Gadis di Bangku Taman
![]() |
Gambar diambil di: http://id.aliexpress.com/cheap/cheap-park-bench-steel.html |
Asap yang mengepul di udara itu berasal
dari rokok seorang lelaki yang sedang bersandar di pagar besi taman kota. Belum
juga asap yang membahana di udara itu sepenuhnya lenyap membuyar, ia menghisap
kembali rokoknya dengan sangat dalam, hingga pipinya terlihat menyusut seperti
seorang yang kerempeng. Asap rokok yang mengendap di tenggorokannya pun di
hembuskannya hingga di sekitaran wajahnya terlihat putih sedikit tebal, seperti
wajahnya dikepung oleh awan-awan langit yang bergerak. kemudian dia menunduk.
Menutup matanya. Mendesah dengan nafas yang sangat panjang dan lelah.
“Seperti
aku tidak pernah berguna sama sekali, cuihhh”. Katanya dengan nada yang kecil
dan sedikit jengkel.
“Ibu
mungkin sudah pikun, hingga lupa kalau aku pernah berjasa membasmi tikus yang membuatnya
menjerit kesetanan”. Katanya lagi juga dengan nada pelan dan sedikit jengkel,
di tambah bibir yang mencibir.
Bukan tanpa alasan lelaki itu ke taman
kota. Ia sedang tak betah di rumahnya. Ia butuh ruang untuk berpikir dan
menenangkan hatinya. Sekitar satu jam yang lalu, dia dimarahi habis-habisan
karena telah menyiksa kucing kesayangan ibunya dengan menggunakan sapu, seperti
menyiksa bajingan amatiran kelas teri yang sedang kedapatan mencuri roti.
Sebab Si Lelaki sangat jengkel kepada
Si Kucing yang lagi asik menyantap makanannya, sementara ia tak disediakan
makanan untuk sarapan paginya yang memang sudah sering kali tak dipenuhi oleh
ibunya. Sambil duduk di depan meja makan yang hampa santapan, ia kemudian
menoleh kesamping memandang Si Kucing yang tengah lahap makannya dengan tatapan
kosong penuh kebencian, sambil mengaruk-garuk pantatnya.
Kau tidak akan bisa mengganti posisiku di
rumah ini pernah menjadi anak kesayangan, katanya dengan maksud berbicara
dengan Si Kucing. Perkataan itulah sebagai pembuka untuk melampiaskan dengan
memukuli Si Kucing secara membabi buta, dan berhenti melakukan tindakan
sadisnya itu saat ibunya datang dan menyaksikan aksinya yang sungguh brutal dan
kekanak-kanakan. Sambil memasang wajah yang menyeringai, ibunya lantas
berteriak penuh murka di hadapan anak satu-satunya itu. Mungkin karena capek,
ibunya lantas berhenti sejenak, mendesah dan berkata: Setidaknya kucing itu lebih
berguna mengusir tikus daripada pengangguran lapuk sepertimu.
Sungguh sindiran yang sangat menusuk.
Tapi dia tetap sadar diri, bahwa term pengangguran yang dilekatkan pada dirinya
mau tidak mau harus diterimanya, meskipun dia tidak sepenuh hati menerima
imajinasi ibunya yang menurutnya terlalu berlebihan, bahwa Si Kucing adalah mahluk
yang lebih unggul darinya.
Sudah hampir lima tahun sejak menerima
gelar sarjana hukum di sutau universitas, Si Lelaki tidak bisa membanggakan
ibunya dengan gelar sarjana hukumnya itu. Sementara ibunya sangat berharap ia
bisa menghidupi rumah tangga dengan gajinya sendiri. Ini wajar saja sebenarnya.
