Jayapura: Lima Fragmen
Bandara: Hulu
Sudah
Pukul 02.00 WTA dini hari ketika saya sampai di Bandar Udara (Bandara)
Internasional Sultan Hasanuddin, untuk memulai kunjunganku ke Jayapura, ibu
kota Provinsi Papua, Indonesia. Bisa dibilang, ini akan menjadi kunjungan
pertama saya di kota yang terletak di pesisir Pulau Papua itu. Kebetulan,
seorang teman memanggil untuk menjadi pembicara pada sebuah kegiatan pelatihan
yang dibuat oleh lembaga mahasiswa, HMI. Kegiatannya selama empat hari.
Kali ini Lalu
lalang para orang-orang di area bandara begitu sepi. Tak seperti saat-saat pagi
dan siang hari, selalu ramai oleh hiruk pikuk aktivitas para penumpang pesawat
dan petugas bandara. Sebagian penumpang
pesawat juga mulai melepas lelah dengan duduk santai di kursi, juga dengan cara
berbaring di lantai bagian luar bandara. Tak sedikit dari mereka yang terlelap
tidur.
Hal ini adalah pemandangan yang sudah lumrah
berkaitan dengan kebiasaan orang-orang di bandara yang ada di Indonesia.
Bandara sudah seperti stasiun kereta api dan pelabuhan. Jika para pengunjung tak
segan membaringkan diri di lantai kotor stasiun kereta dan pelabuhan, begitupun
di bandara, meskipun tidak semarak di dua tempat itu. Sehingga, bandara
terkadang selalu menjadi pemandangan yang tidak memanjakan mata, sebagaimana
keadaan yang di alami stasiun kereta dan pelabuhan.
Saya akan
berangkat ke Jayapura dengan menumpangi pesawat Sriwijaya Air, tepat pada pukul
03.00 WITA dini hari. Satu per satu penumpang pesawat melakukan Chek in untuk pengambilan tiket,
termasuk saya. Chek in adalah salah
satu tahapan agar penumpang bisa menduduki kursi pesawat yang sudah dipesan.
Untuk
menduduki kursi pesawat, tiap-tiap penumpang memang harus melewati rangkaian tahapan
terlebih dahulu. Sebelum Chek in,
para penumpang harus melewati tahap pemeriksaan barang oleh petugas bandara.
Hal ini dilakukan agar keamanan bandara tetap terjaga. Karena para petugas
bandara harus selalu waspada terhadap hal-hal negatif yang mungkin bisa
terjadi. Seperti penyelundupan narkotika, bom rakitan, KTP palsu bagi penumpang
ilegal, dst.
Setelah Chek in, para penumpang harus lagi
melewati tahap pemeriksaan kedua, persis seperti yang dilakukan pada tahap
pemeriksaan yang pertama. Hal ini semakin menegaskan, bandara harus bebas dari hal-hal
negatif yang bisa saja terjadi. Sebab, tak jarang bandara menjadi tempat
penyelundupan “barang terlarang”, perampokan, ataupun terorisme. Merskipun hal
tersebut begitu menyusahkan untuk para penumpang, tapi demi keamanan, hal
tersebut memang mesti dilakukan. Agar kelalaian yang kerap terjadi dapat di
atasi.
Tahap
terakhir adalah menuju ke pesawat. Di sini, tiap-tiap penumpang harus lagi
melewati tahap pemeriksaan. Bisa dibilang, tahap ini adalah tahapan pemeriksaan
yang terakhir. Pun di sini, tiap penumpang sudah tak lagi melewati tahap
pemeriksaan barang, tapi hanya mengalami pemeriksaan tiket dan tanda pengenal,
yakni KTP. Setelah itu, para penumpang sudah bisa menuju pesawat, dan menduduki
kursi yang sudah dipesan.
Saya
sendiri adalah penumpang transit. Maksudnya, saya tak langsung diterbangkan ke
Jayapura, tapi harus singgah terlebih dahulu di daerah tujuan pertama dari
pesawat yang kutumpangi. Kali ini, tujuan pertama dari pesawat Sriwijaya Air
adalah Kabupaten Monokwari, salah satu daerah di Pulau Papua. Artinya saya
harus singgah terlebih dahulu di Bandara Rendani, Monokwari.
Untuk
mencapai daerah tersebut, butuh waktu sekitar dua jam perjalanan pesawat. Setelah
itu, menunggu kurang lebih 30 menit, dan melanjutkan perjalanan ke Jayapura.
Sedangkan, dari Monokwari ke Jayapura sendriri butuh waktu sekitar satu jam
perjalanan pesawat.
