Membaca Perilaku Guru a la Freire
Salah satu tugas pesepak bola di
lapangan hijau adalah menendang bola. Ini penting dalam sebuah permainan sepak
bola. Kalau tidak menendang bola, terus ngapain
dong? Tapi tulisan ini tidak untuk menyinggung banyak tentang pesepak bola,
tugas-tugasnya, dan segala ihwal yang terkait dengannya. Yang ingin saya sentil
adalah pertanyaan ini: bagaimana jika tugas seorang guru seperti pemain bola?
Maksudnya, apakah guru, dalam mengemban tugas-tugas pendidikannya, layak
menjadikan murid seperti ibarat bola? Jika pesepak bola menjadikan bola sebagai
objek yang diperlakukan sesuka hati, apakah seorang guru mesti seperti demikian
saat menghadapi murid?
Yang pasti, seorang murid jelas berbeda
dengan benda bulat bernama bola. Namun jejak-jejak kependidikan selalu merekam
sejarah objektifikasi murid, seperti selayaknya bola yang diobjaktifikasi oleh
pemain bola. Bayangkan saja jika laku pendidikan disusupi oleh karakter
meng-objek-kan murid, ngeri bukan? Murid diperlakukan semaunya, direpresi,
sebagaimana penjaga gawang melempar bola keras-keras saat kesal setelah
kebobolan.
Soal objektifikasi murid, Paulo Freire,
kritikus pendidikan asal Brazil, punya pendapat. Bahwa menurutnya, pendidikan
tak pernah lepas dari perilaku objektifikasi murid. Maksudnya, murid selalu diposisikan
sebagai objek, selayaknya benda-benda yang lainnya, termasuk bola. Jika bola
menjadi sasaran tendangan pesepak bola, Murid juga terkadang seperti itu. Dan ini
fakta yang tidak bisa terelakkan bos!
Bahwa dalam perjalanan kependidikan, selalu menyisakan peristiwa-peristiwa
tragis, di mana murid selalu menjadi sasaran represif, selayaknya benda-benda
mati yang diperlakukan semaunya.
Tapi, analisis Freire lebih menekankan
sisi politis dari objektifikasi murid. Bahwa menjadikan murid sebagai objek
selalu harus dicurigai sebagai tindak penguasaan terhadap murid oleh guru. Jika
guru memosisikan dirinya berada pada hirarki yang lebih tinggi ketimbang murid,
maka otomatis, guru secara tidak langsung menunjuk dirinya sendiri sebagai
subjek yang menguasai. Maka teranglah sudah hirarki kekuasaan dalam dunia
pendidikan, atau apa yang dimaksud oleh Freire sebagai hirarki subjek-objek. Dan
hirarki seperti itu, menurut Freire adalah suatu kondisi yang memiliki potensi besar
terhadap terjadinya laku penindasan.
Jika hirarki subjek-objek cenderung
polititis, maka kepentingan kekuasaan pastinya penyinggung banyak hal, tidak
hanya menyentuh ranah biologis (kekerasan fisik), tapi juga menyentuh ranah
sosiologis dan epistemologis. Misalnya, Freire mengamati guru kerap memegang
kendali terhadap hak-hak kebebasan murid, bahkan sampai hak-hak berpendapat.
Sebab, Freire melihat guru cenderung memosisikan dirinya lebih tahu ketimbang
murid yang dianggap tidak tahu apa-apa. Maka, tak ada guna jika murid
berpendapat atau melontarkan gagasan-gagasan kreatifnya, sebab apa yang
disampaikan tak lebih dari informasi yang keliru. Sebab, sekali lagi, murid
dianggap tidak tahu apa-apa. Sebab demikian adanya, maka tugas gurulah yang
melakukan transfer pengetahuan guna merancang kesadaran murid, terlepas dari
benar atau salah terhadap apa yang
disampaikan oleh guru.
Pada akhirnya, menurut Freire, murid
tak lebih dari “celengan”, atau yang lebih mutakhir lagi, seperti “rekening”,
di mana gurulah yang ditugaskan oleh negara untuk menabung. Dan setelah saatnya tiba, murid akan
diberdayakan atau dijadikan alat oleh negara, guna memapankan status quo.
Yang menarik dari analisis Freire atas
relasi kekuasan guru-murid, bahwa ada yang tidak beres perilaku guru yang kerap
memosisikan murid sebagai objek. Meminjam istilah Erich Fromm, karakter seperti
itu menurut Freire bisa disebut sebagai Nekrofilia. yakni sebuah hasrat untuk mengubah sesuatu yang
hidup menjadi sesuatu yang tak hidup, menghancurkan demi kehancuran itu
sendiri, ketertarikan khusus terhadap segala sesuatu yang murni mekanis. Artinya
siapapun yang memiliki karakter nekrofilia pasti tak peduli dengan harkat
manusia; buta hati.
Menarik, sepertinya perlu penambahan lagi pada saat proses endingnya, dengan kembali menyinggung keberadaan analogi bola yang digunakan sebagai pembuka tulisan. Dengan begitu isi tulisan bisa terasa seimbang dan makna pada paragraf awal tdk selesai bgtu saja.
BalasHapusSipp.... thx masukannya....
BalasHapus