The Lady: Suu Kyi, Hikayat Kekerasan Negara dan Perjuangan Kemanusiaan

Seseorang akan bebas dan akan
selalu sehijau kemarau
Seseorang akan bebas dan
sehitam asam musim hujan
Seseorang akan bebas dan akan
lari atau letih
Dan langit akan sedikit dan
bintang beralih
Dan antara tiang tujuh bendera
dan pucuk pucat pagoda
Seseorang akan bebas dan sorga
akan tak ada
Tapi barangkali seseorang akan
bebas dan memandangi tandan yang terjulai
Tandan di pohon saputangan,
tandan di tebing jalan ke Mandalay
(Aung San Suu Kyi, Goenawan Mohamad)
I
Tahun 1988 adalah masa yang mencekam
bagi Myanmar (Burma). Pembantaian demonstran
sudah menjadi tontonan yang biasa. Seperti manusia dianggap hanya daging dan
tulang belaka oleh penguasa. Hingga bau mesiu, juga amis darah, menjadi hal yang
lazim dihirup. Tapi tak ada gentar bagi kaum oposisi, bagaimana pun rezim
militer—kekuatan politik yang berkuasa waktu itu—mencoba memberangusnya. Hingga
Aparatus represif negara mengerahkan seluruh kemampuan terbaiknya untuk
membungkam mereka.
Hari berganti hari. Perlawanan terus
dilangsungkan demi cita-cita demokrasi. Tembakan senapan sudah selalu siap
menghadangnya. Hingga Tanah Burma lautan darah. Tanah Burma kemudian hari
menjadi kuburan bagi 3.000 jiwa para demonstran. Tapi, masa-masa selanjutnya, tak ada yang sangka jika rezim yang jumawa itu
justru mendapatkan perlawanan yang hebat dari seorang perempuan: Aung San Suu Kyi.
Dia hadir seperti membawa kabar baik dari langit.
Pada mulanya, dia meninggalkan
keluarganya di Oxford, Inggris, untuk menjenguk Ibunya yang sakit. Kepulangannya
justru membuka hatinya, saat matanya melihat dengan jelas cucuran darah dan air mata dari para pejuang
kebebasan. Hingga akhirnya dia terpanggil dalam pergumulan politik. Seperti
semangat juang ayahnya, Aung San[1],
mengalir deras pada nuraninya. Perempuan jelita itu menggalang kekuatan
oposisi, dan menjadi gerakan yang membuat cemas rezim militer yang sudah
bercokol di Myanmar selama 54 tahun.
II
Peristiwa di atas kemudian hari
di-film-kan dengan judul, The Lady. Film karya Luc Besson itu menggambarkan sebuah
kronik kehidupan politik yang kejam di Myanmar. Tentang bagaimana negara yang
dikuasai oleh rezim militer, menjadi mala bagi kebebasan orang-orang. Kebebasan
akhirnya menjadi “barang” yang langka. Setiap perbedaan paham menjadi beku di
hadapan kekuasaan. Dengan kekuatan militer, setiap orang dikendalikan seperti
robot, hingga orang-orang harus menerima kepatuhan absolut. Pemerintahan
militer hadir, justru hanya melanjutkan penjajah selanjutnya setelah Inggris,
dan memperlebar liang luka yang belum sempat mengering.
Tapi dari sini kiranya pekik kebebasan,
juga keadilan, menggema di mulut orang-orang yang percaya akan kekuatan
keberanian. Beberapa upaya telah dilakukan oleh gerakan oposisi, dengan
beberapa rencana: Menghegemoni setiap masyarakat untuk menolak rezim yang
berkuasa. Di samping itu, para aktivis membuat
gerakan politik tandingan. Hal ini dilakukan untuk mendukung ide-ide
demokrasi, agar pemilu bisa dilaksanakan, dan rezim yang berkuasa diganti oleh
mandat rakyat. Lakon perlawanan itu kemudian dipimpin oleh Aung San Suu Kyi
Suu Kyi—begitulah dia dipanggil—menjadi
tokoh utama dalam film ini. Seseorang yang dalam sejarah dikenal sebagai sosok
yang memimpin perjuangan demokrasi di Myanmar, sejak tahun 1988. Hingga dengan
ini, dia menerima hadiah nobel perdamaian. Bisa dibilang, Suu Kyi adalah sejumput
masa depan. Ia hadir sebagai persona yang
memperjuangkan kepentingan semua orang. Jika kebebasan itu penting, juga nasib
orang-orang yang tertindas, maka perjuangan seperti itu kiranya menjadi perihal
yang luhur.
