Analisis Film The Kite Runner dalam Dua Pernyataan dan Dua Pertanyaan





Selalu ada yang cacat dibalik yang damai. Begitulah apa yang digambarkan The Kite Runner,  film yang disutradarai oleh Marc Foster. Mula-mula Film ini, yang diangkat dari novel Khaled Hosseini, menampilkan kenyataan yang begitu harmonis di Afghanistan. Anak-anak bermain layang-layang dengan lincah, juga bahagia. Orang tua turut menyaksikan kebahagiaan itu, dan ikut tenggelam di dalamnya. Tapi di sana, karakter orang-orang yang bengis, dan kenyataan sosial yang boyak, punya wujudnya masing-masing. Segala yang kejam dan tak seimbang terlihat begitu kompleks: kepengecutan, dengki, rasisme, penjajahan, ekstrimisme, kaya dan miskin, tuan dan budak, terekam dengan apik dalam film epik tersebut.

Amir dan Hassan kemudian menjadi tokoh utama yang menjembatani cacat itu muncul dipermukaan. Hassan yang sangat dicintai oleh Baba—ayah Amir— membuat Amir menyimpan iri dan kedengkian dibalik kekerabatannya pada Hassan, meskipun Hassan mempersembahkan dirinya menjadi pelayan yang setia.  Hingga alur cerita kedua tokoh tersebut turut menampilkan potret horor selanjutnya. Yakni ketika Hassan dikeroyok dan  disodomi oleh Assef yang memang menyimpan dendam dan sikap rasial dengannya.

Dalam film tersebut,  kejadiannya bermula saat Hassan pergi mengambil layang-layang milik pesain Amir yang putus. Assef dan dua orang temannya menghampiri Hassan dan penyiksaan pun tak dak dapat terhindarkan. Kemudian, yang malang dalam peristiwa tersebut adalah rasisme yang mengakar dalam pribadi Assef yang seorang Pasthun. Yakni bagaimana ia melihat Hassan sebagai manusia rendahan karena ras yang dimilikinya; Hazara. Di Afghanistan, ras Hazara memang di anggap sebagai minoritas, rendahan dan dihuni oleh orang-orang syiah. Sedangkan Pasthun dianggap ras tertinggi, terhormat dan dihuni oleh mayoritas Sunni.

Sebenarnya Amir waktu itu turut menyaksikannya di kejauhan. Namun ia tak cukup nyali untuk menyelamatkan Hassan. Tapi problemnya tak hanya nyali yang kering. Kedengkiannya dengan Hassan saya pikir menjadi alasan lainnya. Di mana-mana, Kedengkian membuat seseorang tak  memiliki alasan untuk menolong yang dibenci, meskipun ia kerap memperoleh kebaikan hati padanya. Pun, kedengkian membuat seseorang harus menyingkirkan yang dibenci, seperti yang dilakukan Amir  kemudian hari. Akibat fitnah dari Amir,  Hassan dan ayahnya, Ali,  memilih untuk mengakhiri karirnya sebagai pelayan rumah Amir, dan menyisakan kesedihan  bagi Baba yang sangat menghormati pelayannya.

Baba sebenarnya punya kesalahan masa lalu, yang menyadarkannya untuk mesti berbuat baik dan menghormati pelayannya. Hassan adalah anak haram hasil perbuatan senono Baba kepada istri Ali. Tapi kemudian hari penyesalan itu muncul, dan akhirnya mulai menganggap Hassan seperti anaknya sendiri, dan menghargai Ali secara manusiawi.

Di situ kita lihat sebuah upaya Baba untuk memperbaiki kepribadiannya. Hal ini kemudian menular dalam diri Amir saat ia beranjak dewasa, dengan mencoba menyelamatkan anak Hassan yang diperbudak oleh Assef, yang waktu itu menjadi misionaris Taliban[1], dan merawatnya, sebagai balas jasa atas perbuatan baik Hassan yang waktu itu telah mati ditembak oleh ekstrimis Taliban.

***
The Kite Runner sebenarnya ingin menampilkan setidaknya dua hal:

Pertama, ragam macam sifat manusia yang cacat. Sifat yang akhirnya membawa mala bagi orang lain, dan kita sebut sebagai keburukan.  Yang cacat akhirnya akan selalu memiliki celah untuk tumbuh, bahkan pada orang yang sebenarnya baik. Lantas, adakah seseorang yang tanpa cacat? Ini sebenarnya pertanyaan rumit, sebab kita tahu manusia adalah mahluk yang selalu kurang. Tapi jika kita bertanya, adakah manusia yang dengan sungguh-sungguh menghidupi dirinya dengan nurani, dan sebisa mungkin mengurangi cacat dalam dirinya? Film ini menjawab, ada.

Dialah Hassan. Seorang  yang dalam film ini sebagai perwujudan pribadi yang berusaha hidup dengan limpahan kebaikan. Seseorang yang berusaha setia, melindungi, memperjuangkan yang benar, santun, bahkan tak ada niat mencelakai temannya sendiri. Seseorang yang amat langka di antara melimpahnya manusia-manusia yang nuraninya telah melenceng. Dan dunia yang kita huni sekarang berada pada situasi seperti ini, di mana yang manusiawi menjadi perkara yang sedikit di antara banyaknya orang-orang yang belajar menjadi keji.

Tapi kita tahu, jika keburukan itu selalu mungkin, maka kebaikan juga demikian. Setiap orang bisa sadar akan kesalahan-kesalahannya, dan tergerak untuk menebusnya. Sekiranya Amir dan ayahnya, Baba, termasuk di dalamnya. Sehingga sekelumit ciri manusia yang digambarkan dalam film ini, memberi suatu insight pada kita semua, bahwa manusia selalu adalah mahluk dua sisi: baik dan buruk.

