Transcendence: Merenungkan Implikasi Teknologi
Jika
mendengar nama Wally Pfister, maka kita akan dihantarkan pada sosok yang berhasil
menjadi sinematografer film-film terbaik dunia. Di antaranya adalah Inception, dan trilogi The Dark Night, juga Memento.
Nama
Wally Pfister juga sangat lekat dengan film yang berjudul Transcendence. Tapi, dalam film ini dia tidak berperan sebagai
sinematografer, melainkan sebagai sutradara. Transcendence kemudian mengawali debut Wally Pfister sebagai
sutradara.
***
Sejatinya,
kita memasuki sebuah Era di mana manusia sangat bergantung pada teknologi.
Sekiranya Transcendence adalah sebuah
film yang berupaya menggambarkan situasi demikian.
Mula-mula
film ini menampilkan suatu kondisi di mana manusia mengalami keterkaitan yang
erat pada teknologi: pengendara motor dan mobil mesti diatur oleh lampu lalu
lintas, beberapa orang nampak sedang memperbaiki komputer, seorang tentara
sedang melakukan pengamanan tentunya dengan bantuan teknologi militer.
Di
situ kita lihat suatu kehidupan manusia yang keberlangsungannya sangat
ditentukan oleh teknologi: bahkan keyboard yang rusak pun, dalam film ini, bisa
berguna untuk mengganjal pintu agar tidak bergerak. Inilah yang dimaksudkan
kebergantungan itu, saat manusia mengatasi hidupnya dengan bantuan teknologi.
Kisah
pertautan antara manusia dan teknologi dalam Transcendence berlanjut pada cerita antara dua ilmuan, Will dan
Evelyn Caster. Keduanya sebagai pasangan
suami-istri, sepasang kekasih, yang memiliki ambisi besar dalam mengembangkan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence: selanjutnya disingkat, AI).
Jika
hendak didefinisikan, AI adalah suatu konsep yang menerangkan bagaimana mesin
memiliki kecerdasan selayaknya manusia. Kalau dalam perspektif Evelyin, dalam
suatu kuliah umum pengembangan AI, mesin cerdas akan memungkinkan kita
menaklukkan sebagian besar tantangan. Bukan hanya menyembuhkan penyakit,
dakunya, tapi juga menuntaskan kemiskinan dan kelaparan, untuk menyembuhkan
planet ini, dan membangun masa depan yang lebih baik bagi umat manusia.
Tak
ada yang menduga, kuliah umum pengembangan AI akhirnya menjadi mala bagi Will.
Ia ditembak oleh para pemberontak, suatu kelompok yang dalam film ini dianggap
anti-teknologi. Pelurunya beracun, dan membuat Will sekarat, sehingga dia
divonis akan meninggal dalam waktu yang singkat.
Mengetahui
bahwa hidup Will tinggal sebentar lagi, Evelyn, berupaya mengaplikasikan percobaan
duplikasi kecerdasan yang pernah dikembangkan oleh Will, dengan mengujicobanya
pada suaminya sendiri.
Dengan
cara meng-upload kesadaran Will ke
mesin komputer bernama PINN, akhirnya mesin cerdas itu tercipta, dengan kesadaran
Will sebagai pengontrolnya. Will akhirnya tetap hidup melalui rekayasa
teknologi komputer. Namun dia sudah tidak lagi hidup dalam tubuh organisnya,
melainkan hidup dalam dunia digital.
Hikayat kebergantungan manusia terhadap
teknologi menuai puncaknya dalam film ini, saat Evelyn membangun laboratorium
untuk teknologi PINN bekerja. Penemuan-penemuan ditemukan oleh mesin cerdas
itu.
Pada
mulanya penemuan-penemuan yang tercipta bertujuan untuk membantu umat manusia, dan
efek positifnya memang sangat terasa: teknomogi menjadi penyelamat hidup
seseorang. Namun implikasi yang laten mulai muncul dipermukaan. Suatu implikasi
yang akhirnya menjadi polemik dalam film ini.
***
Tentu,
teknik rekayasa komputer dan kemampuan AI dalam Transcendence hanyalah fiksi belaka. Tapi melalui film ini, ada ihwal
yang menjadi insight pada kita semua.
Bahwa teknologi, dalam beberapa hal, kerap memegang kendali atas kehidupan
manusia.
Kontrol
teknologi pada akhirnya membawa manusia pada kondisi kebergantungan terhadap
mesin. Di situasi seperti itu, manusia menemukan dirinya bertaut pada dua efek
yang dihasilkan teknologi: teknologi memberi manfaat sekaligus petaka bagi
hidup manusia.
