Menggeledah Ruang, Mengintip Kekuasaan


Satu hal yang umum diketahui jika membincang ruang, bahwa di dalam ruang, segenap pengalaman manusia ditampung, mengalir dan dijiwai. Ia adalah wadah yang memungkinkan berjalannya aktivitas fisik dan sosial. Henri Lefebvre, seorang pemikir  Marxis-heterodoks, kemudian menyebutnya sebagai live space. Arena di mana segenap aktivitas dan rutinitas manusia berlabu, ruang yang tentunya sudah dimaknai dan dialami, ruang di mana kehidupan sosial pada setiap aspeknya memungkinkan bersirkulasi. Tapi, di sisi lain, ruang bisa dipandang memiliki sebuah aspek yang mencemaskan: kekuasaan.

Dalam hal perancangan ruang misalnya, tak sedikit di antara ruang yang tercipta memiliki pertalian erat dengan kekuasaan. Contohnya bisa kita lihat pada ruang kota. Merujuk pada Michel Foucault, ruang kota adalah alegori penjara yang mirip-mirip Panopticon: gedung penjara dengan teknologi kontrol dan pengawasan yang ketat. Maka seperti Panopticon, kota tak hanya sekedar dirancang sebagai wadah untuk aktivitas kemasyarakatan, tapi, dengan teknologi kamera pengawas (CCTV) yang bertebaran dimana-mana, kota juga dirancang untuk mengontrol dan mengawasi. Setiap orang kemudian seperti kriminal yang perlu diintai setiap gerak-geriknya. Di sini, perancangan ruang kota tak lebih dari aplikasi kekuasaan terhadap masyarakat.

Pertautan erat antara ruang dan kekuasaan akan terlihat jelas bila mengintip aktivitas meruang manusia. Bahwa tak sedikit dari aktivitas sosial dalam ruang, selalu memicu penguasaan sepihak terhadap terhadapnya. Saat ketika praktek kekuasaan telah beringsut mendekat dalam arena ruang, saat itulah ruang menjadi perihal yang diperebutkan.

Hal demikian sangat nampak pada segenap ruang jalan raya. Bisa dibilang, di jalan-jalan beraspal, setiap orang merasa berkuasa atas hak segenap ruang-ruang yang terhampar. Anda mendengar klakson mobil, itu artinya anda harus segera menyingkir, sebab, sang empunya mobil merasa jalanan yang anda lalui adalah miliknya. Bahkan tak jarang di jalan raya, orang-orang saling berlomba-lomba menunjukkan hasrat kuasanya dengan saling mengusir dan mendominasi, seolah-olah setiap orang sudah diformat sesuai apa yang dikehendaki oleh modernitas: bersaing dan individualis.

Tak ayal, jalan raya ibarat seperti ruang yang tak betuan, sehingga, semakin berasak jalan raya oleh pengendara bermotor, semakin setiap orang merasa perlu berebut ruang. Entah itu kawanan motor pengantar jenazah, kawanan motor suporter sepak bola, atau setiap pengendara motor dan mobil yang lainnya, jalan raya dijadikan sebagai arena perampasan ruang. Di sini, konsep “berbagi” seperti lenyap di ruang sadar, semacam hilang ditimpa lupa. Bahkan, pelipir jalan raya yang hanya sebagai ruang pinggiran saja, sudah kesekian kalinya menjadi wilayah yang diperebutkan. Ia sudah lumrah menjadi arena rampas-merampas ruang oleh pemerintah dan  pedagang kaki lima, sebagaimana lazimnya rampas-merampas wc umum bagi dua orang yang sama-sama “kebelet pipis”.

Apa yang terjadi di jalan raya juga kerap berlaku di ruang-ruang lainnya. Untuk menempati ruang-ruang kelas misalnya, setiap orang harus terlebih dahulu melewati sekat-sekat persaingan, dan tak jarang melibatkan hubungan silsilah keluarga, kasta, kelas sosial dan uang agar lebih mudah melompati segenap aral-melintang dalam memperebutkan satu bangku kelas. Pun, semua orang tak akan sangsi, jika ruang-ruang eksklusif yang berhimpit-himpitan di gedung DPR hanya bisa diduduki selepas memenangkan pergumulan politik yang licik, kejam dan penuh intrik.

Menjadi semakin memilukan jika ruang publik yang sejatinya adalah ruang bersama, di mana masyarakat dari semua kalangan melakukan aktivitas kesehariannya, perlahan digerogoti oleh kekuasaan. Lihat saja Karebosi kita, perlahan dikuasai secara privat, dengan dijadikan sebagai lahan bisnis. Meskipun dilakukan pembagian ruang, di mana sang Cukong hanya mengambil ruang bawah tanah untuk membangun pusat perbelanjaan, namun belakangan, Texas Chiken dan The Coffee Bean & Tea Leaf telah menampakkan wajah anyarnya di sebagian wilayah Karebosi.  Di sini,  secara diam-diam, kepentingan kapital perlahan merengkuh ruang-ruang Karebosi yang sejatinya adalah ruang bersama. Dan mungkin tak lama lagi, ruang bermain anak-anak yang luas dan hijau itu, di mana jajanan rakyat yang murah meriah ikut nimbrung,  tergusur oleh bangunan-bangunan bisnis yang mewah. Sehingga, tempat bermain dan ragam macam jajanan hanya disediakan secara ekslusif di pusat-pusat perbelanjaan yang sekarang berdiri keras dan terlihat pongah.    

Syahdan, ekses dari ruang-ruang yang diperebutkan, akan berujung pada pemilahan batas-batas antara siapa yang berkuasa dan siapa yang terpinggirkan, siapa pemenang dan siapa yang pecundang. Sungguh situasi demikian  tak lebih sebagai pelanjutan sejarah panjang peradaban manusia yang menyedihkan, saat modernitas menggema dalam gegap dan riuhnya penaklukan wilayah, penaklukan ruang-ruang.

Komentar

Populer Sepekan