Hingga
sampailah saya di Jayapura, kota dengan panorama alam yang indah. Dikelilingi
oleh pegunungan yang hijau dan laut yang biru. Daerah ini semakin menambah
ketakjubanku, betapa alam nusantara begitu eksotik.
Jayapura: Miniatur Indonesia
Sebenarnya
saya membayangkan Kota Jayapura masih menyimpan udara yang segar di pagi hari.
Tapi ternyata, di pagi pertamaku di jayapura, rabu (24/8/16), kesegaran udara
gunung dan laut yang mengitari Jayapura
sudah bercampur aduk dengan polusi yang dihasilkan kendaraan bermotor.
Bisa
dibilang, tata ruang Kota Jayapura cukup maju, dan modernisasi membawa
masyarakat bersahabat erat dengan mesin-mesin. Tapi, dengan keadaan seperti
itu, Jayapura akhirnya turut mendapatkan
dampak-dampak negatif pembangunan seperti gangguan udara panas, juga
dampak-dampak dari mesin-mesin seperti polusi.
“Wajah” Kota Jayapura tak ubahnya seperti kota-kota besar lainnya di
Indonesia.
“Wajah” Jayapura juga tak ubahnya seperti kota-kota
besar lainnya di Indonesia, jika dilihat dari realitas masyarakatnya. Di
Jayapura, antara masyarakat pribumi dan masyarakat pendatang sudah bercampur
baur dalam suatu ruang kota. Bahkan,
saya sempat bertanya kepada seorang teman, mengenai perbandingan kuantitas
antara masyarakat pribumi dan yang pendatang. Katanya, kedua “wajah” masyarakat
itu bisa dibilang hampir seimbang. Pengalaman pertama saya di suasana pagi
jayapura cukup mengejutkanku.
Saya tak
bisa berleha-leha menikmati suasana pagi Jayapura. Sebagai salah satu pemateri
undangan untuk kegiatan Intermediate Training HMI, saya semestinya ikut dalam
acara pembukaan yang diadakan pagi hari,pukul 08.00 WITA, di gedung
Uismasoccer, Kotaraja, tepatnya di Kota jayapura. Tempatnya tak jauh dari
sekretariat HMI cabang Jayapura di mana saya menginap. Sekitar dua menit
perjalanan dengan menggunakan kendaraan motor.
Sesampainya
di sana, panitia sudah bersiap-siap menjalankan agenda pembukaan Intermadiate
Training ini. Sementara pengurus cabang dan beberapa kader, juga alumni saling
berbincang-bincang satu sama lain. Tak lama setelah saya sampai di gedung
Uismasoccer, pembukaan kegiatan dilakukan dengan dipandu oleh protokol.
Beberapa
agenda kegiatan, termasuk orientasi training, diselesaikan ketika saya masuk
mengisi materi pertama untuk disampaikan kepada peserta. Saya dan peserta larut
dalam suasana diskusi, sampai ketika waktu telah memasuki magrib.
Saya
sangat senang ketika Ketua cabang, Fandi namanya, ingin mengajak saya
mengelilingi Kota jayapura, sekadar merasakan suasana malam. Dengan menggunakan
kendaraan bermotor, saya dibawa melihat-lihat suasana Kotaraja, juga Jayapura
Utara, sampai Jayapura Selatan. Bisa dibilang, di Jayapura Utara, juga Jayapura
Selatan adalah pusat kota Jayapura yang sebenarnya. Di sanalah supermarket,
mall, kantor gubernur, juga hotel-hotel mewah berdiri kokoh.
Gemerlap
suasana kota sangat terasa dengan banyaknya mobil dan motor yang lalulalang,
lampu-lampu bangunan yang bersinar terang, juga ramainya masyarakat dan segenap
aktivitasnya di malam hari. Ya, “wajah” Kota Jayapura tak ubahnya seperti
kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Di
perjalanan, yang membuatku takjub adalah “rasa” Indonesia yang sangat kuat di
Jayapura. Yang saya maksudkan adalah saling berbaurnya suku dan agama dalam
satu ruang Kota. Di sana, antara suku jawa, Bugis, Makassar, dan Papua saling
melebur dalam satu tata Masyarakat. Juga bangunan ibadah seperti masjid dan
gereja berdiri megah, tak saling mendominasi.
Bahkan tak jarang tempat ibadah dari dua agama yang berbeda itu,
ditemukan tak saling berjauhan jaraknya. Saya rasa Jayapura seperti miniatur
Indonesia.
