Anak-anak dan Imajinasi yang Terancam




Albert Einstein pernah bilang, bahwa pengetahuan terbatas, sedangkan imajinasi seluas langit dan bumi. Mungkin sebab itu, seorang bocah mampu menggambar rumah aneh yang melampaui rumah objektif, pada suatu ketika di sebuah pantai. Saya menyaksikannya dengan takjub, rumah yang digambarnya memiliki kaki dan tangan. Itu artinya, imajinasinya membayangkan sebuah rumah, dengan keluar dari batas-batas pengetahuan umum manusia. Dan sementara ia menggambar, ia juga tertawa. Ada suatu pengalaman yang ia rasakan. Suatu perjalanan imajiner di mana hanya dia dan Tuhan yang tahu rasanya. Barangkali dalam ruang imajinasinya, ia sedang bermain-main dengan si manusia rumah itu. Entahlah.

Tapi di situ kita lihat suatu imajinasi yang begitu kompleks dari anak-anak. Imajinasi yang—mengutip HB Jassin— tak sekadar gagasan semata. Tapi kombinasi dari gagasan-gagasan, perasaan-perasaan, kenangan pengalaman, dan intuisi manusia. Maka, manusia rumah itu tak hanya sebatas gagasan rumah, tangan dan kaki belaka. Tapi, lebih dari itu. Ia juga suatu ekspresi kalbu yang padu bersama khayalan tanpa syarat. Begitu bebas, begitu eksistensial. Dan bukankah melalui kebebasan itu, anak-anak menemui jiwa kreatifnya? Bukankah manusia rumah itu sangat kreatif?

Begitulah, masa kanak-kanak memang adalah suatu periode pertumbuhan, di mana imajinasi seorang bocah berada pada level yang paling liar dan bebas. Dari situ akhirnya, anak-anak menemukan dirinya pada suatu pengalaman yang kreatif. Namun kita tahu, imajinasi luwes seperti itu hanya bisa mereka nikmati di dunia luar kelas: pada dinding rumah, pada pasir pantai, atau pada kulit punggung bapaknya. Hingga anak-anak memasuki dunia dalam kelas, imajinasinya hanya seluas ruang kubus  ukuran 7 m x 8 m.

Jika anak-anak diminta menggambar, maka objek yang harus digambar tak boleh keluar dari  apa yang diinginkan guru. Guru akan menulis di papan tulis: pemandangan, hewan, buah. Setelah itu mengatakan: silahkan pilih salah satunya anak-anak.  Imajinasi mereka akhirnya tak boleh mengingkari apa yang disediakan. Mungkin seperti menggambar kambing berkepala manusia, atau menggambar cacing yang sedang menonton televisi.

Toh, jika nanti anak-anak  disuruh menggambar bebas, pada akhirnya tak boleh keluar dari bayangan estetika di kepala sang guru. Mereka akan mendapatkan nilai 100 jika telah sesuai standar guru, 10 jika tidak sesuai ekspektasi, dan nol besar jika menggambar gurunya dengan dua taring.  Intinya, tidak ada dunia imajinatif yang mereka ciptakan sendiri. Tiap-tiap kreasi dipasung  oleh pilihan-pilihan dan otoritas guru.Yah, tidak jauh-jauh dari ruang pengap kelas.

Tapi ini belum seberapa kawan. Krisis imajinasi akan menuai puncaknya jika kelak anak-anak memasuki pendidikan menengah. Imajinasi kemudian menjadi the other. Ditekuk oleh narasi besar ilmu pasti. Hal demikian akan menjadi jelas, jika melihat kenyataan bahwa yang cerdas hanyalah mereka yang jago sains. Nah, perihal demikian akhirnya cukup berbahaya. Sebab akan berarti dua hal:

 Pertama, kematian dunia subjektif anak-anak,  di mana mereka secara kreatif menemukan dunia imajinernya. Sehingga, bercerita tentang siput yang mengalahkan kancil dalam suatu perlombaan lari, tak bermakna apa-apa ketimbang bercerita tentang gerak rotasi bumi. Dan gambar singa yang sedang membaca di dunia antah berantah, hanyalah suatu kekonyolan di banding fakta nyata bahwa kambing makan rumput.

Sejarah modern sebenarnya sudah memperlihatkan banyak kecenderungan demikian. Begitu ilmu pasti merajai panggung pengetahuan, kita tak bisa lagi berkata sebagaimana Einstein: pengetahuan terbatas. Tapi, pengetahuan membatasi. Pengetahuan menjadi tembok untuk memberi jarak antara fakta dan imajinasi, antara dunia objektif dan dunia subjektif. Dalam strukturalisme, oposisi biner seperti itu meminggirkan yang kedua.

Kedua,  ketika sejak mula anak-anak dipisahkan dari imajinasinya, sama halnya sejak mula kita merampas epistemologi yang menghargai perasaan, kenangan dan intuisi: suatu entitas jiwa yang kelak akan semakin diberangus oleh dunia orang dewasa, yang kompetitif, rasional dan realistis.

Maka, jika sejak masih anak-anak dunia imajinatif mulai pinggirkan, di mana lagi manusia bisa menghayati pengalaman, dan melihat dunia dengan cara yang berbeda? Kelak di masa dewasa, manusia akan berjalan dalam hidup yang rutin. Hingga manusia akan melihat dunia yang itu-itu saja, tanpa penghayatan. Hidup manusia tak ubahnya seperti sirkulasi mesin yang terus berulang-ulang, hingga kehidupan tidak lagi dihayati sebagai panggung ekspresi dan kebebasan: tak ada lagi gambar manusia rumah dan sang pembuat akan tertawa olehnya.

Untuk itu, biarkanlah manusia menikmati masa kanak-kanaknya. Sehingga manusia hidup di dunia dengan tetap merasakan nikmatnya kebebasan dan penghayatan. Setidaknya di dunia imajinasi anak-anak, manusia bisa menemukan itu.

Komentar

Posting Komentar

Populer Sepekan