Merawat Semangat Belajar Anak-anak
Beberapa pekan yang lalu, anak-anak menjalani pendidikan
perdananya di sekolah dasar. Tak henti-hentinya TV menyiarkan banyak berita
mengenai semangat anak-anak saat menginjakkan kaki pertama kali di pendidikan
formal. Hal demikian adalah pemandangan yang sangat indah. Dan, bisa kita
saksikan semangat itu. Baru saja hari disambangi subuh, anak-anak di berbagai
daerah, ditemani orangtuanya, sudah berbondong-bondong memasuki kelas, dan
saling berebut bangku . Ada suatu antusiasme yang merubung di jiwa mereka, yang
akhirnya menyemangati mereka untuk segera merasakan pengalaman belajar di
kelas.
Waktu itu saya menyimaknya dilayar kaca, ditemani oleh ibuku.
Melihat peristiwa itu, saya langsung mengajukan pertanyaan kepada ibuku,
“Apakah dulu saya sebahagia itu?” Ibuku lantas menjawabnya, “Iya, kamu saya
bawa kesekolah pagi-pagi sekali, dan kamu berlari ke bangku paling depan.” Dia
tertawa.
Saya sebenarnya kebingungan dengan jawaban ibuku. Yang saya
ingat, dulu, waktu saya sekolah, dari sekolah dasar sampai sekolah menengah,
saya itu tukang bolos. Bahkan, waktu di sekolah dasar, saya membenci ceramah
guru yang panjang lebar, berisi wejangan-wejangan tentang materi pelajaran terkait.
Saya lantas memikirkan ulang jawaban ibuku, apakah betul saya pernah sebahagia
itu?
Akhirnya saya sangat yakin, sebenarnya anak-anak punya
semangat belajar yang sangat tinggi. Tapi, lambat laun, semangat bersekolah
yang tumbuh di jiwa anak-anak pada akhirnya akan musnah di telan waktu. Itu
jika mereka sadar bahwa bersekolah ternyata tidak seru-seru amat. Malah
membosankan. Yah, seringkali kita dapati anak-anak yang, pada akhirnya,
merasakan hal yang berbeda dari bayangan awalnya tentang sekolah. Tak pelak,
tumbuhlah kejenuhan itu, dan meruntuhkan
semangatnya untuk bersekolah.
Itulah mengapa, tidak
jarang kita menemukan anak-anak yang senang membolos, pura-pura sakit agar bisa
pulang lebih awal, bahkan ada yang tidak berminat lagi melanjutkan pendidikannya
di sekolah. Itu karena mereka seringkali tidak merasakan kebahagiaan apapun di
masa-masa pendidikannya di sekolah. Yang mereka dapati hanyalah teori-teori dan
rumus-rumus yang membebani pikirannya,
tugas rumah yang menumpuk, guru-guru yang galak, dan model ceramah guru yang bikin
mengantuk. Hal tersebut menandakan, para
guru selalu saja gagal merawat semangat anak-anak.
Tentu hal demikian sangat menghawatirkan. Tapi, celakanya,
guru kerap lupa—atau tidak mau—berkaca pada pengalaman yang sudah-sudah. Hingga
akhirnya, guru seringkali enggan mencari cara terbaik untuk mempertahankan
antusiasme anak-anak. Mempertahankan gelora yang seperti pada waktu pertama
kali anak-anak menduduki bangku sekolah.
Agar mereka tetap bersemangat mengenyam pendidikan, maka guru mesti
merekonstruksi dirinya sendiri. Yakni , mengasah kemampuan mengajarnya, agar
dapat membentuk suasana belajar yang menyenangkan di kelas.
Mengapa pembelajaran harus menyenangkan? Karena hal itu adalah
strategi yang baik untuk mensugesti siswa agar berada pada kondisi yang relaks
dan nyaman. Sehingga, anak-anak merasakan kebahagiaan sewaktu melangsungkan
proses pembelajaran, merasa betah, dan lebih bersemangat lagi menjalani
hari-hari belajarnya di sekolah.
Jangan kira bahwa kebahagiaan sama sekali tidak berimplikasi
pada minat belajar siswa, hingga meremehkan modus belajar yang menyenangkan.