Menikmati Jayapura dari Ketinggian
Di Kota
Jayapura, ada suatu tempat di mana kita dapat mengamati ruang kota, dan
menikmati panorama alam dari ketinggian. Mulai gedung-gedung, jalan raya,
pegunungan, lautan, sampai pulau-pulau kecil yang tak jauh dari pesisir bisa
kita amati. Orang-orang menamakan tempat itu Jayapura City. Menjelang siang,
sekitar pukul 11.00 WITA, Kamis (25/8/16), saya berkunjung ke sana ditemani seorang kawan. Jaraknya tak jauh.
Hanya 15 menit perjalanan dari Kotaraja dengan menggunakan motor.
Jayapura
City sendiri berada di suatu daerah bernama Polimak I, Kelurahan Ardipura.
Dengan mengikuti jalanan beraspal yang cukup terjal di daerah itu, kita akan
sampai di puncak bukit di mana hanya ada gazebo, tugu salib dan kantor RRI.
Selebihnya, pemandangan indah Jayapura yang diapit hamparan pegunungan dan
lautan yang seolah-olah menyatu dengan cakrawala. Tempat itulah yang dinamakan
Jayapura City.
Menurut
masyarakat setempat, dinamakan Jayapura City karena di tempat itu kita bisa
mengamati keseluruhan Kota Jayapura, seolah-olah Jayapura bisa direkam tata
ruang kotanya dengan hanya sekali pandang. Begitulah ceritanya sehingga dibilangkan
demikian. Apa yang dikatakan masyarakat setempat
memang benar adanya. Jayapura akhirnya
seperti miniatur kota yang terlihat sangat kecil oleh mata kecil manusia.
Saat
menikmati keindahan Jayapura di ketinggian, serasa berat meninggalkan Jayapura
City. Apalagi hempasan angin yang menyegarkan kulit, membuat kita merasa nyaman
berada di tempat itu, dan berpikir enggan untuk meninggalkannya. Hanya karena
perut keroncongan, saya akhirnya
meninggalkan tempat itu, bergegas menuju warung makan.
Perjalanan
pulang menyadarkanku akan satu hal. Saat menelusuri Polmak I, terlihat
rumah-rumah penduduk sangat berbeda arsitekturnya dengan rumah penduduk
kebanyakan di sekitar Jayapura. Ternyata, menurut cerita masyarakat setempat,
rumah yang dihuni masyarakat Polmak I adalah rumah hunian bekas peninggalan
Belanda. Dulu sekali, Polmak I adalah daerah hunian masyarakat Belanda di masa
penjajahan. Setelah Indonesia merdeka, rumah-rumah itu dihuni oleh orang-orang
yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil, atas himbauan pemerintahan setempat.
Bahkan, perabotan-perabotan rumah masih peninggalan Belanda. Saya merasa
takjub. Polmak I seperti museum, di mana peninggalan sejarah dirawat
sebaik-baiknya.
View Pasific Garden
Masih
pagi-pagi sekali saya sudah harus mengisi materi di Intermediate Training HMI
Cabanng Jayapura. Hal ini sudah harus saya lakukan. Sebab, kedatanganku ke
Jayapura karena suatu panggilan sebagai pembicara di kegiatan pelatihan ini.
Setelahnya, mencari tempat refreshing.
Tepatnya
di siang hari, sekitar pukul 13.00 WITA, Jumat (26/8/16) saya ditemani seorang
kawan mencari tempat yang sekiranya bisa menyegarkan pikiran. Mencari tempat
yang sekadar untuk bersantai. Dia lantas membawaku ke View Pasific Garden.
Jarak tempuh ke tempat itu cukup jauh. Sekitar 30 menit dengan menggunakan
motor dari Kota Raja, daerah di mana Intermediate Training digelar.
Untuk
menuju View Pasific Garden, terlebih dahulu kita harus memasuki wilayah
Kelurahan Angkasa Pura. Sebab, di kelurahan itulah tempat yang kutuju
berada. Dengan laju motor yang tidak
terlalu cepat, saya lebih leluasa melihat-lihat keadaan Angkasa Pura, di
sebelah kiri maupun di sebelah kanan saya.
Ternyata Angkasa Pura adalah kelurahan di mana perumahan pasukan militer
berdiri. Aku lantas menjadi tahu, sebagian besar tentara di wilayah Jayapura
menetap di Angkasa Pura.
Setelah
perjalanan yang memakan waktu sekitar 30 menit itu, saya akhirnya sampai di
tempat Tujuan. Di sana saya cukup takjub. Ternyata suasana View Pasific Garden
sesuai dengan namanya. Di sana kita dapat melihat indahnya samudra pasifik yang
membentang di alam Papua, melalui kebun mini. Saya sebut saja kebun mini karena
tempat itu cukup dipenuhi tanaman seperti ragam macam bunga, tumbuhan lombok
dan pala.
Di kebun
mini itulah orang-orang nongkrong menikmati indahnya samudera pasifik sembari
menikmati aneka jus dan es kelapa muda.
