Arendt Pasca Mengopi: Soal Kebebasan dan Ciri Politis Manusia



Pasca menghadiri undangan  mengopi dari Bahrul Amsal di salah satu warkop, sembari menjadi pemantik diskusi mengenai Hannah Arendt, (biar terdengar canggih, sebut saja undangan mengopi dari Bahrulamsal For Literacy), beberapa kawan bertanya melalui Facebook mengenai pemikir perempuan tersebut. Entah darimana mereka dapat info mengenai saya sebagai pemantik diskusi  soal Arendt. Mungkin undangan coffee break yang beredar di Facebook sebelum kegiatan, atau mungkin melalui ulasan Bahrul Amsal terkait hasil diskusi, terlepas dari itu semua, saya akan mengulas mengenai Arendt melalui tulisan ini untuk mereka-mereka yang bertanya-tanya, atau belum sempat menghadiri diskusi. Setidaknya melalui tulisan ini, saya berupaya menyajikan sketsa dasar pemikiran Arendt. Ingat, cuma sketsa dasar lho, oleh karena kemampuan saya yang terbatas dalam mengulas pemikiran Arendt yang super canggih itu.

Berdasarkan keterbatasan saya, maka pertama –tama, harus dipahami bahwa saya bukanlah seorang yang khatam betul mengenai pemikiran Arendt. Apa yang saya sampaikan melalui diskusi yang lalu, atau yang saya ulas melalui tulisan ini hanyalah berdasarkan pengetahuan yang hanya saya miliki dari membaca literatur-literatur yang amat sedikit. Maka dari itu apa yang saya pahami sudah pasti bukanlah representasi utuh pemikiran Arendt. Pun, dalam tulisan ini adalah penjabaran yang begitu ringkas dibanding dengan hasil tutur mengenai Arendt saat diskusi yang lalu. Dan ini yang penting: saya sangat merekomendasikan kepada teman-teman yang berminat mengetahui sketsa dasar pemikiran Arendt, bacalah buku Agus Sudibyo, Politik Otentik: Manusia dan kebebasan dalam pemikiran Arendt, meskipun lebih baik jika dilengkapi dengan memiliki buku Rieke Diah Pitaloka, Banalitas kekerasan: telaah pemikiran Hannah Arendt tentang kekerasan negara.


***

Bro dan Sist, jadi begini,  Arendt mesti diposisikan sebagai pemikir politik kontemporer. Oleh karena itu segenap pemikiran Arendt selalu berkaitan dengan konsep-konsepnya mengenai politik. Sementara, gugusan ide politik Arendt sendiri adalah hasil pergumulannya dengan kenyataan pahit yang di alami Jerman oleh rezim totaliter Nazi. Itulah sebabnya diskursus politik yang dirancang Arendt, untuk tidak bermaksud menyederhanakan pemikirannya, memang difokuskan untuk mengkritisi rezim totaliter Nazi dan totalitarianisme pada umumnya.

Yang dikritik Arendt dalam sistem totalitarianisme adalah praktik politiknya: kekerasan, penguasaan dan penyeragaman. Makna politik demikian bahkan kerap diberlakukan di setiap aspek kehidupan. Itulah mengapa, bagi Arendt, saat ini orang-orang telah terlanjur memahami politik sebagai laku kekerasan,  menguasai, dan menyeragamkan. Padahal menurutnya, ciri politik demikian adalah sebuah penyimpangan hakikat politik. Sebab, tindakan demikian sangat mencerminkan semangat memperjuangkan kepentingan pribadi, hal yang pastinya bersifat privat. Sementara segala kategori privat adalah anti politik yang sebenarnya.

Kita bisa mengambil sistem pemerintahan era Soeharto sebagai contoh nyata dalam sejarah politik Indonesia, berkaitan dengan penyimpangan hakikat politik (contoh ini dikemukakan Bahrul Amsal saat diskusi Arendt yang lalu). Sejak Soeharto menjabat sebagai presiden selama 32 tahun, ia diposisikan sebagai bapak pembangunan. Term “bapak” mengindikasikan bahwa Indonesia waktu itu disejajarkan dengan lingkungan keluarga besar di mana warga negara adalah anak-anaknya. Jika negara seperti sistem keluarga dan Soeharto adalah bapaknya, hal demikian sudah mengindikasikan bahwa politik pemerintahan waktu itu sudah menjurus pada ranah yang bersifat privat, di mana dalam keluarga, bapak sebagai kepala keluarga adalah sosok yang mengontrol anggota keluarganya secara individual. Dan dalam sejarah itu yang terjadi. Sistem pemerintahan akhirnya bersifat ototiter, totalitarian dan memberangus hak-hak kebebasan publik.

