Jejak: Menyelami To Lotang dan Pergulatan Agama
Akhir-akhir ini beberapa karya fiksi (novel) yang
mengisahkan tentang sisi lokalitas sulawesi-selatan, bermunculan. Misalnya Nathisa yang dikarang oleh Khrisna
Phabicara dan Puya ke Puya yang
dikarang oleh Faisal Oddang. Jika Natisha
berkisah tentang parakang, yang dianggap sebagai manusia yang hendak
mempelajari ilmu hitam dengan memakan jeroan bayi, dan dianggap juga sebagai
mahluk jadi-jadian, Maka Puya ke Puya
berkisah tentang semesta adat Toraja.
Tentu, mengaji lokalitas sulawesi-Selatan dalam bentuk
fiksi, sudah dilakukan oleh beberapa novelis kebanggaan Sulawesi-Selatan, tak
hanya kedua novelis/sastrawan di atas. Kita mungkin sudah kenal sosok Dul Abdul
Rahman, yang berhasil mengisahkan ulang epos Lagaligo dalam novelnya yang juga
berjudul Lagaligo. Selain itu ia juga
pernah menulis novel mengenai sisi magis dalam tradisi Bugis-Makassar dengan
megisahkannya melalui sebuah novel, Perempuan
Poppo.
Di antara jejeran karya-karya di atas, kita bisa
menyandingkan novel Jejak, yang juga
memiliki visi yang sama dengan sehimpunan karya-karya tersebut. Yakni mengurai semesta tradisi dan
kepercayaan lokal dalam bentuk karya fiksi. Jejak
sendiri adalah novel yang dikarang oleh Pepi al-Bayqunie, seorang peneliti di
bidang keagamaan yang sangat produktif dalam menulis karya-karya fiksi. Pun, Jejak
berkisah tentang sejumput tradisi dan napak tilas komunitas lokal yang masih
menganut kepercayaan nenek moyang: To Lotang. Dalam novel tersebut, To Lotang
kemudian di fiksikan dengan nama lain: Tobare.
Jika memasuki halaman-halaman awal Jejak, kita tidak akan mengira jika novel tersebut berkisah mengenai suatu komunitas lokal di Sulawesi-Selatan.
Kita hanya melihat sekelumit kisah cinta beberapa pemuda: antara Irfan, Hilda
dan I Coppo Bunga Eja, juga cinta rumit antara Andi dan Anisa.
Tapi kasat-kusut kisah cinta pada setiap tokoh dalam Jejak, akan sedikit demi sediki
menghantarkan para pembaca ke dalam persoalan pelik mengenai kepercayaan kuno
di suatu komunitas lokal, dan posisinya di tengah-tengah masyarakat dan negara.
Selain itu, kita akan dibawa untuk melihat beberapa kisah-kisah ketegangan
antar agama, dan bagaimana menengahi pergulatan tersebut.
Dalam Jejak, di
kisahkan bahwa komunitas Tobare kerap mengalami diskriminasi. Ketika negara
hanya mengakui enam agama sebagai kepercayaan resmi, maka Tobare yang tak
termasuk di dalamnya, otomatis tidak di anggap sebagai suatu bentuk kepercayaan
resmi. Hingga mau tak mau, masyarakat Tobare dipaksa beridentitas hindu agar mereka
bisa memiliki KTP, meskipun mereka tetap menganut kepercayaannya. Dalam novel
tersebut, Perlakuan diskriminatif lainnya yang dialami mereka adalah saat
Masyarakat Tobare dibilangkan menganut kebudayaan yang tak bertuhan. Sehingga,
dalam perjalanan eksistensinya, masyarakat Tobare pernah dituduh komunis, dan
pernah pula beberapa kali mengalami intimidasi oleh masyarakat muslim.
Sungguh hikayat menyedihkan tentang komunitas Tobare yang tersebutkan
di atas adalah nyata, ketika kita menengok sejarah perjalanan diskriminatif komunitas
To Lotang yang tersebar di Sidrap dan Wajo. Sebab sekali lagi, imajinasi
mengenai komunitas Tobare dalam novel tersebut di ilhami dari fakta-fakta
sejarah dan kebudayaan dari komunitas To Lotang.
