Asal-usul Imajinitas Manusia: Sebuah Penghampiran Epistemologi





I

Pertama-tama, yang perlu saya luruskan dalam tulisan ini adalah makna imajinitas. Suatu kata/konsep yang digunakan menjadi suatu tema sebagai persoalan yang diangkat dalam naskah ini. Sebenarnya imajinitas terdiri dari dua kata: imajinasi dan –itas. Secara umum imajinasi adalah suatu proses dalam membentuk atau membuat gambaran mental berdasarkan pada data-data empiris yang ditangkap oleh indera manusia. Sedangkan  –itas, jika merujuk pada kamus besar bahasa indonesia,  adalah sufiks pembentuk nomina yang maknanya berupa kualitas, keadaan dan tingkat dari sesuatu yang diterangkan. Jadi maksud imajinitas di sini adalah kualitas, keadaan dan tingkat imajinasi manusia.

Maka apa yang ingin diangkat dari tulisan ini adalah tentang urutan-urutan peristiwa yang menerangkan keadaan imajinasi manusia dalam membentuk pengetahuan, serta melihat kualitas dan tingkatan imajinasi manusia dari masa ke masa. Sehingga dari sini, kita bisa melihat perkembangan dan perbedaan konstruksi pengetahuan manusia berdasarkan pada keadaan imajinasi. Sekaligus tulisan ini akan mengangkat seberapa penting imajinasi dalam konstruksi pengetahuan manusia.

II

Diperkirakan, manusia sudah hidup pada masa 2 sampai 1 juta tahun yang lalu, dan kita sebut zaman prasejarah. Para arkeolog kemudian mengklasifikasikan kehidupan manusia prasejarah dengan melihat corak produksinya, baik produksi benda-benda maupun produksi makanannya. Maka dilihat dari corak produksi benda-benda, manusia waktu itu dibagi dalam dua periode: zaman batu, di mana benda-benda yang dihasilkan masih menggunakan material batu, dan zaman logam, dimana benda-benda yang di hasilkan sudah menggunakan teknik pengolahan logam. 

Sedangkan dilihat dari corak produksi makanannya, manusia waktu itu dibagi dalam tiga periode: zaman berburu dan mengumpulkan makanan, di mana manusia waktu itu hidup berpindah-pindah, sehingga kelangsungan hidupnya harus diatasi dengan berburu dan mengumpulkan makanan. Dan  zaman bercocok tanam, di mana manusia waktu itu sudah mengalami tingkat kehidupan yang maju. Manusia sudah hidup menetap dan berkelompok, sehingga dari sini, manusia sudah mampu mengelolah makanan dengan cara bercocok tanam dan beternak. Sedangkan zaman perundagian, di mana manusia waktu itu sudah menggunakan teknik produksi makanan yang lebih mutakhir, karena sudah mampu menggukan perkakas yang terbuat dari logam.

Apa yang saya mau jelaskan di sini, dalam rentang kehidupan manusia purba waktu itu, sangat sulit membayangkan produksi material dan bahan makanan jika sebelumnya tak dilangsungkan kegiatan mental. Kapak dan cangkul yang terbuat dari batu sebagai alat berburu dan bercocok tanam, serta gerabah yang digunakan untuk menyimpan bahan makanan, adalah tanda-tanda dari kemampuan imajinasi komunal primitif dalam merancang alat-alat kehidupannya.  Dari sini bisa kita perkirakan, bahwa  alam semesta yang dihadapinya menjadi sebuah acuan pengalaman, sehingga imajinasinya bekerja untuk mengkonstruksi data-data pengalaman, dan dieksternalisasi dalam bentuk benda kongkrit.Sehingga disimpulkan bahwa kerja-kerja imajinatif, juga eksternalisasi konstruksi mental sudah dimulai sejak manusia hidup dalam jutaan tahun yang lalu.

Kemudian manusia berevolusi, dan turut mengubah corak berpikirnya. Alam semesta yang dihuninya dibayangkan sebagai suatu kosmos yang menyimpan kekuatan yang sangat dasyat, dan membawa kecemasan, juga ketakutan. Manusia akhirnya tumbuh dengan menyadari fitrahnya sebagai mahluk yang tunduk pada yang gaib: manusia-manusia mitologis. Di sini, imajinasi manusia sudah bisa membayangkan sebuah realitas diluar dari tapal batas pengalaman kesehariannya. Realitas yang dirasa lebih tinggi dan perkasa.

