Tentang Siapa yang Bertanggung Jawab dan Kisah Ishaan Awashti




Tak ada yang mendunga, media sosial yang mulanya sebagai ruang interaksi alternatif, kini menjadi pengadilan yang paling menakutkan di jagad raya ini. Segala peristiwa yang menjadi trending topic dibicarakan dan didiskusikan. Kemudian menjadi perdebatan. Dalam banyak kejadian, pelaku dalam peristiwa tersebut dicaci, dikutuk, meskipun ada juga yang membelanya. Yah, sebagaimana pada umumnya, perdebatan dalam media sosial juga selalu melahirkan dua kutub masyarakat yang saling berseberangan: mereka yang pro dan yang kontra.  Pun, yang kerap diadili banyak ragamnya, baik itu pelaku pembunuhan, pemerkosaan, koruptor, si kakek yang menikah dengan seorang remaja, sampai Presiden tak luput dari sasaran pengadilan sosial ini.

Yang akhir-akhir ini hangat diperdebatkan oleh warganet adalah kasus seorang guru yang dipenjara karena diduga melakukan kekerasan terhadap seorang murid. Samhudi,  seorang guru di salah satu sekolah menengah pertama (SMP) di Sidoarjo, gara-gara mencubit seorang murid, harus dipolisikan oleh orang tua murid tersebut. Tentu, sejak informasi ini menyebar di media sosial, sejak itu pula menjadi perbincangan hangat oleh warganet. Mereka mengutuk, hingga melakukan bullying terhadap si murid dan orang tuanya, karena telah melaporkan Samhudi, hanya gara-gara si korban kena cubit oleh gurunya tersebut. Berbagai macam kritik dan hinaan berseliweran di media sosial, mengundang perdebatan yang alot. 

Sebelum ini, kejadian serupa pernah terjadi. Nurmayani, seorang guru SMP di Bantaeng, sempat mendekap dalam bui, karena telah melakukan kekerasan—mencubit— terhadap seorang muridnya. Seperti Samhudi, ia juga dipolisikan oleh orang tua murid tersebut. Pasca kejadian itu, ruang pengadilan pun langsung dibuka oleh warganet di media sosial, untuk menghabisi si orang tua murid. Meskipun di kemudian hari, Nurmayani akhirnya berdamai dengan orang tua murid dan dibebaskan.

Yang menarik dari perihal di atas adalah perdebatan warganet dalam menyikapi dua kasus tersebut. Banyak yang menyalahkan si anak yang dianggap rada-rada nakal dan mirip preman, banyak juga yang mencela orang tua murid karena melaporkan si guru atas tindak kekerasannya yang oleh para warganet, dianggap biasa-biasa saja dalam aktivitas mendidik. Pun, tak sedikit yang membela orang tua murid, dan menyalahkan tindakan guru, atas dasar pendidikan tak boleh disusupi perilaku kekerasan. Tak sedikit juga yang menganggap, perilaku nakal si anak tersebut karena kegagalan para guru-gurunya dalam mendidik. Lantas, yang manakah pendapat yang benar dan layak diikuti?

Sepanjang dua peristiwa di atas diperdebatkan di media sosial, saya tak pernah ambil bagian, meskipun ini masih lebih menarik daripada mengurusi kicauan Jonru di satu Fanpage-nya. Pun, hal ihwal tersebut sudah tenggelam oleh isu-isu terhangat lainnya dan ditinggalkan. Tapi, entah kenapa saya harus mengutarakan pendapatku. Padahal isu tersebut sudah basi. Yang saya tahu masalah pendidikan adalah soal yang mesti diberikan perhatian yang lebih. Hitung-hitung, ilmu kependidikanku bisa berguna dalam menyikapi semua itu. Begini-begini, saya sarjana pendidikan, lho!

Lantas, bagaimana menanggapi kasus tersebut?

Begini. Susah untuk menempatkan posisi siapa yang harus dibela. Memang benar, terlalu berlebihan jika hanya karena si murid dicubit oleh gurunya, lantas orang tuanya marah dan memenjarakan si guru. Tapi bukan berarti bahwa kekerasan di sekolah, sekecil apapun, harus dilanggengkan. Sebab, saya pikir, jika guru kreatif, pasti akan memiliki berbagai macam alternatif untuk membina murid-muridnya, tanpa harus melakukan kekerasan. Pada posisi ini, saya juga tak membenarkan perlakuan guru tersebut. 

Soal murid yang bandelnya bukan main. Siapa yang harus disalahkan? Bukan hanya menyalahkan guru yang dianggap tidak becus mengadabkan muridnya, tapi juga orang tua dan lingkungan masyarakat di mana ia bergaul. Dalam kasus di atas, kesalahan orang tua murid adalah menyalahkan sepenuhnya kepada guru, sembari “cuci tangan” atas kegagalan terbinanya si murid. Sebab, pada situasi demikian, orang tua juga harus dianggap gagal dalam membina anaknya sendiri. 

Dalam teori pendidikan, setidaknya dipahami tiga macam model pendidikan: pendidikan informal (pendidikan dalam keluarga), non formal (pendidikan yang, secara alamiah atau disengaja, terjadi dalam lingkungan masyarakat), dan formal (pendidikan yang terjadi dalam institusi pendidikan formal). Maka, merujuk pada ini, setiap elemen masyarakat terlibat dalam mendidik anak-anak, tak terkecuali lingkungan keluarga. Bahkan, lingkungan keluarga adalah ruang pendidikan pertama di mana anak-anak dibentuk dan dibesarkan untuk pertama kalinya. 

