Suatu Ketika Sebelum Jenazah Tiba

Seorang lelaki paruh baya terus saja
menggali kubur, meski dia tahu terik matahari kian membakar raga. Baginya,
menggali kubur sama halnya memperpanjang hidup. Jika tak menggali, tak akan
mendapatkan sepeser pun uang. Tak ada uang, tak bisa melanjutkan hidup.
Begitulah kira-kira. Bahkan jika udara sepanas bara, tak akan membuatnya berhenti
menggali.
Hingga liang kubur telah jadi, duduk
lemas di balai bambu menjadi pilihannya, sembari menunggu jenazah yang hendak
dikuburkan. Rasa lelah melilitnya. Air minum dihabiskannya dengan satu tegukan,
saking kehausannya.
Di sela-sela peristirahatannya, dia
kemudian memikirkan jenazah itu, yang katanya berasal dari Makassar. Rasanya
lucu menurutnya. Mengapa jenazah itu jauh-jauh didatangkan ke pemakaman Kelurahan
Samalewa, Pangkep, hanya karena sebuah mimpi? Padahal di Makassar, pemakaman
begitu banyaknya.
Dia mengetahuinya dari seorang kerabat jenazah.
Randi namanya. Dia juga yang memintanya untuk menggali kubur. Kata Randi, saat
kematiannya sudah dekat, oleh karena kanker otak, jenazah yang berkelamin
perempuan itu pernah bermimpi sebagai putri raja dari Kerajaan Siang, yang
pernah berjaya di tanah Pangkep. Maka saat meregang nyawa, dia meminta untuk
dikuburkan di sekitar daerah di mana Kerajaan Siang pernah berdiri, jika suatu
saat dia telah meninggal.
Mendengar permintaan itu, oran tuanya
tak bisa mengelak, meskipun terdengar konyol. Dia adalah anak semata
wayang, dan sangat dicintai oleh orangtuanya. Ayah dan ibunya pun menuruti permintaan terakhirnya, sebagai tanda
kecintaan padanya. Sehingga disuruhlah Randi untuk mencari pemakaman di dekat
lokasi Kerajaan, pasca kematiannya. Sebab, kebetulan dia beraktifitas di
Pangkep, sebagai Asisstant Management
di PT. Semen Tonasa. Hingga ditemukan
suatu pekuburan di Kelurahan Samalewa, Pangkep. Suatu daerah di mana Kerajaan
Siang pernah berdiri. Begitulah cerita yang didengar si penggali kubur itu,
yang kerap dipanggil Daeng Bolla.
Di zaman ini, masih saja ada orang yang
percaya pada mimpi, pikirnya, sembari menikmati pisang goreng dan kopi hangat
yang dibuatnya sendiri. Selang beberapa menit, tetiba dia mengingat anak semata
wayangnya, yang sudah 15 tahun tidak dilihatnya pasca isterinya lari dari rumah.
“Semoga anakku belum menjadi mayat,” tuturnya sambil menghadapkan wajahnya ke liang kubur.
“Semoga anakku belum menjadi mayat,” tuturnya sambil menghadapkan wajahnya ke liang kubur.
Daeng Bolla langsung berpikir, betapa
dia dan orangtua jenazah perempuan itu senasib. Sama-sama kehilangan buah
hatinya, meskipun peristiwa yang dialaminya berbeda. Bahkan 15 tahun belumlah
waktu yang cukup untuk melupakan anaknya, yang juga seorang perempuan. Ini
wajar saja sebenarnya. Anaknya lahir sebagai sebuah anugerah yang sangat besar,
saat sepuluh tahun lamanya tidak memiliki momongan. Bahkan dia dan istrinya,
Laikang, sempat pasrah, dan menganggap diri sebagai keluarga yang tidak
beruntung.
Tapi, saat mengetahui Laikang hamil, kebahagiaan
langsung megar di hatinya. Suatu kebahagiaan yang tak pernah dirasakan
sebelumnya. Bahkan mungkin saja mengalahkan kebahagiaan orang yang mendapatkan
1 miliar rupiah secara cuma-cuma.
Ininnawa nama anaknya. Sebuah nama
indah yang diberikan langsung oleh Daeng Bolla. Dia membelikan pakaian dan
selimut yang mahal, membelikan makanan bayi yang bermutu, pasca kelahiran
Ininnawa, meskipun upah yang didapatkan sebagai penggali kubur tidaklah
seberapa. Tapi upah yang tak seberapa
itulah yang menjadi masalah di kemudian hari. Laikang selalu mengeluh atas
kemiskinan yang menimpa keluarganya, dan kerap bertengkar dengan Daeng Bolla
hanya karena persoalan biaya hidup yang pas-pasan. Keadaan rumah yang lebih mirip sarang jin,
makan apa adanya, dan sekelumit
kesulitan hidup lainnya membuat Laikang tidak tahan. Bahkan, sebagaimana ibu rumah
tangga lainnya, Laikang kerap iri dengan tetangga yang bisa beli kipas angin
baru, lemari es yang baru, sedangkan keluarganya sendiri, untuk makan saja
susahnya bukan main.
Hingga hari terus berganti. Daeng Bolla
bahkan semakin kesulitan membelikan susu dan makanan bayi untuk Ininnawa. Bahkan
pernah suatu waktu, Laikang hanya memberikan air beras dengan campuran gula
pasir, kepada Ininnawa, sebagai
pengganti susu. Keadaan melarat semakin sulit diterima Laikang, dan membuatnya
lari dari rumah dengan membawa Ininnawa, yang saat itu masih berusia lima bulan.