Ayahnya telah meninggal saat masih kelas 3 SMP. Maka ibunyalah, yang hanya
seorang guru privat, yang mengambil tugas untuk membiayai kebutuhan
pendidikannya sampai meraih gelar sarjana dan juga membiayai keburuhan
sehari-hari dirumah. Tapi saat ini ibunya tak sanggup lagi mengajar banyak
anak-anak dari rumah ke rumah karena persoalan usia. Ibunya berhenti menjadi
guru privat. Mau tak mau Si Lelaki harus segera mengganti posisi ibunya sebagai
tulang punggung.
Si Lelaki sebenarnya sudah berusaha. Ia
sudah mendatangi kantor bank manapun, ikut bersaing dalam penerimaan pegawai
negeri sipil, mendatangi setiap kantor-kantor notaris agar bisa diterima
menjadi pegawainya. Bahkan ia sudah mencoba untuk melamar menjadi pegawai
marketing dan security di perusahaan manapun. Tapi segalanya terasa sia-sia:
tak ada satupun yang mau menerimanya menjadi seorang pegawai dan belum ada yang
menghubunginya untuk sekadar mendapatkan kesempatan tes wawancara.
Dia sempat menyalahkan nasib. Menuduh
Tuhan tidak adil pada sebagian umat manusia termasuk dirinya. Dia selalu
mewartakan keluhannya itu pada teman-temannya, tapi mereka tidak peduli. Bahkan
salah seorang di antara temannya hanya mengatakan kau akan masuk neraka. Temannya
yang berpenampilan mirip ustad, dengan jenggot yang panjang dan celana panjang
di atas mataka kaki itu, tampak serius dalam ucapannya. Tapi dia tak peduli
dengan ancaman itu. Neraka dan dunia apa bedanya, pikirnya. Sesekali dia
mengeluh atas ketidakadilan Tuhan pada Si Kucing, meskipun Si Kucing tak
mengerti dan hanya sibuk menjilati tangannya. Mungkin jadi kucing lebih baik,
setidaknya tak ada yang perlu dipikirkan, katanya pada Si Kucing yang sama
sekali tak peduli.
***
Sudah satu jam lelaki itu berdiri
bersandar di pagar taman kota, masih dengan menikmati rokok. Entah mengapa dia
tetiba menjadi tipe lelaki yang tenang, bahkan di saat kondisi emosionalnya
sedang kacau. Bahkan dia tetap menyempatkan diri peduli dengan seorang anak
kecil yang bola plastiknya menggelinding tepat dihadapannya, meskipun anak
kecil itu menangis seperti melihat kuntilanak saat dia mengembalikan bola plastiknya.
Dan dia juga peduli dengan seorang gadis yang duduk di bangku taman, yang tanpa
gerak-gerik, seperti dalam pertapaan panjang di bawah Pohon Trembesi yang sudah
ber tahun-tahun bercokol taman kota.
Sebenarnya sedari tadi dia
memperhatikan Si Gadis yang pas sejajar berhadapan dengannya, jauh dan menirus.
Dia tak bosan memandangi Si Gadis. Dilihatnya dari kejauhan, dia sudah bisa
menyimpulkan kecantikan dan keanggungan Si Gadis. Insting lelaki itu memang
kuat untuk mengenali sisi keindahan perempuan. Dia seorang pengamat perempuan.
Tapi, justru karena itu dia hanya menjadi pengangum keindahan perempuan saja.
Semantara pengalaman berpacarannya sama sekali tidak ada: dia seorang jomblo
sejati. Yah, mirip-mirip pengamat sepak bola yang belum tentu tahu bagaimana
bermain bola. Maka lengkap sudah kemalangan yang ia miliki: pengangguran dan
jomblo.
Sekarang dia mulai berjalan pelan-pelan
menuju perempuan itu, sekadar melihat dari dekat untuk membuktikan
hipotesisnya. Sungguh perlakuan seseorang yang memang kurang kerjaan, atau perilaku
jomblowan sejati yang masih mencari-cari pendamping hidup. Ia melangkah dengan
santai sambil sesekali melirik kucing bertubuh koreng yang tidur pas di samping
Si Gadis. Dilihatnya, Si Gadis tenang-tenang saja. Tak merasa terganggu dengan
bau busuk Si kucing Koreng. Seolah Si Gadis menyenangi Si Kucing Koreng duduk
disampingnya. Bahkan kucing paling busuk saja lebih beruntung ketimbang saya,
pikirnya sambil mengutuk kemalangannya.
