Hypatia dan Hal Ihwal Yang tak harus Diulang Lagi[1]



Pada abad ke-4 Masehi, Alexandria, kota yang bercokol di tepi pantai Mesir itu, telah sampai di puncak peradaban tertinggi. Masa itu, istana makin kokoh sebagai pusat kekuasaan dan perpustakaan besar berdiri sigap sebagai sebuah tanda peradaban bangsa yang berjaya. Di perpustakaan itu, aktivitas keilmuan bersirkulasi, laku ibadah kaum Pagan berjalan hikmat. Hal demikian menambah sisi agung kota tersebut. Tapi, di puncak kehidupan yang beradab itu, perang agama kerap hadir menambah serta keruh kehidupan, juga sistem patriarki tetap beku dalam ruang kebudayaan.  

Di sela-sela situasi sosial yang Bancuh itu, seorang perempuan hadir mengarungi arus  hidup yang berlawanan. Perempuan itu menekuni filsafat saat tradisi pemikiran dianggap bid’ah oleh penganut kristen fanatik. Perempuan itu memasuki dunia karir sebagai pengajar di bidang filsafat, matematika dan astronomi saat sikap kebudayaan masyarakat menekuk kebebasan perempuan di ruang aktivitas yang sangat sempit. Perempuan itu bernama Hypatia.

Sejarah tak banyak bercerita tentang perempuan itu. Lembaran kisah hidupnya tertimbun oleh hikayat kepahlawanan dan kehidupan intelektual  para lelaki. Maka ada baiknya Hypatia diceritakan kembali justru karena ia adalah seorang perempuan: narasi yang kerap terasingkan dalam panggung sejarah.


***

Hypatia lahir dan tumbuh bersama dengan segumpal ingatan pahit mengenai konflik agama. Waktu itu, penganut Pagan makin tersisih oleh pembantaian Kristen fanatik. Kemudian paksa-memaksa keyakinan mulai dilakukan, hingga sebagian besar dari penyembah berhala itu terpaksa memeluk kristen agar tak lagi merasakan getirnya intimidasi. 

Saat otoritas gereja makin berkuasa, Hypatia justru menjelma menjadi perempuan jelita yang  tak mudah dibendung: ia menolak menjadi Kristen. Sebab ia memosisikan dirinya sebagai Filsuf, dan sudah pasti bisa ditebak: ia tak mau terpaksa beriman, ia sungkan mengunyah dogma. Ia lebih senang membuka nalar dan membiarkan pikirannya menyusuri setiap jawaban dari segenap pertanyaan yang menggelisahkan: mengapa harus bertikai, mengapa harus menjadi Kristen, mengapa bumi itu datar, mengapa bumi adalah pusat tata surya, mengapa.......

Geliat epistemiknya kemudian membawanya larung dalam investigasi filosofis dan riset-riset ilmu pengetahuan. Tepatnya di perpustakaan, ia menjalankan aktivitas keilmuannya itu bersama murid-muridnya. Maka, Hypatia sebenarnya tak lebih dari segumpal jiwa yang gelisah. Ia hanya filsuf yang menyadari ketidaktahuannya, bahwa di luar sana, ada banyak hal yang belum tersentuh oleh naskah-naskah filsafat, atau bahkan oleh teks kitab suci, yang mungkin bisa jadi lebih benar. Tapi, kaum ekstrimis itu belum cukup tangguh untuk menjadi bijak.

Kemudian Hypatia dibenci. Hal demikian pastinya mengundang rasa heran: Ia si cantik yang tak disukai, sebab ia hendak mencari jawaban. Tentu jenis kebencian ini terlampau menggelitik, kecuali bagi mereka yang terlanjur berkesimpulan kalau ajaran agamanya adalah jawaban dari segala misteri alam semesta.

Tapi kebencian itu sebenarnya lahir  dari banyak hal juga. Ia tumbuh besar di lingkungan keluarga penganut Pagan. Aktivitas mengajarnya dituduh sebagai ancaman bagi iman seorang kaum. Sebab ia menyebarkan semangat keilmuan, yang dituduh oleh Kristen fanatik sebagai bid’ah. Juga karena kedekatannya dengan gubernur, Ia dituduh mencoba menghasut. Itulah sebabnya Hypatia dituding sebagai dalang dari persitegangan antara pemerintah dan gereja. Yang paling menyedihkan, Hypatia adalah seorang perempuan: kelamin yang dilarang untuk lebih cerdas dari laki-laki, kelamin yang sudah dikodratkan untuk tak banyak membangkang.

