Kisah Sepasang Sepatu
Panggil aku Sepatu Kiri saja. Sebab aku
tak mau dipanggil dengan nama merek yang dilekatkan padaku oleh sang
perancangku. Aku paling benci menjadikan merek sebagai identitasku. Sebab,
karena identitas merek aku berakhir malang. Tapi sebenarnya ini yang lebih
penting: agar aku bisa dibedakan dengan Sepatu Kanan, yang entah di mana
keberadaannya sekarang. Aku terpisah dengannya pada suatu masa yang menyedihkan.
Mungkin dia masih tersangkut di tangkai pohon mangga. Atau karena terpaan
angin, dia akhirnya terjatuh dan sudah penyok terinjak oleh mobil truk. Atau
barangkali dia bernasib sama denganku, berakhir di tong sampah. Entahlah. Aku
berharap dia berada di tampat yang layak. Cukup aku saja yang berakhir seperti
ini, berjejalan bersama sampah-sampah yang bau, hingga aku ikut tertular bau amis
mereka.
Sebenarnya aku terkadang kasihan pada
mereka, kawanan sampah-sampah ini. Lihatlah sisa ayam dan nasi basi ini. Tak
ada lagi yang bernafsu untuk menyantapnya. Padahal, saat mereka masih segar,
saya sangat yakin membuat sang penyantapnya meleleh air liurnya. Orang lain pun
pasti begitu saat menatapnya. Tapi, saat si penyantap sudah kenyang, ia
akhirnya dicampakkan, dibuang di tempat sampah. Kasihan, mengapa tidak
dihabiskan saja, atau disimpan dalam kulkas. Agar jika lapar lagi, bisa
disantap kembali. Masyarakat hari ini
memang senang hidup boros. Selalu ingin ini ingin itu. Untuk mewujudkan
keinginannya, rela menghabiskan banyak uang. Tapi setelah memiliki apa yang
diinginkan, tak lama kemudian dicampakkannya lagi.
Aku memang sangat serius menanggapi
nasib sampah-sampah ini. Sebab, kami senasib dengan mereka. Kami adalah satu dari banyak sepatu yang berakhir
marjinal. Aku dibuang di tong sampah. bergumul bersama sampah-sampah lainnya.
Sedang Sepatu Kanan entah bagaimana riwayatnya kini. Tapi kisah kami tidak melulu menyedihkan juga. Seperti kisah-kisah
hidup manusia, kami juga tidak hanya hidup dalam duka, tapi juga pernah
bahagia. Lantas, mengapa kami berakhir malang? Ceritanya panjang dan berliku.
***
Mulanya aku dan Sepatu Kanan adalah
sepatu yang segar. Disimpan di dalam etalase toko sepatu yang bersih agar tak
terkena debu, meskipun harga kami tidak semahal sepatu-sepatu merek lain. Sesekali
kami dilap agar selalu terlihat bersih. Begitulah, dulunya kami dirawat dengan baik. Itulah
sebabnya cukup banyak orang yang tergoda memiliki kami, setidaknya di level orang-orang kelas menengah-kebawah.
Suatu ketika kami dibeli oleh seorang
pemuda, dengan style yang mirip-mirip
pemuda alay kebanyakan. Cuma kulitnya
terlalu coklat dan tekstur wajahnya terlalu sangar untuk menjadi selayaknya pemuda
alay yang unyu. Dia membawa kami ke
kamarnya. Di dalamnya dipenuhi tempelan poster boyband di setiap dinding. Ada Super
junior, Exo, Big Bang dan macam-macam. Kucoba hubungkan dengan style-nya, dia punya ambisi besar untuk menyerupai
artis K-pop. Cuma tampangnya tidak terlalu mendukung untuk menjadi selayaknya
artis K-pop. Dia tidak imut. Pun tidak ganteng-ganteng amat. Malah amit-amit.
Di tengah-tengah hamparan poster boyband, turut nongol fotonya yang sudah
dimanipulasi menjadi wajah putih berbinar, dan tertera tulisan namanya disitu:
Bondan Kim Ki-Bum. Dia menambahkan nama salah satu personil Super Junior di belakang namanya. Tidak
sadar kalau itu menjijikkan dan sangat lebay.
Nah, selebihnya, seisi kamar sangat
berantakan. Warna temboknya sudah tidak pernah diperbaharui. Lantainya
retak-retak. Kemudian dia memotret kami
dengan menggunakan handpone. Setelah itu
memencet-mencet handpone-nya sambil
senyum sendiri.
***
Setiap hari Bondan, atau Bondan Kim
Ki-Bum, menggunakan kami sebagai pelengkap asesoris tubuhnya dan membawa kami
ke mana saja. Ke kampus, ke mal, sesekali ke diskotik saat setelah mencuri uang bapaknya,
sampai dia membawa kami ke kos pacarnya. Nah, pacarnyalah awal mula kemalangan
kami sebenarnya.