Manusia akhirnya merancang sebuah alam pikir, tentang adanya sebuah daya yang tepermanai, dan mesti disembah sebagai langkah menuju keselamatan. Sehingga ditunjuklah pohon-pohon yang dianggap keramat, dan merancang imajinasi tentang dewa-dewi, dan dibuat patung penyembahannya, sebagai medium penghubung pada yang gaib.

Dari sini kita melihat bahwa ada perkembangan pola pikir manusia, yang awalnya hanya menyusun pengetahuan tentang bagaimana cara hidup, ke pemahaman yang lebih komples tentang mengapa manusia hidup. Sebuah evolusi pemahaman yang akan memberi penjelasan pada manusia bahwa alam semesta dan seisinya adalah hasil kreativitas yang kuasa, dan manusia hidup untuk menyembahnya. Sejatinya, keseluruhan itu dimulai dari imajinasi akan tatanan realitas. Sehingga, melalui konstruksi dan asosiasi imasinatif perihal apa yang telah dialami manusia membentuk pengertian baru tentang realitas. Yang pada mulanya, realitas hanya dipahami sebagai  tatanan yang mengondisikan cara hidup, menjadi sesuatu yang dipahami sebagai wujud manifestasi dari yang kuasa. Itu karena ada konstruksi imajinasi yang baru tentang dunia sebagai representasi objek yang menjadi landasan untuk menemukan makna baru mengenai dunia.

Penjelasannya adalah begini: setiap orang mengalami dunia sehari-hari. Dari sini pengalaman dimungkinkan, dan menjadi data empiris yang kemudian dibentuk oleh fakulsas imajinasi menjadi gambaran mental. Sedang, gambaran mental suatu saat menjadi tatanan objek epistemologi untuk merumuskan makna, membentuk konsep, dan melahirkan pengetahuan baru yang nantinya menjadi rumusan kebudayaan jika dieksternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Aristoteles menyebut strukur epistemologi demikian sebagai abstraksi, yakni melepaskan sifat-sifat individual dari realitas dan menyusunnya menjadi kesatuan konsep. Konsep ini kemudian akan melahirkan makna dan pengetahuan baru, yang sejatinya, konsep, makna dan pengetahuan baru itu selalu bermula dari tatanan imajiner yang disusun oleh imajinitas manusia.

Dari sini kita bisa jelaskan perubahan-perubahan pola pikir dan rujukan-rujukan epistemologi manusia. Di mana itu semua berkembang karena adanya perkembangan imajinasi. Evolusi imajinasi manusia membawanya pada sebuah kondisi kreatif dalam membentuk dunia khayal yang lebih kompleks, sehingga manusia bisa memikirkan yang bahkan belum pernah terpikirkan sebelumnya. dan finalitas hasil pemikiran manusia selalu ditentukan objek-objek imajinalnya. Karena, telah kita ketahui bahwa objek pengetahuan manusia—tanpa bermaksud menggeneralisasi— selalu bermula dari representasi imajinal yang dibentuk oleh tatanan mentalnya.

 Pada manusia prasejarah, dihadapannya hanyalah tatanan ekstensi yang terpisah-pisah. Batu adalah batu dan kayu adalah kayu. Tapi kemampuan imajinasinya bisa mengasosiasikan dua pengalamannya menjadi sesuatu yang baru: kapak batu. Kapak batu inilah yang dikhayalkan dan dipikirkan sebagai benda yang berfungsi memotong. Sehingga pemahaman ini di eksternalisasikan menjadi alat kehidupan. Sama halnya ketika manusia mengonsepsikan tentang adanya yang lebih dashyat dari jagat ini, dan menjadi pencipta dan penguasa. Itu karena pengalaman kesehariannya membentuk sebuah imajinasi tentang daya yang maha dashyat itu, mungkin melalui pengalamannya mengenai badai, petir gempa bumi. Sehingga dari pengalamannya ini, menjadi dasar empirik untuk membayangkan suatu kekuatan gaib, dan melahirkan konsepsi yang baru tentang kosmologi.