Kita bisa bayangkan, bagaimana seorang
ibu rumah tangga harus meninggalkan urusan keluarga demi kepentingan banyak
orang. Ia, seorang perempuan yang memutuskan untuk keluar dari kehidupan privat
yang serba aman, menuju gegap gempita kehidupan politik yang berbahaya. Suatu
pilihan yang tak biasa bagi seorang perempuan yang hidup dalam zona nyaman.
Pilihan Suu Kyi adalah penggambaran
akan suatu hal sebenarnya: sikap politiknya adalah sebuah tamsil, bahwa
perjuangan itu harus bebas dari segala kategori kepentingan privat. Perjuangan yang
sebenarnya adalah keberanian untuk berkorban. Itu artinya, Suu Kyi berusaha bergerak
dalam tindakan politis untuk orang bayak, politik sebagai pembebasan, meski
harus mengorbankan segala.
Kita akhirnya bisa memahami, Bahwa Suu
Kyi adalah sebuah gema resistensi. Bahwa ia hadir sebagai bentuk perlawanan
politik yang mapan. Suatu politik totalitarian yang berupaya menutup ruang
kebebasan publik untuk kepentingan sepihak (baca:penguasa). Dalam The Lady, Perjuangan Suu Kyi bermula
dari pembentukan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD)[2].
NLD didirikan bersama elemen masyarakat
yang lain, dari akademisi, sampai massa pelajar, yang sejak mula sudah
melancarkan protes terhadap kelaliman penguasa. Saya pikir, di sinilah
perjuangan itu nampak indah. Ketika massa pelajar menjadi kekuatan utama untuk
melabrak tembok kekuasaan. Dan akademisi, yang selama ini hanya menari di jagad
teoritik, dipaksa turun oleh situasi
yang sudah sengkarut, menjadi bara yang memantik kritisisme.
Kita akan menyaksikan kenyataan yang
berbeda hari ini. Sungguh para akademisi, yang dulunya adalah jargon perubahan,
sekarang lagi asik menikmati menara gading kekuasaannya. Jagad pengetahuan
dikuasai, ekspresi kebebasan mahasiswa turut dikuasai, sembari kongkalikong
dengan kapitalisme untuk merubah paras universitas, menjadi sekadar kampus
komersial. Dan mahasiswa sekarang, kian tumpul taringnya. Bahkan demonstrasi
terlihat menyedihkan, saat kawanan mahasiswa hari ini senang menjual gerakan. Dan
lagi-lagi, perjuangan itu selalu hanya untuk kepentingan privat semata.
Pada akhirnya, perjuangan era Suu Kyi
adalah suara orang-orang yang percaya akan kekuatan solidaritas dalam
menghadapi situasi politik yang bobrok. Di mana-mana, revolusi memang adalah
sejarah perjuangan yang solid. Revolusi meletus karena gerakan kolektif setiap
elemen masyarakat. Dan saya kira, itu yang coba dibangun oleh Suu Kyi. Apalagi
waktu itu, Suu Kyi punya modal sosial dalam menarik simpati massa: dia adalah
darah daging pahlawan nasional, Aung San, yang menjadi tonggak utama perjuangan
melawan penjajahan Inggris.
III
Suu Kyi pastinya sudah tahu, melawan
totalitarianisme itu tidak mudah. NLD yang dimotorinya, akhirnya mendapatkan
perlawanan yang serius dari pemerintahan militer yang digawangi oleh Than Shwe.