Masih Soal kebaikan dan keburukan. Ada saat di mana keduanya menjadi tak sederhana. Film ini juga menggambarkan betapa rumitnya perkara moralitas. Sebab saya sendiri setelah menonton film ini, diterka berbagai macam pertanyaan. Yakni soal pemilik panti asuhan saat penguasaan Afganistan di tangan para Taliban. Bagaimana jika ia memberi makan terhadap banyak anak panti, dengan uang hasil penjualan satu anak panti untuk diperlakukan dengan hina oleh para Taliban? Apakah ini bisa dihitung sebagai kebaikan? Lantas, bagaimana para Taliban menghukumi pasangan haram dengan cara melempari batu sampai mati, dan mereka anggap itu syariat? Apakah peristiwa demikian juga bisa dihitung sebagai sebuah fenomena kebaikan? Anda bisa menjawabnya sendiri. Tapi Kedua pertanyaan ini akan saya singgung di pembahasan selanjutnya.

Kedua, soal kehidupan sosial yang cacat. Kita bisa lihat konteks Afghanistan waktu itu, yang masih ditelikung oleh rasisme. Peristiwa antara Assef dan Hassan adalah suatu gambaran umumnya. Kejadian itu seketika mengingatkan kita akan situasi manusia hari ini, yang kerap terjebak pada kesadaran rasisme. Sehingga dari sini, tak sedikit menyebabkan diskriminasi terhadap derajat kemanusiaan, dan penindasan pun tak dapat ditampik. Sejarah masa lalu merekam, beberapa kejahatan kemanusiaan selalu bermula dari narsisme rasial suatu kelompok, sehingga menganggap ras lain lebih hina, dan pantas untuk dilenyapkan. Dan saya pikir, film ini berupaya merekam satu sisi dari dunia yang retak; rasisme sebagai sebuah kejahatan.

Tapi tak hanya itu. Ekstrimisme kemudian mewabah saat Taliban menguasai Afghanistan, dan saya pikir ada sebuah konteks sosial yang menjadi keresahan kita bersama. Yakni, saat agama dijadikan legitimasi bagi kekerasan. Hal demikian sekaligus menyinggung pertanyaan kedua di atas. Sebab moralitas justru ditegakkan melalui petaka agama, dan ini yang kita sebut kebaikan? Soalnya sekali lagi, ini rumit. Di satu sisi agama harus mengatur apa yang baik untuk ummat. Tapi di sisi lain, agama justru menjadi mala bagi hidup seseorang. Maka sebenarnya kita patut curiga, apakah kaum ekstrimis-religius memang benar-benar menegakkan kemurnian agama, ataukah agama justru dimanfaatkan untuk kepentingan politik?

Selain itu, penguasaan Taliban, melalui gambaran film ini, menyajikan situasi sosial yang menyedihkan. Orang-orang harus hidup susah, bahkan dengan menjual kakinya untuk menyambung nyawa. Ini petanda kemakmuran meranggas di bumi Afghanistan saat kelompok tersebut menduduki wilayah Afghanistan. Dan orang-orang justru merasakan siksa dan kehilangan. Bayangkan ketika banyak bocah yang sejak dini menjadi yatim akibat kehilangan orang tuanya, dan harus diungsikan di panti asuhan. Di sini sekaligus menyinggung pertanyaan pertama yang belum sempat dijawab. Tentang dilema pemilik panti yang bertanggung jawab atas kemaslahatan banyak orang. Sebab, kemaslahatan mereka mesti ditukar dengan satu kebebasan seorang bocah yang direnggut oleh para Taliban. Dan, apakah kita masih anggap tindakannya juga sebagai kebaikan?

Soal ini, kita akan dihantarkan pada kehidupan orang-orang yang dihimpit oleh situasi sosial yang bancuh. Banyak orang akhirnya hanya memiliki sedikit pilihan untuk memperbaiki yang boyak dalam hidupnya. Sudah banyak kasus yang kita temui di mana seorang ibu terpaksa menjadikan anaknya sebagai pemulung dan pengemis untuk bertahan hidup. Sebab, ia hidup dalam situasi sosial, di mana yang ada hanyalah sejumput pilihan yang buruk untuk memperpanjang nyawa. Mungkin kita anggap hal demikian buruk, dan dalam konteks pemilik panti, pun demikian.

Tapi bisakah kita salahkan mereka yang terpaksa memilih kemungkinan buruk itu? Sebab dalam konteks itu, situasi sosial-lah yang justru menghendaki mereka bertindak demikian. Mereka hanya terpaksa, itu saja.  Maka dalam situasi seperti ini, banyak orang yang menganggap permasalahan hidup selalu ditentukan oleh kehidupan sosialnya. Dan kehidupan sosial yang retak, selalu adalah desain dari sistem yang berkuasa. Seperti dalam film ini, sistem yang berkuasa adalah ekstrimisme-religius, yang akhirnya menambah retak dalam hidup bermasyarakat, dan orang-orang akhirnya terjebak dalam pilihan hidup yang didesain oleh yang berkuasa. Dan, sekali lagi, apakah kita harus menyalahkan pemilik panti asuhan di masa itu? Aku hanya bertanya, sebab ini rumit. []


[1] Taliban adalah gerakan nasionalis Islam Sunni pendukung Pasthun yang secara efektif  menguasai hampir seluruh wilayah Afganistan sejak 1996 sampai 2001. Kelompok Taliban dibentuk pada sebtember 1994, mendapat dukungan dari Amerika Serikat dan Pakistan. Dewan keamanan PBB mengecam tindakan kelompok ini karena kejahatannya terhadap warga negara Iran dan Afghanistan (Lihat: wikipedia).

Komentar

Posting Komentar

Populer Sepekan