Setelah melakukan percintaan yang hebat,
pacarnya lantas melihat kami dan protes kepadanya. Kenapa kamu membeli sepatu
norak dan murahan kayak begitu, kata pacarnya mencibir. Bondan sempat membela
kami, dan mengatakan bahwa kami adalah model sepatu dengan merek yang terbaru
saat ini (dia mencoba membodoh-bodohi pacarnya). Tapi, dengan segenap
pengetahuannya tentang fashion,
pacarnya menyimpulkan kami ini sudah kuno dan tergolong murahan. Aku malu jalan
denganmu kalau menggukan sepatu kayak begitu, singgung pacarnya. Mereka
berdebat hebat.
Perdebatannya sangat menyakitkan hati
kami. Mereka membanding-bandingkan kami dengan sepatu lain, yang lebih fashionable, yang lebih bermerek, yang
lebih populer, yang lebih digandrungi artis papan atas. Perdebatan tak ada
habisnya. Hingga akhirnya: kau membela sepatu murahan itu atau aku, kata
pacarnya dengan tujuan mengakhiri perdebatan. Pemuda itu hanya menggaruk-garuk kepalanya,
tanda dia mengalah.
Atas kejadian itu, aku mulai benci
merek, entah Sepatu Kanan berprasangka sepertiku atau tidak. Coba bayangkan,
kami dibeda-bedakan berdasarkan pada tendensi identitas. Aku tidak suka. Sudah
cukup bangsa manusia yang tertindas karena soal sengkarut identitas.
Mentang-mentang kami minoritas, kelas bawah.
***
Ke esokan harinya, Bondan bertemu
dengan teman sekampusnya. Tujuannya menjual kami kepadanya, untuk mencukupi
uang pembeli sepatu baru, yang lebih bernilai gaya yang tinggi dan dengan merek
yang lebih populer. Oleh karena kami dijual dengan harga murah, temannya
kemudian tidak pikir panjang. Dia membeli kami.
Si
pembeli itu sempat mencari tahu tujuan dari menjual kami kepadanya dengan harga
“miring”.
“Aku mau beli sepatu lain yang lebih
bergaya, setidaknya menurut ukuran pacarku,” kata Bondan santai.
“Dari
dulu kamu memang konsumtif, sampai kau harus maling uang bapakmu sendiri untuk
aksesoris yang tidak dibawa mati,” kata si pembeli mengejek.
“Aku
harus tampil modis setiap harinya kawan, setidaknya menutupi kekurangan
tampangku yang pas-pasan," kata Bondan sadar diri.
Si
pembeli kemudian hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
***
Akhirnya kami diasuh oleh pemilik baru.
Namanya Endang. Itu yang kudengar saat Bondan memanggilnya.Yang ini benar-benar
mengasuh. Endang merawat kami berdua dengan baik. Mencuci kami dengan bersih.
Meletakkan kami dalam ruangannya yang paling privat: kamar pribadinya. Kami
merasa spesial.
Dia sangat berbeda dengan Bondan soal
isi kamar masing-masing. Kamarnya bersih dan tertata. Dindingnya dipenuhi
poster filsuf mulai dari Marx, Sartre, Baudrillard, sampai yang cukup anyar: Zizek. Di samping
lemari bajunya ada rak buku yang cukup besar, yang dipenuhi buku-buku. Mungkin
ratusan atau ribuan buku, entahlah. Yang pastinya, dilihat dari tata ruang
kamar dan rumahnya, dia seorang kaya. Rumahnya tingkat dua dan bergaya
arsitektur Timur Tengah. Dalam bagasinya ada mobil bermerek Lamborgini.
Endang. Dia kaya, tapi senang
berpenampilan mirip orang kere. Saat
ke kampus dia hanya menggunakan kaos oblong hasil pembagian sewaktu menjadi steering comite di satu kegiatan
organisasi. Saya tahu itu. Di belakang bajunya tertulis “steering comite Training Ekonomi Politik”. Celana jinsnya
sobek-sobek di bagian lutut. Rambutnya gondrong tapi tertata dengan rapi. Dan
ini yang paling kami suka: dia mau memakai kami yang kerap dianggap murahan.
Setiap hari kami menemaninya bepergian.
Menemaninya berceramah di majelis ilmu, bersama-sama ke toko buku, juga bersama-sama diusir dari ruang kelas saat
setelah mendebati dosennya habis-habisan. Hingga kami merasa bangga telah
dipakai olehnya. Suatu ketika, seorang perempuan berbincang-bincang kepadanya.
“Kau
banyak uang, kau bisa berpenampilan lebih normal lagi,” kata perempuan itu.
“Aku
tak mau karena baju, celana atau sepatuku yang membuatku terhormat. Tapi aku
mau dari baju sampai sepatuku di hormati oleh orang-orang karena saya yang
memakainya,” katanya halus.
