Midas, Keserakahan, dan Kehidupan yang Tumpas
Di suatu wilayah di bumi Anatolia, Asia minor—sekarang
bermukim di Turki—hiduplah seorang penguasa yang serakah. Namanya Midas. Ia
senang memupuk kekayaan hanya untuk kesenangan dirinya. Tapi yang namanya orang
rakus, tak pernah puas dengan segala kekayaan yang dimilikinya. Demikian pula watak Si Raja
Midas.
Suatu ketika, Raja Midas menjumpai Dionisius, yang dalam
kepercayaan Yunani antik, termasuk dewa yang bertuah. Ia meminta agar diberi
tangan sakti yang bisa menyulap segala hal yang disentuhnya menjadi emas. Dionyisius mengabulkan permintaannya, sehingga
dimilikinyalah kesaktian itu: pohon-pohon yang tumbuh di taman, sampai air
sungai yang mengalir, menjadi emas oleh sentuhan tangan ajaibnya. Raja Midas
akhirnya bergegas ke istananya, dalam keadaan jiwa yang semakin serakah.
Sesampainya di istana, disentuhlah segala apa yang ada di
sana, agar seisi istana menjadi emas. Saat seluruh istana menjadi emas, ia
kemudian begegas untuk makan siang. Dan petaka pun terjadi. Ia akhirnya tidak
bisa menikmati sajian makanan yang tersedia di meja. Sebab, pasca menyentuh
seluruhnya, seketika menjadi emas. Bahkan istri dan anaknya berubah menjadi
emas kala ia menyentuhnya. Kemudian Raja Midas menjadi gila dan semua orang
menjauhinya. Sebab sentuhan tangannya adalah petaka bagi hidup orang-orang.
**
Tentu hikayat Raja Midas sekadar dongeng belaka, yang hadir
melalui kekayaan imanjinasi orang-orang Yunani Antik. Tapi, sebagai sesuatu
yang fiktif, dongeng justru kerap menjadi medio untuk menyinggung kenyataan
yang di alami manusia. Dalam hikayat Raja Midas, kiranya memuat pesan yang
sangat menohok realitas hidup kita. Tatkala seseorang mendapatkan kesempatan
melampiaskan hasrat serakahnya, di situ pula cikal bakal yang buruk muncul
dipermukaan. Jiwa-jiwa yang tamak pada akhirnya menjadi petaka bagi segala yang
hidup.
Hal demikian tak bisa kita sangsi, saat kita kembali
memikirkan peristiwa yang sudah-sudah. Di panggung politik, orang-orang kerap memanfaatkan tahta kekuasaannya untuk melayani hasrat serakahnya. Disulaplah
uang negara menjadi pundi-pundi kakayaannya melalui korupsi, yang akhirnya
berefek pada hajat hidup masyarakat banyak.
Pun, kekuasaan dipertahankan dengan memanfaatkan aparatus ideologi
negara, juga aparatus represif negara, dengan mengendalikan, bahkan menindas
orang-orang. Di situ, hal yang
ditakutkan akhirnya terjadi: kemerdekaan dirampas, dan itu artinya, kemanusiaan
tumpas dengan sendirinya.
Di belahan peristiwa yang lain, selalu kita dapati
eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan akumulasi modal semata. Melalu
deru mesin industri, hutan-hutan dibabat, sumber air dikuras oleh korporasi air
minum. Yang tersisah kemudian hanyalah ancaman bagi kelangsungan organisme
mahluk hidup. Ketiadaan hutan, ketiadaan rumah bagi hewan liar. Ketiadaan
hutan, juga adalah ketiadaan penyerapan karbon dioksida, yang pastinya
berdampak bagi kesehatan bumi dan manusia. Pun, pelan-pelan, sumber air menipis
oleh monopoli sepihak, berdampak pada kebutuhan air masyarakat, dan pastinya
juga berdampak pada kelestarian ekologis. Tentu perihal demikian hanyalah dua
contoh dari sekian banyak laku tamak yang dilakukan oleh para korporasi. Sementara
dampak-dampak eksploitasi kian terasa, para cukong justru berbahagia hati atas kekayaan
yang mengalir terus menerus.
Jika mau dibilang, beberapa hal yang dibilangkan di atas
persis seperti tumpasnya kehidupan oleh ulah tangan Midas. Perbedaannya, tangan
Midas menjelma dalam bentuknya yang lain: politik dan teknologi. Jika Midas
membunuh kehidupan melalui tangan ajaibnya, maka melalui jargon politik, kemakmuran
dan kemerdekaan sebagai tanda hidupnya tatanan masyarakat habis oleh mereka yang
bercokol di tahta kekuasaan. Sedangkan, melalui jargon kapitalisme, teknologi
dimanfaatkan untuk keuntungan sepihak, hingga mengabaikan dampak-dampak yang
ditorehkan pada kehidupan organik.
Komentar
Posting Komentar