III

Manusia sejatinya tak pernah puas. Begitulah, dalam tataran epistemologi manusia selalu ingin tahu yang sebenar-benarnya tentang hakikat kenyataan yang ia huni. Itu karena lambat laun, manusia mulai memeriksa keyakinan-keyakinan terdahulu, dan juga diperantarai oleh pengalaman-pengalaman yang berbeda atas kenyataan. Di Yunani, kita akan melihat potret perubahan besar dalam sejarah manusia. Kebudayaan berkembang, dan ilmu pengetahuan turut berkembang. Itu dimulai dari sebuah penyingkapan baru atas hakikat realitas, yang kemudian diikuti oleh perkembangan pengetahuan, dan diikuti pula oleh perkembangan peradaban.

Pada mulanya, mitos tentang dewa-dewa, yang dulunya dipercayai sebagai asal-usul alam semesta, mulai diperiksa validitasnya. Sebab waktu itu, memang konsep akan yang gaib ditemukan melalui penjelajahan epistemik. Tapi kemudian menjadi dogma, dan diyakini sebagai finalitas atas jawaban akan misteri alam semesta. Di sini akhirnya terjadi gugatan. Orang-orang yang menggugat menelusuri sendiri hakikat alam semesta dengan kemampuan rasio yang sebelumnya tak terpikirkan, bahkan mungkin diabaikan: investigasi logis akal budi. Kita mengenal mereka sebagai filsuf. Dengan ini para filsuf, semisal Thales, Anaximandros, Anaxagoras, dst, merenungkan kembali imajinasi kosmologi, dan menelaah beberapa di antaranya yang dianggap logis, dan bisa dipertanggungjawabkan secara argumentatif. Maka di tangan para filsuf bayangan mengenai asal-usul alam semesta dianggap benar sejauh ia bisa dipertanggungjawabkan secara logis-argumentatif.

Sejauh kita masih menerima bahwa imajinasi adalah perantara antara kenyataan dan pengetahuan manusia, maka konsep-konsep filsafat yang digagas oleh para filsuf yunani antik selalu adalah pahaman yang dibangun melalui penelusuran terhadap objek-objek imajinal. Tapi objek imajinal mesti ditelusuri secara logis agar membentuk pengetahuan yang valid mengenai hakikat segala sesuatu.

Sampai di sini, bisa kita simpulkan bahwa sampai pada tataran teori-teori filsafat, imajinasi selalu menjadi cikal bakalnya. Bahkan, imajinasi selalu menjadi inspirasi dari lahirnya konsep-konsep rumit filsafat.  Susah untuk membayangkan lahirnya konsep distingtif mengenai realitas hakiki dan non hakiki, antara doxa dan episteme dalam pemikiran Plato, jika sebelumnya ia tidak merumuskannya melalui imajinasi antara manusia dan bayangannya dalam ruang remang-remang gua; mitos gua. Dan bisakah Sokrates menemukan meutika tekne jika sebelumnya ia tidak melakukan penghampiran teoritik melalui imajinasi tentang cara kerja seorang bidan?

Bahkan bisa dibilang, peranan imajinasi sangat penting dalam penemuan ide-ide filsafat. Jika kita anggapkan filsafat berurusan pada hal yang bersifat spekulatif, itu karena objek teoritik filsafat adalah perihal metafisika dan hakikat.  Sementara keduanya tidak memiliki referensi di alam kenyataan, meskipun inspirasi mengenai adanya metafisika dan hakikat dimulai dari membayangkan kenyataan empiris. Jika seperti itu adanya, maka terlebih dahulu keduanya mesti dibayangkan sebagai sebuah objek secara imajinal, sehingga investigasi logis tentangnya menjadi mungkin.

IV

Ada saat di mana manusia memilah-milah pengetahuan berdasarkan distingsi antara fakta dan fiksi, antara pengetahuan berdasarkan dunia empiris dan dunia antah berantah. Tipologi pengetahuan seperti itu hadir, bersamaan dengan kategorisasi pengetahuan ilmiah dan non ilmiah. Pengetahuan ilmiah dalam hal ini, pengetahuan yang dirumuskan berdasarkan pada ketepatan objektif dan faktual. Sehingga pengetahuan yang non ilmiah sudah pasti adalah pengetahuan yang bersumber dari jelajah objek yang fiktif, yang hanya diasalkan oleh konstruk imajiner belaka. Maka ia dianggap spekulatif. Kategorisasi demikian akhirnya menjadi penegas yang mana pengetahuan yang benar dan pengetahuan yang salah. Hal ini bermula sejak berkembangnya sains dalam aras peradaban modern.

