Pamali dan Kebutuhan Meneladani Kearifan Leluhur


Bagi masyarakat Bugis, sudah tak asing lagi mendengar tutur bijak seperti ini: pemmali saleiwi inanre iyarega  uwae pella iya purae ipatala nasabaq mabisai nakenna abalaq , yang artinya: pemali meninggalkan makanan atau minuman yang sudah dihidangkan karena biasa terkena bencana. Atau tutur bijak seperti ini: pemmali pura Manre nappa matinro, menre I’ salompongnge, yang artinya: dilarang langsung tidur setelah makan, sebab ulu hatimu dapat membesar. Dalam kebudayaan Bugis-Makassar,  tutur bijak seperti itu disebut sebagai pamali.

Pamali dalam konsep kebudayaan Bugis-Makassar adalah sebuah budaya lisan yang berisi kearifan mengenai bentuk-bentuk larangan yang jika tak diindahkan, maka dipercaya akan menuai efek negatif. Konsekuensi yang dihadirkan selalu bermacam-macam, sesuai dengan isi pamali yang dituturkan. Oleh sebab itulah dalam banyak hal, pamali menjadi semacam hukum dalam tata hidup bermasyarakat dalam dunia kehidupan Manusia Bugis-Makassar. Ia dipercayai sebagai pesan leluhur dalam mengatur sikap hidup, moral dan spritual.

Tapi belakangan,  sejak masyarakat Bugis-Makassar merasakan hiruk pikuk kehidupan modern, pamali sebagai sebuah kearifan leluhur sudah mulai ditinggalkan. Hal ini sebenarnya adalah satu dari banyak efek kebudayaan modern. Penerimaan terhadap sebuah kemajuan kultural, membawa banyak masyarakat Bugis-Makassar dalam sebuah kesadaran modern, yang berimplikasi terhadap sikap menjauhi tradisi yang dianggap telah usang dan tak konteks dengan kehidupan kontemporer.

Situasi demikian sebenarnya dirasakan juga oleh banyak masyarakat era planeter saat ini. Sejak modernitas menggema dalam jejak hidup masyarakat dunia, sungguh telah mengubah banyak hal.  Dunia dibentuk oleh imajinasi yang lebih rasional dan mutakhir, sehingga menggeser ragam macam kebudayaan yang dianggap telah usang dan masih menyimpan unsur mitologi di dalamnya. Maka tak heran jika masyarakat modern adalah kumpulan manusia yang secara kebudayaan, kerap menyikapi tradisi dengan investigasi yang lebih masuk akal.  Sehingga tradisi yang sukar ditemukan basis rasional dan empiriknya perlahan ditinggalkan.

Pamali, dengan segenap kearifannya yang kerap dianggap takhayul, sudah sejak lama ditekuk oleh paradigma modern semacam itu. Maka tak heran, masyarakat Bugis-Makassar sudah banyak tak mengindahkan pesan-pesan bijak leluhur demikian. Itu karena pamali, tak sedikit memuat unsur-unsur gaib, yang secara kausalitas, diluar dari kelaziman dan tidak realistis. Misalnya, larangan untuk tidak duduk di bantal karena mengakibatkan pantat membisul, atau seperti dua contoh yang penulis hadirkan di atas. Padahal kearifan leluhur demikian tak serta-merta harus dilihat pada satu perspektif, apalagi hanya melihatnya melalui perspektif ilmiah belaka.

Yang namanya tutur bijak, tak jarang bersifat kiasan, sehingga di baliknya selalu menyimpan makna yang sangat dalam. Kita bisa saja menganggap ragam macam bentuk pamali hanya sekadar mitos. Tapi, perlu diketahui bahwa ia juga dirancang sebagai pesan moral dan teologis yang layak direnungkan dalam membentuk pribadi yang lebih manusiawi.

Misalnya, melalui contoh di atas,  bahwa pemali meninggalkan makanan atau minuman yang sudah dihidangkan karena biasa terkena bencana. Hubungan kausalitas dari contoh ini memang sukar diterima akal sehat. Tapi, berbagai macam nilai bisa kita gali di dalamnya. Mungkin sebuah ajaran etis untuk menghargai hidangan tuan rumah, yang sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat kita hari ini. Atau pesan-pesan mengenai larangan untuk tidak  mubasir terhadap makanan, Yang sering kali dilakukan dan dianggap biasa bahkan oleh anak-anak saat ini.

Berdasarkan hal di atas, maka ragam macam bentuk pamali sebenarnya masih layak untuk di tuturkan pada orang-orang. Ia sebenarnya cukup penting digema kembali di tengah modernitas yang kering nilai. Tinggal bagaimana kita memiliki niat dan bersedia untuk merenungkan setiap kearifannya. Tapi, soal permenungan juga adalah satu dari sekian banyak masalah yang di hadirkan oleh kehidupan modern.

Kehidupan modern, dengan segala geliat hedonismenya, kian menciptakan krisis permenungan. Orang-orang akhirnya merayakan kesenangan dan hura-hura, hingga tak ada waktu untuk sekadar memasuki refleksifitas diri. Maka tak ada apa pun yang mesti direnungkan, termasuk hal-hal yang bersifat pamali.

Maka, salah satu yang membuat orang-orang kerap abai terhadap pamali, selain yang telah dijelaskan sebelumnya, adalah menggeliatnya hedonisme dan krisis permenungan. Hedonisme hanya mementingkan nilai yang secara duniawi lebih bermanfaat, sedangkan makna luhur dalam setiap kearifan masa lalu mulai hilang ditempa zaman.

Orang-orang yang makin hari tenggelam dalam gaya hidup modern, memang tak merasa penting untuk menjadi diri yang arif. Sebab, menjadi diri yang arif kerap dianggap sebagai tujuan yang tak punya manfaat dalam gaya kehidupan hedonis. Bahkan hanya dianggap sebagai aral melintang dalam merasakan kesenangan duniawi. Maka tak heran jika segala konsekuensi kebudayaannya seperti seks bebas, narkotika, pembunuhan, pemekorsaan, korupsi terjadi di mana-mana. Sebab, tak ada nilai-nilai luhur yang menjadi panutan dalam geliat hidup di sebagian masyarakat. Tak ada larangan yang bersifat prinsipil dan hakiki yang dirasa layak di taati.

Maka bukan pilihan yang buruk sebenarnya jika mengafirmasi kembali pamali sebagai salah satu bagian dari jalan kebijaksanaan, ketika menyadari segenap konsekuensi dari modernitas. Bahwa saat ini orang-orang harus kembali belajar dari kearifan leluhur dan meneladaninya, saat arus kebudayaan hari ini membawa kekeringan nilai yang banyak berimplikasi pada dimensi kemanusiaan.

Komentar

Populer Sepekan