Sejak saat itu aku selalu berdoa agar
kami berdua menjadi miliknya selalu. Tapi doa tetaplah doa, selalu ada yang tak
sampai di telinga Tuhan, begitulah aku meyakininya. Suatu ketika dia ikut dalam
kerumunan massa demonstrasi menyuarakan aspirasi rakyat. Massa anarkis. Massa
berontak. Polisi datang membubarkan. Hingga kemudian terjadi bentrok. Massa
berhamburan. Endang melarikan diri dari kejaran polisi.
Tapi sayang dia perokok berat dan
jarang olah raga. kekuatan fisiknya melemah. Larinya makin pelan. Dia kemudian
istirahat sejenak. Membuka kami dari kakinya untuk menyegarkan telapak kakinya
yang kepanasan. Tapi sayang, polisi berhasil menemukannya. Kemudian terjadi
perkelahian. Dia menggunakanku untuk memukul polisi. Aku tidak marah. Justru
aku senang bisa membantunya meskipun efeknya sangat kecil. Tapi dari situ, saat
menggunakanku lagi untuk memukul, polisi itu berhasil menangkisnya. Aku
terjatuh. Aku tergeletak tak jauh dari Sepatu Kanan. Tapi aku, dan mungkin juga
Sepatu Kanan merasa kasihan pada Endang. Dia ditangkap.
Ber jam-jam lamanya kami terdampar di
jalanan. Aku bahkan berharap Endang datang dan memungut kami kembali. Tapi ini
harapan yang sia-sia belaka. Dia pasti sedang dalam keadaan menyedihkan di sel
tahanan, kata Sepatu Kanan pesimis. Aku membenarkan saja.
Berlarut-larut kami terdampar bersama
dengan sejumlah ketidakjelasan. Akhirnya, pada suatu senja, kami dipungut oleh
supir mobil. Kami dibawanya entah kemana. Tapi lama berselang, kami akhirnya
tahu, dia membawa kami kerumahnya. Dia mengetuk pintu. Tak lama kemudian, ada
yang membuka. Seorang pemuda. Dia anak si supir mobil.
Ini untukmu nak, dia menyerahkan kami
pada anaknya sambil tersenyum. Anaknya hanya menerima saja. Tanpa kegembiraan. Parasnya
dingin. Aku mau kembali pada Endang saja, kata Sepatu Kanan. Dia merasa
khawatir, anak ini tidak suka dengan kami.
***
Sepatu Kanan akhirnya benar. Usai
pulang sekolah, Bakri, begitulah ayahnya memanggilnya, membuka kami dari
kakinya. Mulanya dia menggunakan Sepatu Kanan untuk melempar buah mangga yang
bercokol tinggi di pohonnya. Dia mengenai satu buah mangga hingga jatuh
tergeletak. Sepatu Kanan ikut jatuh tergeletak. Brengsek, kataku dengan geram. Aku
kesal. Dia melakukan penindasan fisik. Dia lebih sadis dari pacarnya Bondan.
Setidaknya, pacarnya Bondan hanya melakukan penindasan verbal.
Dia kembali menggunakan Sepatu Kanan
untuk melempar mangga yang lebih ranum. Tapi sayang, Sepatu Kanan tersangkut di
tangkai pohon. Aku merasa kasihan padanya. Di sinilah awalnya aku berpisah
dengan Sepatu Kanan. Setelah itu dia memasukkan mangga yang berhasil
dijatuhkannya ke dalam tasnya. Dan aku dipengangnya sambil berjalan. Aku dibawa
cukup jauh. Dasar sepatu murahan, katanya. Dia membuangku di tong sampah. Setelah
itu, dia berlalu.
***
Begitulah akhirnya saya berada di tong
sampah ini, berjejalan bersama kawanan sampah-sampah lainnya. Aku selalu
berpikir, Bakri bilang apa pada ayahnya setelah tidak memiliki kami. Entahlah. Yang
aku tahu, anak-anak punya banyak alasan untuk berbohong, apalagi untuk
menginginkan barang yang lebih baik dan menarik. Mungkin Bakri bilang, sepatuku
dicuri orang, belikan aku sepatu baru lagi. Atau mungkin dia bilang, sepatuku
rusak karena anu.... itu... pokoknya belikan saya sepatu baru lagi. Dan masih
banyak kemungkinan-kemungkinan alasan yang tidak masuk akal lagi.
Nah, apalagi ini. Ada seorang bocah
pemulung yang sedang mengais sampah di tong sampah ini. Telapak tangannya
mendekatiku dan akhirnya menggenggamku. Tapi dia menoleh ke kanan. Entah apa
dan siapa yang dia cari. Mungkin bocah yang lagi duduk tidak jauh dari tong
sampah ini.
“Hai
Gilang!!”
“Iya
Sukri, apa? Saya istirahat dulu, kakiku sakit,”
“
Bukankah sepatu ini mirip dengan sepatu yang tersangkut di pohon mangga yang
baru saja kita lewati?”
Komentar
Posting Komentar