Modernitas akhirnya menjadi tanda “kelahiran baru” manusia, yakni perubahan radikal atas kesadaran mengenai alam semesta. Pernah perubahan kesadaran itu terjadi, seperti penjelasan terdahulu, saat nalar mitologis manusia berubah menjadi nalar filosofis yang cenderung rasional. Tapi yang radikal dalam kesadaran modern adalah saat manusia membayangkan dunia empiris ini sebagai satu-satunya kenyataan. Itu berbeda dengan—merujuk pada tipologi masyarakat Comte— masyarakat teologis yang yakin akan mitos mengenai yang maha gaib, dan masyarakat metafisik, yang yakin mengenai adanya realitas tertinggi yang non materil yang bisa dijelaskan secara logis dan argumentatif.

Itulah sebabnya, sains menjadi rujukan utama ilmu pengetahuan  di zaman modern. Sebab ia adalah epistemologi yang berurusan dengan dunia empiris, dan sesuai dengan trend kesadaran yang berkembang waktu itu.  Di satu sisi, hal demikian sangat penting. Sebab, dengan kemajuan sains, turut berimplikasi pada penemuan-penemuan teknologi yang menjadi cikal bakal perkembangan pesat peradaban modern. Tapi di sisi lain, terjadi krisis epistemologi. Sebab, trend metafisika dalam filsafat, dan semesta teologi dalam khasana pengetahuan manusia mitologis, juga masyarakat agamais abad pertengahan, dituding sebagai fiksi, dan tak lebih sebagai prasangka subjektif saja. Nah, krisis epistemologinya adalah, saat pengetahuan hanya mungkin jika ia memiliki dasar objektif: ia mesti punya fakta. Sehingga di sini, terjadi penyusutan atas semesta objek ilmu-ilmu, dan berimplikasi atas terpinggirkannya sebagian khasanah pemikiran dan keyakinan yang pernah berkembang.

Radikalisasi ilmu pengetahuan menuai puncaknya pada positivisme Comte. Dari sini, pengetahuan indrawi, khususnya ilmu-ilmu alam menjadi satu-satunya norma dalam kegiatan pengetahuan. [1] Dalam kata ‘positif’ bukan hanya temuat prinsip normatif, bahwa pengetahuan kita hendaknya tidak melampaui fakta objektif, melainkan juga tampak dalam usaha penghancuran subjek yang berpikir dengan prinsip keras, bahwa pengetahuan kita peroleh dengan menyalin fakta objektif.[2]

Akhirnya paparan di atas kian memperjelas, bahwa distingsi fakta dan fiksi adalah sebuah pemisahan yang ekstrim yang dilakukan oleh ilmu-ilmu empiris. Yakni sejauh pengetahuan melampaui fakta objektif, maka ia tak lebih dari fiksi belaka. Dan fiksi selalu terkait dengan dunia rekaan, yang dibuat-buat oleh daya imajinasi. Implikasi demikian semakin terasa saat ilmu yang dibangun melalui daya murni imajinasi, semisal sastra dan seni, menjadi inferior di lingkungan ilmu-ilmu empiris, dan akhirnya tidak lebih penting dibandingkan fakta bahwa kambing makan rumput. Untuk menjembatani persoalan ini, perlu kiranya memperjelas makna “fiksi” yang selama ini dipahami sebagai dunia rekaan.

Ignas Kleden pernah melakukan redefenisi mengenai fiksi dalam salah satu artikelnya, untuk memberi pengertian ulang terhadap fiksi yang selama ini disempitkan artinya.[3] Sebenarnya fiksi berasal dari bahasa latin, yakni fictio: sesuatu yang dikonstruksikan, ditemukan, dibuat atau dibuat-buat. Dalam arti ini, jika fiksi memiliki unsur khayalan, maka khayalan di sana tidak menekankan segi non realnya tapi segi konstruktifnya, segi inventif dan segi kreatifnya.[4]

Apa yang bisa kita tangkap dari definisi di atas, bahwa betapapun berlainannya dunia fiksi ini dari dunia sehari-hari, dunia fiksi tak mungkin terbentuk dari rujukan dunia sehari-hari. Dunia fiksi terbentuk karena beberapa segi dari dunia sehari-hari sengaja dihilangkan, diubah bentuknya, atau didistorsikan. Itulah mengapa, asosiasi fiksi lebih pada segi konstruksi, penemuan dan membuat.[5] Konstruksi, penemuan dan pembuatan melalui rujukan data pengalaman dalam fiksi terjadi melalui kerja-kerja imajinasi. Maka sebenarnya imajinasi sangat penting, bahkan sebagai medium utama dalam penemuan dunia fiksi. Tapi karena itu, imajinasi selalu dituduh yang bertanggung jawab atas kepercayaan orang-orang terhadap dunia non material yang dianggap rekaan , oleh sebab imajinasi memiliki kedudukan penting dalam menciptakan dunia fiktif. 