View Pasific Garden semacam tempat nongkrong di mana baik wisatawan
maupun masyarakat Jayapura melepas penat, atau sekadar bersantai ria memandangi
birunya laut, dan menikmati angin segar.
Kebun mini
itu sendiri berbentuk daratan yang lebih tinggi dari laut. Sehingga di tempat
itu, kita melihat laut pasifik dengan jarak pandang di ketinggian. Dilihat dari
sudut pandang di ketinggian, laut biru pasifik itu akhirnya terlihat begitu
indah, mengagumkan. Sudah sepantasnya View Pasific garden menjadi tempat untuk
menyegarkan pikiran dan melepas penat.
Kilas Tugu Mac Arthur dan Perihal Danau Sentani
Jayapura
memang terkenal dengan pusat pariwisata yang banyak. Telah banyak tempat wisata
yang dibuat oleh pemerintah kota agar masyarakat, khususnya wisatawan bisa
memiliki ruang untuk menikmati hal ihwal Papua. Salah satu yang hendak
kukunjungi hari ini, Sabtu, (27/8/16) adalah Tugu Mac Arthur, yang terletak di
puncak Ifar Gunung. Untuk mencapai tempat ini, butuh waktu sekitar satu jam
perjalanan motor dari Kotaraja. Kita akan melewati pegunungan yang persis di
samping jalan, juga melewati banyak pohon pinus yang berjejeran indah.
Mac Arthur
sendiri adalah nama seorang panglima tentara sekutu di Pasifik barat Daya. Berdasarkan
data dari pusat informasi, di tempat ini adalah daerah berdirinya pangkalan
militer yang dipimpin oleh Mac Arthur. Hingga saat ini bekas pangkalan militer
Jendral Mac Arthur dimanfaatkan pemerintah menjadi markas Resimen Induk Kodam
Cendrawasi.
Dan
akhirnya Tugu Mac Arthur Dibuat. Didirikan oleh pasukan sekutu di bawah komando
jendral Mac Arthur yang memenangkan perang melawan fasisme jepangpada perang
dunia ke II. Di tugu Mac Arthur terdapat tulisan:
Markas besar umum Daerah Pasifik Barat Daya pada
saat musim panas tahun 1944. suatu hamparan kompleks markas besar terserak di
tempat ini kemudian didirikan di lokasi ini. Akhirnya berpangkallah di Sentani
suatu Markas Besar Umum Daerah Pasifik Barat Daya: Angkatan Darat Amerika
Serikat di Timur Jauh, Armada ke Tujuh, Angkatan udara ke-lima, Angkatan Darat
ke-delapan, Pasukan Pendaratan Sekutu dan Angkatan Udara Sekutu. Perencanaan
dan penyelenggaraan untuk penyerangan Filipina dilaksanakan dari tempat ini. Di
bawah pengarahan Jendral Douglas Mac Arthur.
Saat ini,
di Tugu Mac Arthur menjadi ruang buat orang-orang yang ingin menikmati
keindahan Danau Sentani, suatu danau terluas di wilayah Papua, yang berada di bawah
lereng Pegunungan Cagar Alam Cyclops. Baik keindahan airnya yang tampak biru
tua, maupun pegunungan hijau dan pulau-pulaunya bisa kita amati dengan jelas,
dan pastinya sangat memanjakan mata.
Oleh
karena keistimewaan yang dimiliki Danau Sentani, sejak Tahun 2007, pemerintah
akhirnya memberikan perhatian yang lebih terhadap danau itu, sebagai sebuah
pariwisata yang mesti diperkenalkan dan dirawat. Hal ini dibuktikan dari
rutinnya pemerintah menyelenggarakan Festival di danau tersebut, yang akrab dikenal
dengan Festival Danau Sentani.
Dalam
festival tersebut, beragam adat istiadat, kesenian dan kebudayaan suku asli
Papua diperkenalkan. Dari pengenalan terhadap tarian adat, sampai kuliner. Tak
jarang, Festival Danau Sentani mengundang perhatian turis dari mancanegara. Di
sini sudah bisa kita bayangkan, betapa meriah dan mempesonanya Danau Sentani
tatkala festival digelar.
Saya
sempat berharap, bahwa saya diberi kesempatan
ke dua kalinya ke Jayapura, untuk melihat secara langsung kemeriahan
danau Sentani dalam festival tahunan
itu. Tapi, harapan hanyalah harapan, yang akhirnya berakhir pada rasa syukur.
Bahwa saya tetap diberi kesempatan pada Tuhan menikmati salah satu alam
ciptaannya yang indah ini.
Komentar
Posting Komentar