Saya kira, The Lady dirancang tak
hanya menggambarkan kehidupan politik Suu Kyi, tapi bagaimana totalitarianisme
bekerja. Totalitarianisme sendiri digambarkan Arendt— pemikir politik asal
Jerman—sebagai kondisi di mana keseluruhan hidup manusia dideterminasi secara
hampir tak terbatas oleh negara, sehingga penghapusan total atas segi kebebasan
manusia menjadi tak terhindarkan. Totalitarianisme melegalkan kekerasan, teror,
dan pembumihangusan.[3]
The Lady, menceritakan
kehidupan politik negara persis seperti apa yang diungkapkan Arendt. Dalam film
ini, menggambarkan banyak adegan pembantaian dan penculikan aktivis yang pro-demokrasi.
Sehingga, bisa kita saksikan, ketika kediktatoran berkuasa, hidup dan mati
seseorang berada pada moncong senjata, juga di ruang pengap penjara. Suu Kyi sendiri
sudah merasakan intimidasi militer, saat pertama kali menggalang konsolidasi di
setiap basis masyarakat. Dan seterusnya, pembantaian dan penculikan menjadi
laku yang menyedihkan untuk menghentikan perlawanan Suu Kyi dan teman
seperjuangannya. Sampai Suu Kyi harus menerima nasib, menjadi tahanan rumah
selama 15 tahun.
Begitulah ketika sistem totalitarian
bekerja. Guna mempertahankan status quo,
berbagai paham yang berkembang harus disingkirkan, dan derajat kebebasan
individu ditekan. Sehingga orang-orang tak memiliki wewenang untuk menyuarakan
kritik, ataupun solusi terbaik untuk kemajuan bangsa. Sebab, sistem
totalitarian menghendaki narasi tunggal kekuasaan
selalu ajeg. Maka tak heran, jika dalam sistem totalitarian, kekuasaan mutlak
kepala negara menjadi hal yang utama; diktator.
Lantas, jika nasib seseorang berada di
tangan besi pemerintah, untuk apa Suu Kyi memperjuangkan kebebasan? Toh, suatu
waktu, nyawanya bisa saja terancam? Itulah yang saya katakan sebelumnya, Suu
Kyi memaknai perjuangan adalah pengborbanan itu sendiri. Dan yang paling penting
adalah soal kemanusiaan. Suu Kyi sendiri menyaksikan secara langsung, bagaimana
penderitaan orang-orang yang dibantai, dan kebebasan orang-orang direnggut.
Kemanusiaan dan kebebasan menurutnya
bisa diselamatkan, jika demokrasi menjadi sistem pemerintahan. Itulah mengapa,
Suu Kyi harus berpeluh-darah untuk melengserkan rezim totalitarian, dan menggantinya
dengan sistem demokrasi. Dari pemerintahan militer, menuju pemerintahan sipil. Dari
negara yang dikuasai partai tunggal, menuju negara yang multi-partai. Dalam hal
ini kepentingan bersama adalah segala-galanya.
Untuk mewujudkan demokrasi, perjuangan
yang ditempuh Suu Kyi benar-benar tidak mudah. Coba bayangkan, jika perlawanan
terhadap sistem totalitarian ditempuh dengan damai, tanpa kekerasan, apakah itu
mungkin? Tapi Suu Kyi di masa itu, memang harus dibaca sebagai persona yang
sebenar-benarnya anti-totalitarian. Ketika totalitarianisme harus ditolak, maka
perjuangan pun harus bersih dari laku totalitarian. Saya kira, begitulah Suu
Kyi dalam bersikap: melawan tanpa harus mengangkat senjata.
Siapa sangka jika konsep berjuang tanpa
kekerasan itu menular di ruang megah pagoda, tempat biksu mengasingkan diri
dari hiruk pikuk. Beberapa tahun setelahnya, 2007 tepatnya—saat Suu Kyi masih
dalam tahanan rumah—Kawanan biksu keluar dari ruang soliternya, dan turut serta
melakukan aksi damai menolak pemerintahan militer.[4]
Di sini bisa kita saksikan, Agama yang melulu urusan langit, melesat turun ke
dunia empiris, melabrak tapal batas antara yang teologi dan yang sosiologis.