Masih mengenai komunitas Tobare. Dalam jejak, Tobare juga adalah medio untuk menggambarkan sistem kepercayaan
kuno masyarakat To Lotang, dan tradisi-tradisi lainnya. Tentang tradisi
Tolotang mengenai penghormatan terhadap pemuka adat atau pemimpin spritual, di
mana masyarakat To Lotang menyebutnya sebagai uwak. Di samping itu diceritakan, To Lotang juga memiliki tradisi
untuk menolak masyarakat yang telah berpindah keyakinan, dan keengganan untuk
menikahkan penganut To Lotang dengan yang berbeda keyakinan. Kesemuanya itu
diulas dalam Jejak melalui imajinasi
mengenai komunitas Tobare. Sehingga di situ, bisa kita lihat alasan mengapa
komunitas To Lotang tetap bertahan sepanjang zaman. Itu karena tradisi tetap
dijaga dari kontaminasi pandangan dunia dari luar. Tapi melalui penggambaran
itu juga, To Lotang sebagai sebuah tradisi dan kepercayaan nampak memiliki sisi
fundamentalismenya sendiri.
Selanjutnya, membaca Jejak,
berararti membaca sekelumit pergulatan antar kepercayaan keagamaan. Yakni,
mengenai persitegangan pemeluk mazhab Sunni dan mazhab Syiah. Persitegangan
tersebut akan kita temukan melalui kerumitan kisah cinta antara Andi dan Anisa.
Andi yang cinta dan hendak menikahi
Anisa, harus melewati kekerasan ayahnya dalam memandang Syiah. Sebab, Anisa
adalah pemeluk Syiah. Sehingga penolakan pun terjadi. Ayahnya tak sudi jika
anaknya menjalin hubungan dengan seorang yang bermazhab Syiah. Meskipun di
kemudian hari, atas fakta-fakta moral dan nurani kemanusiaan dari Anisa,
mengubah keputusan ayah Andi, dan merelakan anaknya menjalin hubungan dengan
pemeluk Syiah tersebut.
Hal yang busa dipetik dari kisah atas adalah, tentang
bagaimana menerima seorang yang berkeyakinan berbeda, dengan meretas
sekat-sekat paradigma dan ideologi. Tapi, menerimanya dengan melihat sisi
akhlakinya. Hal demikian menjadi perihal
yang kurang dalam kehidupan beragama kita akhir-akhir ini. Orang-orang kerap
menolak pemeluk keyakinan lain, bahkan menghukumi sebagai yang sesat, tanpa
melihat kualitas akhlak dan sisi kemanusiaannya.
Begitulah sekelumit mengenai novel jejak. Hal-hal lainnya adalah dalam novel tersebut, kita akan
disuguhkan kisah petualangan yang seru mengenai pengungkapan rahasia yang
tersembunyi di komunitas Tobare. Sehingga dari situ, Jejak menjadi novel yang tidak garing. Bahkan pembaca akan selalu
tertantang untuk menyelami kisah-kisah selanjutnya.
Pun, selipan beberapa kritik sosial dan kebudayaan turut
dijasikan dalam semesta kisah yang tertuang dalam Jejak. Salah satu bentuk kecerdasan penulisnya terletak di situ.
Yakni bagaimana dialog-dialog maupun solilokui tokoh utama, Irfan, menyajikan
tema-tema kritik, seperti kritik kehidupan modern, kampus dan kekuasaan.
Sehingga Jejak menjadi novel yang
kaya dengan nuansa edukatif. Oleh karena demikian, maka novel Jejak adalah salah satu karya
intelektual dari penulis lokal kita yang sangat layak diselami.
Tulisan ini terbit di Harian Fajar edisi 26 Juni 2016
Tulisan ini terbit di Harian Fajar edisi 26 Juni 2016
Komentar
Posting Komentar