Saya Harus Membaca Kembali Cala Ibi

Aku hanya masuk ke sebuah kamar di mana perpustakaan miniku berdiri.
Dan, Cala Ibi (2015), seolah
mengejekku dan membisikkan kata-kata yang nadanya meremehkanku: Apakah otakmu sudah begitu tangguh
membacaku? Iya... iya... aku paham maksudmu. Kamfret!
**
Sudah setahun lebih saya membeli Cala Ibi, tapi saya hanya membacanya sampai halaman 35. Sebenarnya
ini bukan kebiasaanku: tidak menghabiskan bacaan. Buku apapun yang saya beli,
bahkan buku yang paling membosankan sekalipun saya akan tetap menghabiskannya.
Meskipun sebelum buku ini, saya pernah mengalami itu
sebenarnya. Saya berhenti di tengah jalan saat membaca suatu buku pemikiran.
Padahal saya telah memiliki dasar pengetahuan mengenai teori-teori yang
disusun dalam buku itu. Pastinya lebih
memudahkanku untuk membacanya. Tapi, mengapa saya begitu sukar memahaminya?
Seorang teman berucap saat kuperlihatkan buku pemikiran itu, “Wah,
terjemahannya abal-abal, Bro,” Anjriitt.
Tapi Cala Ibi tidak
berkaitan dengan terjemahan yang jelek, atau kualitas cerita yang membosankan.
Bukan itu. Tapi, berkaitan dengan modus penulisan fiksinya yang memang sangat
rumit. Harus kuakui, Nukila Amal sangat lihai dalam mengeksplorasi bahasa
sampai pada level yang paling abstrak, dan mengaburkan batas antara yang nyata
dan yang ilusi dalam sebuah peristiwa yang dirangkainya. Sehingga dari sini,
saya kesulitan memahami plot yang disusunnya.
Lagi pula, Nukila
Amal juga cekatan menenun metaphorical
twist dalam relasi teks yang dibentuknya. Sehingga, kesulitanku yang
sebenar-benarnya adalah memahami makna-makna yang tersembunyi dalam teks:
begitu licin dan sukar direngkuh. Ataukah, pada dasarnya makna itu tak ada di
sana?
Baru saja kita melangkah ke halaman pertama, “makna” sudah
memulai bermain petak umpet, dan sang “aku” seperti ingin bermain teka-teki
dengan pembacanya saat dihadapkan pada teks perdana, Bapakku anggrek bulan, putih dari hutan. Ibuku mawar merah di taman,
dekat pagar pekarangan. Bertemu suatu pagi di pelabuhan. Melahirkanku. Bayi
merah muda kemboja. Bunga kuburan.
Teks di atas akhirnya sekaligus menerangkan salah satu ciri
khas karya sastra, di mana representasi menjadi musykil dan definisi dirasa tak
memadai lagi. Pembaca hanya perlu mengeksplorasi subjektivitasnya dalam
menerangkan makna-makna, walaupun kita hanya
akan sampai pada dua kondisi: apakah kita benar-benar telah menemukan maknanya,
atau jangan-jangan, kita sendiri yang menciptakan makna itu? Dengan ini, tafsir akhirnya adalah perihal
yang tak bisa dielakkan lagi, saat makna bersembunyi dalam teks yang lumer itu
(atau memang tak ada di sana).
Ya Tuhan, Nukila Amal, aku mencintaimu. Kau telah berhasil
bermain-main dengan saya, dengan para pembacamu. Kau telah menjerumuskan kami
dalam rimba raya teks, entah di mana jalan keluarnya, sembari membisikkan pesan pada kami, rasakanlah permainanku hai orang-orang
modern pemuja totalitas!
Akhirnya saya sangat sepakat dengan Melani Budianta. Bahwa
pembaca yang mau memperbaruhi cara bacanya yang bisa menikmati permainan
Nukila. Sehingga aku mengutuk diriku sendiri. Saya berhenti sejenak membaca
buku ini karena tak menikmatinya. Ya, karena saya gagal memperbaruhi cara
bacaku.
**
Kini saya di hadapan perpustakaan miniku yang berdebu dan
tak terawat. Di setiap baris buku-buku, turut bersemayam Cala Ibi. Ia masih baru, masih segar: petanda tak pernah dibuka.
Tapi kali ini hingga hari-hari kedepannya, dia akan kusut oleh ulah jemariku
yang akan membuka lembaran kertasnya secara berulang-ulang, sampai pikiranku
puas dengan pencapaian pemahaman atas fiksinya. Ada kalanya otakku perlu karya
fiksi seperti Cala Ibi, agar bisa
seribut dan sesibuk gegap gempita kota-kota besar. Setidaknya melatih otakku
untuk terus berpikir keras.
Syahdan, selamat membaca untuk diriku sendiri.
https://alhegoria.blogspot.co.id/2017/08/sadrak-dan-kerumunan-yang-membuatku.html
BalasHapus