Maka untuk menjernihkan kembali politik yang sebenar-benarnya, Arendt lantas membalik pemahaman politik mainstream, dan mengemukakan bahwa makna politik yang betul adalah mengakomodasi kebebebasan, menghargai keberagaman, memahami bahwa setiap orang setara. Itulah mengapa politik hanya mungkin terjadi para ranah ruang publik. Oleh karena ruang publik saja yang memiliki ciri sebagai ruang kebebasan, ruang bersama dan ruang penampakan jatidiri dan identitas masing-masing. Hal ini berbeda ketika ruang publik diprivatisasi atas dasar kepentingan pribadi melalui kekerasan, penyeragaman dan penguasaan. Sebab, tindakan demikian sama halnya menepis kebebasan orang lain, tidak menghargai perbedaan, dan sesuai rumusan Arendt, hal demikian adalah suatu laku anti politik, dan menghilangkan hakikat ruang publik yang sebenarnya.

Lantas, bagaimana penghargaan akan kebebasan, keberagaman dan memosisikan setiap orang setara menjadi mungkin di ruang publik? Arendt menjawabnya, tindakan. Melalui tesis Arendt dalam The Human Condition, Agus Sudibyo menjelaskan beberapa hal mengenai hakikat tindakan. Yang dikatakan tindakan jika aktivitas di ruang publik berkorespondensi dengan fakta pluralitas manusia. Sebab, jika tidak seperti itu, maka menghargai kebebasan dan keberagaman tidak dimungkinkan terjadi di runang publik. Bahkan eksesnya, hanya memperlakukan ruang publik dalam kategori bersifat privat.

Pertanyaannya kemudian, mengapa harus menerima fakta pluralitas manusia dan menghargai keberagamannya? itu karena menurut Arendt, manusia itu unik. Justru Karena uniknya, manusia sejak mula memiliki identitas yang berbeda-beda antara satu dan yang lainnya, sesuai dengan “ke-lain-annya” masing-masing. Maka pertanyaan apa itu manusia adalah sebuah upaya epistemik yang mencederai keunikan setiap persona karena berusaha untuk menyeragamkan manusia berdasarkan satu rumusan definisi.  Sementara, mendekati manusia harus melalui pertanyaan siapa dia, agar penghargaan akan keunikan manusia bisa dimungkinkan.

Pun, yang dimaksud tindakan, selain paparan di atas adalah modus manusia menampakkan diri dihadapan manusia yang lain, semacam penyingkapan jatidiri dalam ranah hubungan antar manusia. Sebab dengan ini setiap individu akhirnya memiliki kesempatan untuk menggunakan hak kebebasannya dan  menyuarakan gagasannya melalui percakapan. Maka dari itu, berdasarkan pada rumusan tindakan a la Arendt,  menjadi manusia politik adalah membumikan tindakan dalam ruang publik.

Jika tindakan adalah suatu aktivitas, maka apa yang membedakan tindakan dan aktivitas manusia yang lainnya? Pertanyaan ini juga perlu dijawab agar batasan antara tindakan dan aktivitas lainnya menjadi jelas. Nah, Arendt merumuskan setidaknya ada tiga aktivitas inti manusia: kerja, karya dan tindakan. Kerja menurut Arendt tidak memiliki dimensi politis, sebab aktivitas demikian hanyalah difungsikan sekadar memenuhi kebutuhan biologis, dan  pastinya bersifat individual. Sebab ia hanya menjalankan mekanisme biologis maka orang yang bekerja sesungguhnya terdeterminasi oleh fungsi naturalistiknya. Dan orang yang terpenjara oleh mekanisme biologis-naturalistik, menurut Arendt adalah orang-orang yang tidak bebas, sedang yang tak bebas berarti tidak politis.

Karya juga tak ubahnya seperti kerja. Meskipun bergerak dalam penciptaan benda-benda artifisial, tapi karena terisolasi dalam mekanisme instrumentalistik, ia pastinya tidak memiliki dimensi politis. Maka menurut Arendt, hanya tindakanlah yang memiliki dimensi politis. Sebab ia adalah aktivitas yang membuat setiap individu berbaur dalam ruang publik bersama manusia yang lainnya. Melalui tindakan, setiap manusia bertemu, saling menampakkan diri, berdialog dan memecahkan persoalan bersama.

Syahdan, puncak dari tindakan politis adalah sebuah kejadian-kejadian yang tak terduga, tak terpikirkan, seperti kita telah memulai sesuatu yang baru. Sebab tindakan memang selalu menuai ekses, yakni melabrak tapal batas ketidakmungkinan dalam ruang sosial yang sudah dirancang dengan sistem dan tata hidup yang linier dan itu-itu saja. Barangkali karena setiap orang memiliki hak atas penyingkapan diri di antara pluralitas manusia lainnya, kemungkinan-kemunginan baru lebih terbuka lebar.

Komentar

Populer Sepekan