Upaya pelarian dilakukan Laikang saat Daeng Bolla terlelap tidur. Istrinya
hanya meninggalkan secarik kertas yang bertuliskan kalimat pendek.
Tak usah mencariku, karena aku akan pergi
jauh. Aku sudah tidak tahan hidup melarat. Aku ditawari kerja menjadi TKI di
Malaysia, sebuah kehidupan baru menurutku, yang jauh lebih baik dibanding hidup
bersama penggali kubur.
***
“Kenapa menangis pak?” Randi yang datang membawa nisan, tetiba mengejutkan Daeng Bolla.
“Tidak apa-apa, mataku cuma kemasukan serangga,” kata Daeng Bolla sembari mengusap kedua matanya.
“Sebentar lagi jenazahnya sampai,” ucap Randi.
Daeng Bolla tak berucap sepatah kata pun.
Randi duduk di samping Daeng Bolla,
sembari menatapnya penuh heran. Suasana hening sejenak, mebiarkan desau angin
berirama di udara. Bagaimana pun, Daeng Bolla tak akan menceritakan sebab
sebenarnya dari kesedihan yang ditimpanya.
Hingga Randi memecah sunyi dengan mengajak Daeng Bolla bercengkrama,
perihal kehidupannya sebagai penggali kubur, hingga beberapa tema pembicaraan
yang lainnya.
Sembari Randi bercerita tentang
pekerjaannya sebagai Asisstant Management,
Daeng Bolla memperhatikan nisan yang dibawa oleh Randi. Dia menatapnya cukup
lama. Entah kenapa setelah itu, dia melontarkan beberapa pertanyaan.
“Siapa nama ibu perempuan yang hendak dikuburkan?”
“Mariam, Pak”
“Ibu tiri yah?”
“Bapak tahu dari mana?”
“Siapa nama ibu perempuan yang hendak dikuburkan?”
“Mariam, Pak”
“Ibu tiri yah?”
“Bapak tahu dari mana?”
Daeng Bolla kembali memperhatikan Nisan
itu, dengan tatapan yang penuh nanar, seperti ada tanda tanya besar yang
bersemayam dipikirannya. Antara keyakinan dan keraguan membentur tembok
hatinya, saat terus memikirkan nama perempuan yang tertulis di nisan itu:
Ininnawa. Lahir: 20 Januari 2001. Wafat: 03 Maret 2016.
Bertubi-tubi pertanyaan membentur
pikirannya. Bagaimana bisa jenazah itu, dari nama dan tanggal lahirnnya mirip
dengan anaknya? Apakah jenazah itu benar anaknya? kalau memang benar, mengapa
bisa di asuh Maryam? Lantas, di mana Laikang saat ini? Semuanya serba
teka-teki. Hingga Kedatangan jenazah itu memperjelas semuanya.
05 Agustus 2001
Belum juga waktu menunjukkan subuh, Maryam
dan suaminya, Surya, terbangun. Mereka mendengar suara pecahan kaca di kamarnya.
Suara pecahan kaca itu berasal dari jendela kamarnya, yang dihantam batu.
Mereka memperkirakan batu itu dilempar dari luar pagar rumahya, entah siapa.
Untuk mengetahui pelakunya, keduanya langsung keluar dari rumah melalui pintu
depan. Tapi, saat membuka pintu, mereka menemukan seorang bayi yang terbungkus
selimut, sedang tertidur lelap. Maryam menggendong, dan terus menatapnya. Surya
turut menatapnya. Keduanya masih dibalut
rasa heran.
Hingga Maryam memungut sepucuk kertas
yang tadinya terselip di bawah bayi. Dia membukanya, dan membaca surat itu
bersama suaminya.
Suatu kesyukuran jika bapak dan ibu berkenan merawat bayi
ini. Saya menyerahkan kepada bapak dan ibu agar bayi ini mendapat perawatan
yang baik hingga dia tumbuh besar menjadi perempuan yang cantik dan cerdas.
Jika bapak dan ibu memang berniat merawatnya, maka ada beberapa permintaan saya. Jika berkenan,
mohon bapak dan ibu tidak mengganti nama anak ini. Namanya Ininnawa. Biarlah
dia tumbuh besar dengan menyandang nama indah ini. Jika kelak Ininnawa hendak
dirayakan hari ulang tahunnya, maka bapak dan ibu bisa mengingatnya, bahwa dia
dilahirkan pada tanggal 20 Januari 2001. Yang terakhir, semoga bapak dan ibu
berkenang merawat Ininnawa.
Setelah membaca isi kertas itu,
terjadilah percakapan antara keduanya.
“Kita harus melaporkannya ke polisi, Sayang.” Ucap Surya.
“Jangan, kita rawat saja. Ini hadiah dari Tuhan, buat hambanya yang tidak bisa melahirkan anak.” Maryam menghadapkan wajahnya ke hadapan Surya, sembari tersenyum.
--------
Tulisan ini tayang di Harian Fajar edisi 29 Mei 2016
“Kita harus melaporkannya ke polisi, Sayang.” Ucap Surya.
“Jangan, kita rawat saja. Ini hadiah dari Tuhan, buat hambanya yang tidak bisa melahirkan anak.” Maryam menghadapkan wajahnya ke hadapan Surya, sembari tersenyum.
--------
Tulisan ini tayang di Harian Fajar edisi 29 Mei 2016
Komentar
Posting Komentar