Syahdan, Kebencian itu akhirnya menjadi malapetaka bagi tubuhnya yang ringkih dan fana. Suatu ketika, saat ia menuju perpustakaan dengan mengendarai kereta kuda, ia dicegat oleh segerombolan ekstrimis Kristen, diturunkan dari kereta kudanya dan dibawa ke gereja. Sesampainya disana, ia di telanjangi, tubuhnya dipotong-potong, daging dan tulangnya dipisahkan, kemudian dibakar. Tak puas dengan memusnahkan tubuh mungilnya, ingatan tentang Hypatia dihapus pula dengan membakar semua karya-karyanya[2].    

Tak lama setelah pembunuhan sadis itu, perpustakaan ikut dibakar bersamaan dengan ribuan buku-buku dan puluhan patung dewa-dewa yang tersimpan di dalamnya, sembari menutup kisahnya dengan sekelumit cerita yang mengundang air mata.


***

Kisah Hypatia pada akhirnya adalah sebuah narasi kekejaman atas nama agama yang bisa dibilang cukup menyindir realitas beragama hari ini. Orang-orang dilarang untuk mengimani keyakinannya sendiri dan orang-orang dilarang untuk berbeda faham, dan persis seperti itu yang kerap dilakoni agama-agama kekinian.

Menjadi kian menyedihkan jika ternyata agama yang selalu gaduh oleh pertikaian  adalah agama-agama ibrahimik: Yahudi, Islam dan Kristen. Fakta ini tidak bisa kita pungkiri, saat kita menyaksikan gelombang pertikaian politik timur-tengah hari ini, atau pembubaran paksa perayaan idul fitri di Tolikara Papua yang telah lalu, atau pembakaran gereja di Aceh Singkil yang juga telah lalu, atau teror bom di Sarina thamrin dengan keterlibatan  gerakan radikal ISIS yang baru-baru lalu, dan belum lagi kita berbicara yang lalu-lalu. Sikap dewasa agama-agama mayoritas itu ternyata belum cukup teruji, saat banalitas masa lampau kerap didaur ulang di zaman ini, yang seharusnya telah membawa nalar manusia pada evolusi yang lebih demokratis.

Lalu, pembunuhan kejam yang dialami Hypatia kemudian menjadi sebuah simbol: yang tertuduh kafir sudah tak layak untuk hidup di bumi Tuhan. Dan sungguh demi langit dan Bumi, term “kafir” demikian juga kerap membawa mala di zaman ini, yang tak kalah menyedihkannya dengan apa yang terjadi di zaman Hypatia. Padahal Hypatia hanyalah satu dari banyak orang  yang menyadari kodratnya sebagai mahluk berpikir, dan sudah pasti ia peragu, sudah pasti ada kondisi di mana ia akan curiga pada suatu hal. Maka, satu pertanyaan yang membuat mendung di kepala: apakah itu salah?

Yang fanatik, entah itu dari Kristen, Islam, Yahudi,  memang kerap lupa, iman yang mereka anut sebenarnya bermula dari keraguan. Nabi Ibrahim, sebagai cikal bakal kelahiran “agama langit” itu, terlebih dahulu menyangsikan berbagai hal, kemudian menemukan keimanannya yang sejati. Apakah Nabi Ibrahim juga salah? Yang kita tahu, Nabi Ibrahim adalah mahluk yang berpikir, ia pun bisa meragu.


***

Akhirnya kita sampai pada perenungan kolektif, saat kita telah menyadari untuk menolak lupa. Narasi Hypatia menjadi pantas untuk kita beri tempat pada ruang ingatan justru karena ia bukan hanya baris-baris cerita yang menyedihkan, tapi ia juga dapat dipahami sebagai gudang makna yang bisa direnungkan dalam kaitannya dengan konteks zaman ini. Makanya, apresiasi penuh pantas diberikan pada Alejandro AmenĂ¡bar, yang telah berupaya memperkenalkan pada khalayak, untuk sekedar menolak lupa, mengenai sejarah yang nyaris dilupakan ini melalui filmnya: Agora.

Yang namanya film, meskipun mewartakan sebuah sejarah, tapi tetap tak luput dari silang sengkarut fakta-fiksi. Tapi, seorang Alejandro AmenĂ¡bar barangkali punya misi edukasi di dalam filmnya ini, sehingga sangat jelas, muatan fakta yang disuguhkannya lebih kental. Khususnya saat ia berusaha menggambarkan pribadi Hypatia yang dengan semangat keilmuannya, berupaya mempertahankan independensinya sebagai seorang pemikir, atau saat ia, dalam filmnya ini,  mempertunjukkan pertikaian antar agama, pergulatan antara fanatisme dan kemerdekaan berpikir: peristiwa-peristiwa yang tak harus di ulang lagi.



[1] Naskah ini di buat sebagai teks-teks kunci materi dalam bedah film Agora di Dialektika Cafe Makassar

[2] anda akan mendapatkan penggambaran yang berbeda saat menyimak film Agora. Dalam film itu, pembunuhan yang dialami Hypatia tak se sadis yang saya gambarkan dalam tulisan ini.

Komentar

Populer Sepekan