Ketika anak-anak diserahkan pada pendidikan formal, dan didapati dalam keadaan nakal, tidak berakhlak, ada kemungkinan mereka tak tuntas dididik dalam lingkungan keluarga. Penyebabnya bisa jadi banyak hal. Seperti ketidakpahaman orang tua atas masalah kepribadian yang menimpa si anak, atau kegagalan orang tua dalam memenuhi kebutuhan yang berkaitan dengan perkembangan anak. Celakanya, kita membebankan semua persoalan itu kepada para pendidik di lingkungan pendidikan formal, tanpa mau tahu, jika orang tua juga punya andil dalam kegagalan pendidikan anaknya. Sebaliknya, guru juga mesti menyadari posisinya sebagai pendidik, yang sudah harus siap menjadi cerdas, kreatif, memahami psikologi anak, untuk mendidik mereka yang dirusak oleh lingkungan sosialnya, dan menuntaskan pengembangan anak yang diabaikan oleh lingkungan keluarganya. 

Saya lantas teringat dengan satu film yang berjudul Taare Zameen Par. Film ini bercerita mengenai seorang bocah bernama Ishaan Awashti. Sifatnya yang liar, nakal, dan pribadinya yang kesulitan beradaptasi dengan materi pelajaran yang disampaikan guru, membuatnya menjadi bocah yang dianggap bermasalah secara psikologis—dianggap bodoh dan idiot. Ia akhirnya dikucilkan oleh lingkungan sosialnya, juga teman sekolahnya, dan kerap ditindak keras dan didiskriminasi, baik oleh guru maupun bapaknya. 

Memang ada yang tak beres dari perkembangan mental dan kognitifnya. Tapi, harus dipahami, terhambatnya perkembangan Ishaan diakibatkan oleh kompleksitas persoalan dari luar dirinya: keluarganya, lingkungan sosialnya, dan institusi pendidikan di mana ia mengenyam ilmu pengetahuan. Orang tuanya, guru-gurunya, lingkungan masyarakatnya, boleh-boleh saja merasa jengkel dengan kenakalan dan keliaran Ishaan. Tapi, bangunan karakter yang dimilikinya, juga keterlambatan perkembangannya dibentuk oleh mereka. 

Dalam lingkungan keluarganya, orang-orang setiap hari disibukkan oleh rutinitas keseharian. Sang kakak kerjanya belajar melulu, sang ayah sibuk dengan urusan kantornya, sang ibu sibuk dengan urusan rumah tangga.  Jadinya, mereka abai terhadap persoalan mendasar yang dialami Ishaan. Terlebih, orang tuanya selalu memaksa Ishaan menjadi apa yang diinginkannya, tanpa mau tahu apa yang sebenarnya dialami, dibutuhkan, dan potensi apa yang sebenarnya dimiliki bocah tersebut. 

Di lingkungan sosialnya, anak-anak tetangga kerap memperlakukan Ishaan dengan kejam, dan dianggap sebagai the other dari komunitasnya. Sedang, di lingkungan sekolahnya, Ishaan dikucilkan oleh teman sebayanya, dididik dengan keras oleh gurunya. Bahkan sang guru kerap memaksakan ilmu pengetahuan yang susah dipahami olehnya, hingga dianggap bodoh karena tidak mampu seperti teman-teman sekelasnya. Bukan ia tak mampu sebenarnya. Tapi ada suatu problem yang dialami Ishaan: Dyslexia. 

Dyslexia adalah suatu ketidakmampuan dalam mengenali huruf, dan membuat seseorang kesulitan membaca dan menulis. Sehingga, seseorang akan sulit menyerap pengetahuan. Sebab, membaca dan menulis sebagai medium dasar  berpengetahuan tidak dikuasainya. Ishaan mengalami itu. Namun sayang, guru, terlebih orang tuanya, tak mengetahui problem mendasar dari bocah tersebut. Sebab mereka enggan mencari tahu. Mereka hanya tahu, Ishaan bodoh, maka harus dipaksa belajar, Ishaan nakal, maka harus didisiplinkan, bahkan dengan kekerasan. 

Yang ingin saya sampaikan, kisah bocah bernama Ishaan itu, persis seperti persoalan pendidikan kita. Bahwa soal perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik anak, adalah urusan semua pihak yang bersangkutan: orang tua, lingkungan sosialnya, dan lingkungan pendidikan formalnya. Maka, semua bertanggung jawab atas gagalnya perkembangan anak. Jika kemudian hari, seorang anak dipukuli oleh gurunya karena kenakalan yang dilakukannya, saya pikir, guru melakukan tindakan yang tak semestinya. Masih banyak cara lain, jika memang guru bersedia meluangkan waktu untuk mencari tahu. Ketika itu terjadi, orang tua tak serta merta langsung menyalahkan guru sepenuhnya. Hendaklah mawas diri. Sudah sejauh mana lingkungan keluarga mendidik si anak, dan bagaimana si anak diproteksi dari pergaulan yang tidak sehat dilingkungan masyarakatnya.


Komentar

Populer Sepekan