Muasal
Pada
akhirnya, orang-orang akan mencari muasalnya, tempat segalanya bermula. Kau
akan ke kampung halaman, ke pohon mangga dekat rumahmu, atau mungkin ke rumah perempuan
yang pernah kau perkosa. Sebab di sana ada sehimpun masa silam, suatu
ruang-waktu di mana takdir menulis sejarahmu, menciptakanmu. Dan kau akan ke
mana-mana, tapi juga tak akan kemana- mana. Sebab, kau akan merindukan perihal
permulaan. Juga, barangkali penyesalan, atau dendam, membawamu menemui tempat di
mana suatu ihwal dimulai.
Aku hanya
ke UNM. Tepatnya, di kantin Fakultas Ilmu Pendidikan. Ruang yang bagiku, tak
hanya kupahami sebagai pelepas lapar dan
dahaga, atau sekadar kongkow bersama masyarakat kampus. Tapi juga sebagai—seumpama
studio film—ruang di mana sejadi-jadinya diriku saat ini terekam.
Memang
telah banyak berubah dari tata ruangnya. Tapi meja-meja itu, suara orang-orang
di dalamnya, pelayan kantin itu, seperti mengubah kembali kantin ini seperti
sedia kala. Suatu ingatan seperti tergesah menginterupsi masa kini, dan hadirkan
kesilaman: tentang aku dan beberapa teman saling berdebat membincang Tuhan,
politik, dan kampus yang centang perenang, terkadang hampir baku pukul. Tentang
aku yang bertemu dengan orang-orang cerdas, dan mengubah rute menuju pilihan
hidup yang tak banyak digandrungi banyak orang: menggeliati diskursus, buku,
dan menulis.
Kau akan
membaca tulisan ini dan mengatakan, “Ini kisah hidupmu, hanya itu yang kau
ceritakan?” Sebuah kisah, bagaimanapun itu, pasti akan merekam tokoh lain yang
bukan siapa-siapa dalam hidupmu, tapi penting untuk diceritakan. Di kantin ini
terekam jejak hidup nenek pemulung. Ia
memang bukanlah persona yang menentukan kisah-kisah hidupku. Tapi, dia adalah
tokoh bisa dibilang unik. Justru karena
itu, dia adalah “yang lain”, yang terletak di pinggiran kisah, dan memaksaku
mengangkatnya kepermukaan.
Terkadang,
aku senang menuliskan sehimpun kisah orang-orang di pinggiran cerita, yang
kerap diabaikan. Justru karena itu, aku selalu gagal menyelesaikan tulisan
tentang diriku sendiri. Selalu ada persona yang, saat kusentil dalam sebuah
cerita, selalu ingin kukisahkan panjang lebar. Seperti nenek pemulung itu. Maka
cukuplah kau tahu, kantin ini punya sejarah dalam rentang masa hidupku.
***
Aku tak
tahu namanya. Dan semua “penghuni” kantin waktu itu juga pasti tak menahu. Dia
tak penting untuk diketahui bagi mereka dan, seperti itu juga aku. Kami
hanyalah mahasiswa urban yang secara kebudayaan, sudah dikondisikan oleh individualisme
modern, yang sukar bersalaman kepada orang asing dan sekadar bertanya, “Apa
kabar?”, “Siapa namamu?” Kami juga lahir dari imaji gaya hidup orang kota yang
penuh hura-hura, yang membuat kami semakin tak peduli pada apa yang dirasa tak
penting untuk diketahui.
Toh, jika
nenek pemulung itu ditempatkan dalam sekat-sekat kenangan kami, ia hanya
digantung di pojok dinding ingatan; sejumput kisah pinggiran. Orang-orang hanya
mengetahui, ada nenek tua yang kerjanya memulung sampah. Itu saja. Selebihnya,
teka-teki.
Aku
mungkin satu dari sedikit orang yang memiliki ingatan lebih tentang nenek
pemulung itu. Meski pemulung banyak memasuki area kantin ini, tapi dia lain.
Dan itu yang mendorongku untuk merekam fragmen tantangnya, meski hal demikian
tak kunjung membuatku mengetahui namanya.
Aku kenang betul, dia senang meminum Teh
Gelas untuk membanjur tenggorokannya yang kering. Dan dia hanya pemulung,
bukan peminta-minta.
Sejauh
yang aku ingat, dia tidak pernah menjulurkan telapak tangannya kehadapan orang
lain, dan minta dikasihani dengan sejumlah uang, meskipun recehan. Dia hanya
punya kepentingan dengan limbah plastik
yang tumpah ruah di kolong meja, juga di atas meja—jika pemilik sampah masih
memakai meja itu, dia meminta izin dulu sebelum dimasukkan ke kantong plastik.
Mengingat
gelagatnya, aku tetiba menyadari, kaum miskin kota tak sepenuhnya menyerah pada
nasib yang dirancang oleh sistem sosial yang obscene. Ketika banyak dari kaum miskin kota harus rela menjadi
pencuri, dan peminta-minta, nenek pemulung itu berbeda. Ia hidup tanpa melewati
jalan pintas. Meskipun barangkali ia menyadari, tubuhnya yang ringkih tak akan
selamanya mampu memunguti sampah plastik satu per satu.
Tapi kau
pasti menyadarinya juga. Seberat apapun pekerjaan yang nenek pemulung itu
jalani, kantin ini seperti surga di dalam pandangan mata sipitnya itu. Sampah
plastik yang tumpah ruah akibat laku konsumtif yang berlebihan dari masyarakat
kampus harus ia pungut, mulai dari pagi sampai sore hari, demi penghasilan yang
sebenarnya tak seberapa—setidaknya dalam “kepala” masyarakat kelas menengah
seperti kita.
Dia akan
berjalan menyusuri kantin dengan langkah gontai dan lemah. Dan tak ada upaya
menginterupsi rutinitas dan perbincangan orang-orang di mejanya masing-masing
dengan menjulurkan telapak tangannya, selain dengan terpaksa dan malu-malu
harus meminta sampah plastik di hadapan pemiliknya. Dia selalu soliter di
hadapan kepungan orang-orang ramai. Dia selalu sunyi di gegap gempita suasana
kantin. Dia sendirian.
Oh, iya.
Aku lupa. Sebenarnya aku pernah sekali berinteraksi dengan nenek pemulung itu.
Suatu ketika, aku beranjak meninggalkan kantin. Belum jauh dari kantin,
kudengar suara parau dari arah belakangku. Itu suaranya. Aku berhenti karena
dia berjalan menghampiriku. Setibanya di hadapanku, dia memberikan dompetku
yang terjatuh dan tergeletak dikolom meja. Aku meraihnya. Dia kemudian
tersenyum, dan berlalu, saat kusadari aku belum juga mengetahui namanya.
Bahkan kopiku
hampir habis dan sekalipun tak kulihat nenek pemulung itu. Ini sudah sangat
lama saat aku mengunjungi kantin ini terakhir kali. Pastilah aku tak tahu kapan
ia tak lagi beraktivitas di tempat ini. Juga, mengapa ia mesti meninggalkan
kantin yang seperti surga para pemulung
itu, aku tak tahu. Aku menduga-duga saja. Barangkali dia ke tempat-tempat di
mana karirnya sebagai pemulung dimulai; di jalanan, atau tempat pembuangan
sampah. Pada akhirnya, orang-orang akan mencari muasalnya, tempat segalanya
bermula.
Ilustrasi: http://tudik.deviantart.com/ (foto sudah diedit ulang)
Komentar
Posting Komentar