Buddha tetiba revolusioner. Fenomena ini kian menggambarkan, bahwa kemanusiaan
adalah perkara yang universal. Bukan hanya urusan kau dan dia, tapi urusan
semua orang.
IV
Tahun ini, 2016. Suu Kyi sudah berusia
70 tahun. Suatu keberuntungan baginya, saat ia masih sempat melihat hasil
perjuangannya. Sebab di tahun ini, Myanmar murni dipimpin oleh sipil. Htin
Kyaw, seorang penulis, juga politikus, yang diusung oleh partai NLD, berhasil
memenangkan pemilu 2015 yang lalu. Demokrasi berjalan hikmat, tanpa intimidasi,
tanpa kekerasan. Ini adalah buah kesabaran Suu Kyi dan elemen masyarakat yang
pro-demokrasi dalam perjuangannya melawan dominasi militer. Jalan damai
perjuangan itu akhirnya tidak sia-sia.
Tapi, zaman berubah. Pun setiap orang
bisa berubah, tak terkecuali Suu Kyi. Kita bisa lihat satu sisi kepribadian Suu
Kyi saat ini yang bisa dibilang, contradictio
in terminis. Rasisme merasuki jiwanya, dan sempat dituding anti-muslim[5].
Bagaimana pun juga, anti-keberagaman adalah sikap yang justru menghianati
cita-cita demokrasi yang selama ini diperjuangkannya. Bahkan, tak ada beda
dengan sikap totalitarian yang ditolaknya sendiri.
Idealisme memang bisa buyar. Tapi
apakah Suu Kyi memang kehilangan etosnya sebagai seorang republikan? Hanya
waktu yang akan menjawabnya. Toh, demokrasi baru saja megar di tanah Burma. Maka
zaman akan menjawabnya sendiri, sebagaimana zaman telah menunjukkan paras
pejuang reformasi di Indonesia, yang sedang asik menikmati kekuasaannya jauh di
seberang carut-marut Negara.
[1] Aung San atau Jenderal Aung San
adalah seorang revolusioner nasionalis, jenderal, dan politisi Burma. Dia
adalah salah satu yang membantu usaha kemerdekaan Burma. Ia dibunuh pada enam
bulan sebelum Burma merdeka (dikutip dari Wikipedia).
Dalam The Lady, Aung San menjadi sosok yang pertama ditampilkan, saat ia
dibunuh oleh lawan politiknya.
[2] Liga Nasional Untuk Demokrasi
(NLD) kemudian hari menjadi salah satu partai terkuat di Myanmar.
[3] Agus Sudibyo. 2012. Politik
Otentik: Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt. Marjin Kiri. Hal.
15
[4] Aksi para biksu Buddha ini
kemudian hari dikenal sebagai Revolusi Saffron. Revolusi Saffron merujuk pada
warna-warna jubah para biksu Buddha, yang dengan gagah berani menggelar aksi
protes besar-besaran, pada 2007, menentang kebijakan anti demokrasi junta
militer. Lihat: Viva.co.id/22/05/15,
Peran Sentral Biksu di Myanmar. Dalam The
Lady, peristiwa demikan ikut diangkat di akhir cerita.
[5] Pernah suatu ketika Suu Kyi
diwawancarai oleh wartawan muslim BBC, Mishal Husain. Dalam wawancara itu
Mishal Husain mengajukan beberapa pertanyaan kepada Suu Kyi, agar Suu Kyi
mengecam tindakan antimuslim di Myanmar. Tapi dia menolak menjawab pertanyaan
wartawan tersebut. Dia bahkan sempat menggerutu soal ketidaktahuannya
diwawancarai oleh wartawan muslim. Hal ini baru terungkap saat Peter Pophan
menulisnya dalam buku terbarunya, The
Lady and The Generals: Aung San Suu Kyi and Burma’s Struggle for Freedoms.
Lihat: Tempo.co/26/03/16, Suu Kyi
Ternyata Pernah Marah Diwawancara BBC Soal Muslim.
Komentar
Posting Komentar