Dalam
film ini, dampak-dampak teknologi bisa kita saksikan saat teknologi PINN mulai
bekerja melalui duplikasi kesadaran Will. Komputer akhirnya tak hanya sebatas
mesin yang dapat berpikir, melihat dan mendengar, melainkan juga bisa
mengembangkan dirinya sendiri, dan mengembangkan suatu nanoteknologi yang
dirancang untuk membuat materi kecil berskala nano.
Teknologi-nano
kemudian dipergunakan untuk memengaruhi sifat fisikal, kimiawi, dan bilogis
dari suatu hal. Sehingga mesin cerdas tersebut bisa menyembuhkan orang-orang
sakit, cacat, bahkan yang buta sejak lahir sekalipun, melalui rekayasa
nanoteknologi.
Orang-orang
sangat merasakan manfaat kemajuan teknologi yang dicipta oleh PINN. Tapi,
situasi demikian sekaligus menciptakan kebergantungan manusia terhadap
teknologi. Orang-orang akhirnya menginginkan kesembuhan praktis, dan
satu-persatu mendatangi laboratorium komputer di mana mesin cerdas itu
bermukim.
Kebergantungan
terhadap instrumen teknologi menciptakan kondisi pengontrolan mesin terhadap
manusia. Manusia akhirnya menjadi budak-budak mesin, tatkala ia sudah terikat
olehnya. Dalam film ini bisa kita lihat bagaimana mesin cerdas itu dapat
mengontrol setiap pikiran dan tindakan orang-orang yang sudah ditanami sel
induk buatan hasil aplikasi nanoteknologi.
Dalam
dunia keseharian kita, sebagaimana yang digambarkan dalam Transendence, teknologi memiliki dampak yang signifikan bagi
kehidupan manusia. Melalui teknologi, jarak geografis bisa di atasi, komunikasi
jarak jauh bisa dimungkinkan, rutinitas manusia begitu dimudahkan. Tapi tanpa
sadar, semakin manusia bergantung pada teknologi, semakin teknologi mengontrol
sendi-sendi kehidupan manusia.
Televisi
kian hari kian mengubah pola pikir dan sikap manusia. Dan sekiranya tidak
lengkap hidup ini jika tak mengoperasikan smartphone
dan internet. Manusia akhirnya semakin sulit terlepas dari genggaman
teknologi. Manusia kian dikendalikan oleh ciptaannya sendiri.
Kebergantungan
terhadap teknologi bukan hanya berdampak pada persona setiap orang, tapi juga pada organisme hidup. Max dalam sebuah
dialognya bersama Evelyn, mengenai penyebaran partikel yang dibuat oleh Will
dan mesin cerdasnya, mengatakan “Partikel bergabung dengan arus udara, yang
membawa mereka keseluruh permukaan planet. Ke langit, ke dalam tanah, ke dalam
air, ke mana-mana. Musim panas datang, dan kita berpikir mesin dapat membungkus
seluruh planet.” Evelyn bertanya, “Mengapa?” Max kemudian menjawab “Akhir dari
kehidupan organik primitif.”
Max
sebenarnya menyinggung aplikasi teknologi hari ini. Teknologi, dalam banyak
hal, menjadi ancaman bagi kelestarian organisme hidup. Pencemaran air laut oleh
limbah industri dan polusi akibat kendaraan bermotor—untuk menyebut dua
contoh—adalah ancaman berbahaya bagi kelangsungan kehidupan organis, baik itu
tumbuhan, binatang dan manusia sekalipun. Planet bumi yang dibungkus sepenuhnya
oleh teknologi, membawa mala bagi kelestarian kosmos itu sendiri.
Jika
mau dibilang, gagasan-gagasan dalam Transcendence
sebenarnya sudah pernah diejewantahkan, misalnya, dalam The Matrix atau I Robot. Bahkan, gagasan-gagasan dalam The Matrix masih lebih mutakhir
ketimbang apa yang diutarakan dalam Transcendece.
Tapi, dalam hal merawat ide mengenai implikasi teknologi, sekiranya film
seperti Transcendece masih
dibutuhkan.
Masyarakat
hari ini membutuhkan edukasi mengenai dampak-dampak teknologi, agar masyarakat
bisa semakin berhati-hati dalam penggunaannya. Sekiranya film adalah salah satu
medio untuk mengutarakan berbagai gagasan yang progresif.
Komentar
Posting Komentar