Jika filsuf membayangkan adanya suatu dunia nonmaterial (metafisika), hal demikian sebenarnya tidak akan terjadi jika unsur-unsur dunia keseharian tidak dijadikan referensi dan bahan baku. Meskipun sebenarnya kita masih bisa mendiskusikan, apakah metafisika bisa disamakan dengan  dunia fiksi atau memang memiliki ontologi rilnya. Cuma dari situ, filsuf berhasil melakukan investigasi rasional untuk membuktikan keberadaan metafisika sebagai sebuah realitas yang berdiri sendiri di atas realitas empiris.

Ilmu-ilmu empiris, jika mau dibilang, beberapa di antaranya lahir dari fiksi (fictio) tertentu. Hal ini menjadi dasar, bahwa sebagai sebuah epistemologi, sains mau tak mau akan berurusan dengan tatanan imajiner dalam mengonstruksi teori-teori rumit. Teori heliosentris yang ditemukan oleh Copernikus sejatinya bermula dari rahim imajinasi. Itu ketika ia membayangkan gerak bintang-bintang yang kadang dekat kadang menjauh. Melalui itu, ia menyimpulkan sebuah teori bahwa bumi justru mengelilingi matahari. Sebuah teori yang lahir tidak melalui pengalaman langsung dari pengamatan rotasi bumi, tapi melalui imajinasi mengenai benda-benda langit lainnya; bintang-bintang. 

Einistein misalnya, melahirkan teori relativitas melalui rumus E=mc2 dengan membayangkan dirinya berlari disamping pancaran cahaya, dengan kecepatan cahaya. Di situ, ada sebuah fiksi yang dibangun oleh Einstein, sehingga melalui itu, ia akhirnya memecahkan sebuah teori fisika yang kemudian sangat terkenal dalam dunia sains. Barangkali itulah sebabnya Einstein pernah berkata: pengetahuan terbatas,sedangkan imajinasi seluas langit dan Bumi.

Fakta di atas sebenarnya adalah hal yang mengejutkan, saat ilmu-ilmu empiris berupaya kembali pada fakta objektif itu sendiri. Sebab, yang ditemukan dalam contoh di atas, teori ilmiah justru hadir tidak dalam rangka menyalin fakta objektif—sesuai ambisi positivisme—tapi melalui data pengalaman lainnya yang dikonstruksi secara imajiner menjadi sebuah fiksi, dan kemudian diambil sebagai rujukan untuk menemukan pemecahan dari persoalan yang diangkat. Begitupun dengan ambisi ilmu-ilmu empiris yang berusaha memberi batas subjektivitas dalam menelaah objek fisik, sesungguhnya justru tak lepas dari peran-peran subjektifitas (daya imajinatif) dalam merumuskan teori ilmiah.

Catatan: Naskah ini adalah manuskrip awal yang dibuat sebagai bahan diskusi pada kuliah umum di Komunitas Pojok Bunker. Sebagai Narasi awal, tulisan ini masih perlu ditinjau dan didiskusikan lebih lanjut.



[1] F. Budi hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan problem Modernitas. Jogjakarta: Kanisius, 2003, hlm. 53

[2] Ibid

[3] Anda bisa melihat penghampiran teoritik Ignas kleden mengenai fakta dan fiksi dalam artikelnya yang pernah dimuat di Jurnal Kalam edisi 11 Tahun 1998 dengan judul Fakta dan Fiksi tentang Fakta dan Fiksi: Imajinasi dalam Sastra dan Ilmu Sosial. Anda juga bisa menemukannya di buku terbitannya yang berjudul Sastra Indonesia dalam Enam pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya.

[4] Ignas Kleden, Fakta dan Fiksi tentang Fakta dan Fiksi: Imajinasi dalam Sastra dan Ilmu Sosial, dalam Jurnal Kalam Edisi 11 Tahun 1998, hlm: 14

[5] Ibid, hlm: 18

Komentar

Populer Sepekan