Mesti diketahui, kebahagiaan siswa petanda ia berada pada kondisi emosi yang
positif. Semakin siswa berada pada kondisi emosi yang positif, maka semakin
memantik minat belajarnya. Dan hal ini
jelas akan berimplikasi pada pengembangan potensi dan bakat siswa.
Setidaknya, pembenaran asumsi demikian dapat kita temukan
dari pendapat beberapa ahli. Menurut pakar Accelerated
Learning, Rose & Nicholl, bila emosi positif
terbangkitkan maka “at-at keceriaan” yang disebut endorfin dalam otak akan
terbentuk. Hal ini akan memicu meningkatnya aliran neurontransmister. Bila hal
ini terjadi maka memungkinkan terjadinya sambungan antar sel otak. Dan menurut Menurut Jalaluddin Rakhmat, dalam bukunya belajar berbasis otak, makin banyak hubungan yang dilakukan oleh
sel-sel otak, makin baik seseorang dalam belajar. Maka
pada akhirnya, kebahagiaan siswa turut menentukan pengembangan potensinya juga.
Lantas, bagaimana menciptakan pembelajaran yang
menyenangkan? Jelasnya, pembelajaran yang menyenangkan selalu bermula dari
bagaimana guru menghadapi murid. Agar tak cepat jenuh, anak-anak tak boleh
merasa tertekan. Sehingga, menghadapi siswa dengan ramah adalah kunci utama
membuka jalan terbentuknya pembelajaran yang menyenangkan.
Guru mesti pandai bersahabat dengan murid, dan sebisa
mungkin menghindari kekerasan. Akhir-akhir ini, marak terjadi kekerasan pada
murid. Hingga tak segan-segan, orangtua murid melaporkan ke polisi, dan
berujung pada dipenjarakannya guru yang bersangkutan. Adalah wajar jika
orangtua murid marah, meskipun terlalu berlebihan juga jika guru yang
bersangkutan mesti dipenjarakan. Sebab, kekerasan tak mendatangkan manfaat
apa-apa bagi murid. Bahkan, justru hanya menciptakan ketakutan. Belajar di
sekolah akhirnya akan dianggap sebagai momen yang menyeramkan, dan tidak
menarik bagi pemahaman anak-anak.
Pun, guru mesti pandai menerapkan metode pembelajaran yang
variatif. Kekurangan banyak guru adalah, pada kemampuannya yang hanya sanggup menerapkan
metode pembelajaran yang kaku dan itu-itu saja: cerama, diskusi dan tanya
jawab. Sehingga, pastilah suasana pembelajaran terkesan membosankan. Itulah
mengapa, menjadi guru sudah harus selalu memperluas dan mengembangkan
wawasannya.
Maka, guru mesti mengunyah banyak teori-teori pembelajaran
yang mutakhir, dan diterapkan di setiap momen belajar mengajar dengan murid. Apalagi,
teori-teori pembelajaran yang menyenangkan sudah banyak dikembangkan oleh
banyak pakar pendidikan. Seperti, Quantum
Learning, Accelerated Learning, Genius Learning, teori pembelajaran Multiple Intelligence yang dikembangkan
Munif Chatib, dst. Hal demikian mestinya dijemput dengan hangat oleh guru,
dipelajari dan di terapkan.
Yang tak kalah pentingnya adalah, menghargai bakat setiap
anak-anak. Sampai saat ini, masih ada saja guru yang beranggapan, anak yang
berbakat adalah mereka yang menguasai ilmu pasti: matematika, fisika, kimia,
dst. Maka tak heran jika kebanyakan anak-anak mendambakan duduk di kelas IPA.
Karena dianggap kelas IPA adalah petanda kecerdasan bagi penghuninya.
Sementara, seorang anak yang kurang cakap pada wilayah ilmu pasti, dianggap tidak
cerdas. Perlu diketahui, semangat anak membuncah jika diberi perhatian khusus,
dan dihargai setiap kemampuannya. Maka, hargailah bakat anak-anak, meskipun itu
bukan kecakapan ilmu pasti.
Komentar
Posting Komentar