku tidak membawaku ke Segeri untuk menjenguk Nenek, aku pasti tidak
bertemu denganmu, dan selamanya tidak mendapatkan pelajaran hidup yang sangat
berharga darimu.
“Tapi mengapa kau bisa hidup sendiri ?” Rasa
penasaranku tak tertahankan. Aku menanyakan itu esok harinya, saat kita bertemu
lagi di padang ilalang.
Di bawah pohon trembesi kita duduk bersama, memandangi
hamparan ilalang. Malai bunganya putih dan halus, menari-nari diterpa angin. Di
situ kau menceritakan sebab dari hidupmu yang sepi dan sendiri. Kau bilang,
kisah hidupmu juga berkaitan dengan hikayat kelam Bumi Segeri “ Tapi, jangan
sebarkan pada orang-orang kalau kita pernah bertemu!” katamu dengan
pelan.
“Kenapa?”
Ternyata kau adalah cerminan hikayat kekejaman yang
pernah terjadi di Segeri. Dan aku paham mengapa kau meminta merahasiakan
pertemuan kita saat mendengar kisah malang yang menimpa hidupmu. Kau
bilang, pada mulanya orang-orang masih menganut kepercayaan kuno yang
sudah turun temurun bercokol di daerah itu, yang dirawat dengan sabar oleh para
bissu[1]
sejak zaman kerajaan. Lama berselang, orang luar masuk membawa misi pencerahan
untuk membasmi kesyirikan, kekafiran, dengan cara membantai para bissu
itu.
“Kafir,kafir,kafir...,” mereka berteriak seperti itu,
katamu. Dan terjadilah pembantaian itu. Bissu yang tak mau bertobat di
bunuh. Dan arajang[2]
dihancurkan, agar tak lagi menjadi berhala. Kakakmu, satu-satunya keluargamu,
juga menjadi incaran oleh mereka yang mendapuk diri sebagai tentara Tuhan.
Sebab ia juga bissu. Dan bersamanya, kau lari ke hutan, demi
menyelamatkan diri. Hingga ia mati oleh suatu penyakit, dan kau hidup sebatang
kara.
Menyedihkan. Aku seperti menggigil mendengar cerita
itu. Tentulah sangat kejam apa yang dilakukan para pembantai itu pada para bissu.Dan
kau menangis setelah menceritakannya. Tangisan yang megar pada liang amarah dan
kesedihan. Barangkali ini pertama kali kau mencurahkan perasaanmu pada orang
lain sejak kejadian itu. Tidak mungkin kau meminta simpati kepada warga Segeri.
Memamg mereka merugi, pikirmu. Tak ada bissu, tak ada lagi tradisi Mappalili[3],
untuk meminta hasil padi yang melimpah pada sang Dewata[4].
Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali meratapi nasib para pendeta
suci itu. Gerombolan itu kuat. Mereka telah menguasai Sulawesi Selatan, demi
misi tegaknya Negara Islam. Bahkan sebagian warga Segeri mendukung gerakan
pembantaian itu.
Ah, Lau, aku ingin menjadi teman curhatmu sekali lagi,
ingin mengisi sepi jiwamu. Tapi bagaimana mungkin. Kau sudah terbang seperti
capung. Melayang menuju arwana, meninggalkan dunia ini. Sampai saat ini aku
merasa bersalah. Oleh karena kutemui kau pagi-pagi sekali, ibuku mengikuti dari
belakang. Dia melihatmu bercengkrama bersamaku, dan melaporkan kepada
gerombolan anti-bissu itu. Ibuku tidak mengenalmu. Karena dia sudah
berhijrah ke kota sebelum kau lahir. Tapi dia tahu bahwa seorang bocah dan
kakaknya yang bissu masih menjadi buronan. Ibu mencurigaimu.
Mereka mengejarmu sampai kau tertangkap di
tengah-tengah hutan. Aku tak tahu bagaimana mereka menyiksamu di sana. Yang aku
tahu, sayup-sayup suara mereka terdengar di telingaku, “mana kakakmu!”, saat
mereka mengejarmu. Saat itu pula terakhir kalinya kudengar suaramu, saat kau
membalas teriakan mereka, “dia sudah mati.... dia sudah mati...” Setelahnya,
Ibu langsung membawaku ke rumah Nenek, dan memarahiku. “Kenapa bisa kau bergaul
dengan Si kumal itu!” teriaknya kepadaku. Aku menangis, Lau. Bukan karena
kemarahan ibuku, tapi karena memikirkanmu.
Sangat kusesali hidupku. Aku melihatmu terakhir
kalinya dengan keadaan tidak bernyawa, dan bersimbah darah. Mereka kembali
dengan membawa mayatmu. Tidak ada ratapan sedih di antara mereka. Kecuali aku
dan Nenek.
Aku lantas sadar, tangisan Nenek adalah simbol protes.
Nenek sebenarnya tidak terima sikap mereka yang membuat hukumnya sendiri,
membuat keadilannya sendiri. Sejak pembantaian para bissu, Nenek sudah
mencela kebengisan mereka.
Mungkin atas kejadian keji di masa lalu, Nenek
menanamkan prinsip mata capung kepadaku. Agar aku tidak seperti orang-orang
bengis itu. Ya, mereka Lau, belum bisa membina mata batinnya serupa mata
capung. Mereka hanya mampu memandang seseorang dari permukaannya saja: agamanya,
pilihan keyakinannya, ideologinya. Tapi belum bisa melihat beberapa sisi
kehidupan orang-orang dengan lebih dalam: kebaikan-kebaikannya, rasa
persaudaraannya, sisi manusiawinya.
Atas kematianmu, aku selamanya mengutuk diriku
sendiri. Aku merasa sebagai salah seorang penyebab kehilangan nyawamu. Itulah
sebabnya aku malu berziarah ke makammu. Bertahun-tahun setelah kejadian itu aku
tak berani menampakkan muka di depan makammu. Bahkan, di masa-masa para bissu
kembali dibantai karena dianggap komunis oleh pemerintah, aku pun belum berani
ke makammu. Meskipun keinginan ini sangat besar untuk mengunjunginya. Tapi rasa
ingin ini tak tertahankan lagi, Lau. Hari ini aku kembali berkunjung ke Segeri,
dan masih kelihatan asri. Bahkan pekarangan rumah Nenek dipenuhi kembang
sepatu.
Ilustrasi: http://olx.co.id/
Pernah diterbitkan di saraung.com
[1] Seorang
pendeta Bugis yang bertubuh lelaki tapi bersifat perempuan. Dianggap suci
karena tidak haid, dan tidak menikah.
Menjadi perantara antara manusia dan Sang Pencipta.
[2] Benda
pusaka
[3] Ritual
yang dipimpin bissu sebelum para petani turun ke sawah menanam padi. Agar
tanaman padi terjaga dari gangguan apapun, sampai tumbuh subur.
[4] Bisa
dibilangkan sebagai Tuhan.
Komentar
Posting Komentar