Lilin Merah di Belakang Rumah Tetangga
Awalnya, saat pertama kali melihat fenomena itu saya tidak mempersoalkannya. Sebab saya berpikir, waktu itu yang membakar lilin pasti mahasiswa penghuni indekos yang tepat berada di depan Bunker. Memang, jika hari sudah gelap, mereka sering tongkrong tepat di belakang rumah tetanggaku untuk sekadar bercakap-cakap dan bermain gitar sambil menyanyi bersama. Maka dari situ saya berpikir, “Oh, pasti itu anak-anak kos ka.” Begitu. Karena mungkin lilin itu berfungsi sebagai penerang. Tapi beberapa hari setelahnya dan sampai hari ini nyala lilin merah selalu saja tampak, meskipun tidak ada kerumunan anak muda di situ. Hal ini membuatku kerap bertanya-tanya.
Sempat saya berpikir bahwa lilin merah itu semacam mistik. Mungkin metode pemanggilan jin, atau ritual mengubah wujud menjadi babi ngepet, atau ritual untuk bisa menyuruh tuyul, atau semacam syarat agar doti-doti menjadi mungkin dilakukan. Entahlah. Maklum saja jika berbagai spekulasi berseliweran di pikiranku. Sebab saya ini adalah orang yang tidak memiliki banyak pengalaman kebudayaan. Tapi, mencoba untuk berprasangka baik. Saya kemudian menolak imajinasi mistik seperti itu, dan mencari tahu yang sebenarnya.
Akhirnya saya berkonsultasi via Blackberry Massenger (BBM) dengan salah seorang senior saya, yang bisa dibilang tahu banyak tentang kebudayaan dan mistisisme. Namanya Sabara Nururddin. Dengan menyodorkan beberapa pertanyaan tentang fenomena ganjil tersebut—setidaknya menurutku—dan jawaban yang ia urai memang mengarah pada hal yang bersifat mistis, tapi di luar dari apa yang saya bayangkan. Ia menjawab bahwa itu adalah sara’, semacam metode menolak bala, atau mengusir roh jahat. Melalui jawaban itu, saya hanya berkata dalam hati, Oh. sesingkat itu.
Selang beberapa menit kemudian saya kembali berpikir, masih ada juga yah orang yang percaya metode yang rada-rada takhayul itu. Persoalannya adalah fenomena itu justru muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat kota. Saya pikir, masyarakat kota, dengan segala implikasi modernnya, cenderung rasional. Mungkin inilah yang disebut sebuah peralihan zaman dari modern ke posmodern. Di mana praktek kebudayaan sudah mengarah pada situasi yang hybrid. Yakni bertemunya dua kebudayaan yang bertentangan pada suatu kondisi sosial tertentu.
Tapi, It’s okay. Itu adalah hal yang lumrah dalam imajinasi kebudayaan Bugis-Makassar. Dalam pernikahan ala Bugis-Makassar saja misalnya, tidak lengkap jika tidak ada kalonji. Yakni lilin berwarna merah berjumlah tujuh atau sembilang batang. Artinya lilin merah—atau lilin warna apapun—sudah menjadi bagian dari ritus dalam praktik kultural masyarakat Bugis-Makassar. Bahkan tak hanya dalam masyarakat Bugis-Makassar saja. Dalam praktik kebudayaan di beberapa negara, lilin punya makna spritual dan mistik yang sangat dalam. Kita ambil contoh dalam masyarakat Tionghoa. Di sana, lilin sudah menjadi hal yang wajib disuguhkan dalam persembahyangan. Bahkan lilin menurut kebudayaan Tionghoa memberi efek panjang umur, murah rezeki, mudah jodoh, jika dinyalakan dalam ritus persembahyangan.
Tapi di sini, bukan kebudayaan bakar lilinnya, juga segala ritus di dalamnya yang saya mau persoalkan. Mungkin saya bisa terima jika itu adalah salah satu dari semesta kebudayaan kita. Tapi yang saya persoalkan adalah kesadaran orang-orang yang menganggap bencana dan kesialan itu bisa diusir dengan begitu mudah. Hanya membakar lilin, dan mungkin setelah itu membaca beberapa mantra, kita bisa menolak bala? Hal ini sebenarnya beda-beda tipis dengan kepercayaan orang-orang yang sangat yakin bahwa hanya dengan berdoa, bisa mendatangkan segala keberuntungan dan keselamatan.
Bukannya bermaksud mengatakan bahwa berdoa itu tidak penting. Tapi yang saya ketahui, doa harus dibarengi dengan usaha. Misalnya, dengan segala bacaan doa yang diresapi, Anda melulu minta kesejahteraan hidup pada Tuhan. Permintaan kita pastinya susah diwujudkan jika tidak dibarengi usaha. Sebab saya pikir, Tuhan mesti melihat seberapa jauh usaha umatnya sebelum mengabulkan doanya.
Nah, begitupun juga dengan situasi yang saya persoalkan ini. Hanya melakukan ritual lilin, lantas sudah percaya diri kalau hidupnya terbebas dari sial dan bahaya. Anda boleh saja membakar lilin. 100 lilin sehari juga tidak ada masalah kalau memang betah. Tapi catat, marabahaya itu bukan perkara yang remeh-temeh. Ia rumit dan mengancam. Justru karena itu disebut marabahaya, sebab ia mendatangkan sial, bahaya, dan saking rumitnya ia kerap tak bisa diprediksi. Maka ia harus dihindari dengan mengurangi dampak buruk kehidupan melalui usaha, bukan cuma lilin saja. Yah, mungkin dengan memperbaiki pola hidup, atau selalu waspada dalam situasi apapun atau yang lainnya.
Tapi terlepas dari itu semua, di satu sisi, ada hal yang saya tangkap dari fenomena tersebut. Bahwa sejatinya manusia, bahkan sampai pada level parasnya yang jumawa dan sok berkuasa, selalu sadar akan kelemahannya. Maka manusia akan selalu mengatasi kerapuhannya dengan segala macam cara, baik cara rasional maupun yang tidak rasional. Sampai di sini, manusia pada akhirnya selalu mendambakan hidup abadi, sadar atau tidak sadar. Ketika manusia mencoba menyembuhkan penyakit misalnya, atau mencoba meminjam kekuatan gaib untuk menjauhi petaka, maka sebenarnya manusia selalu ingin hidup dalam keabadian. Walaupun sebenarnya kita tahu bahwa suatu saat maut akan merenggut hidup kita. Sejatinya lilin merah itu akan habis dilahap api. Hidup juga demikian.
wah bagus sekali kak blognya
BalasHapuspromo rabu rawit axis