Tapi yang dipikirkan selanjutnya
bagaimana mengusir Si Kucing Koreng agar dia bisa duduk disamping Si Gadis. Maka
dia mengambil tangkai pohon mangga yang tergeletak di antara rerumputan taman
kota sebagai alat mengusir Si Kucing Koreng yang penuh borok itu.
Ia telah sampai. Si Kucing Koreng pun
diusirnya dengan menusuk-nusuk boroknya dengan tangkai pohon mangga. Tak susah
untuk mengusirnya. sekali dua kali tusukan, Si Kucing Koreng langsung pergi karena
kesakitan. Hehehehe, dia menertawai kemalangan Si Kucing Koreng, sembari bermasabodoh
dengan kemalangannya sendiri.
Ia kemudian duduk di samping perempuan
itu dan lupa kalau bekas-bekas borok Si Kucing Koreng masih menempel pada
bagian bangku yang ia duduki. Ia hanya
diam memandang ke depan seperti yang dilakukan Si Gadis. Tak lama kemudian dia
menoleh melihat wajah Si Gadis. Dilihatnya, Si Gadis sangat tenang dalam murung
yang akut, seperti memasuki belantara khayal yang sudah sangat jauh menembus
antah berantah. Entah kapan turun ke bumi lagi. Ia pasti punya masalah yang
lebih berat dariku, pikirnya.
Pandangan Si Lelaki tak pernah
berpaling pada wajah Si Gadis. Hipotesisnya tak salah. Si Gadis sangat cantik
bahkan melampaui bayangan awalnya. Rambutnya hitam, panjang dan lurus. Rambut
bagian depan dagunya tak berbentuk poni, tapi disisir menghadap kebelakang, dan
diapit dengan jepit rambut berwarna hitam agar tak terurai. Sungguh pemandangan
yang menakjubkan dengan alis yang agak sedikit tipis, mata yang kecil dengan
jarak kedua mata sempit, kulit kuning langsat, dan bibir yang tipis merah muda.
Keanggungannya kian mempesona dengan blus middy berwarna merah muda dan rok
dirndl berwarna putih.
Semoga dia belum ada yang punya,
pikirnya dengan menatap penuh nafsu. Si Lelaki tengah jatuh cinta pada pandangan
yang pertama. Tapi terasa sia-sia jika tidak terbangun komunikasi intens dengan
Si Gadis. Akhirnya dia membuka percakapan untuk memecah keheningan.
“Langit
makin mendung, tidak beranjak pulang?”
Tak ada respon. Si Gadis tetap
mematung. Beku dalam ruang khayal yang entah apa yang sedang dipikirkannya.
Sementara Si Lelaki sedang menyusun kalimat lain yang sekiranya bisa memancing
percakapan. Di sela-sela keheningan, ternyata ada yang luput dari pikiran Si Lelaki meskipun sedari tadi telah melihatnya:
sebuah kotak kubus berukuran cukup besar yang dibalut kantong plastik hitam
yang sedang dipangku Si Gadis.
“Sepertinya
benda itu penting yah, isinya apa?”
Tetap tak ada respon. Si Gadis masih
dalam keadaan mematung. Si Lelaki merasa seperti seorang yang konyol sedang
ngomong sendiri. Ia tak tahu mau ngomong apa lagi untuk memulai percakapan. Ia
kemudian menatap kedepan dan mendesah. Pasrah.
“Isinya
adalah hidup dan matiku”. Si Gadis
akhirnya bicara meskipun dengan nada yang datar dan raut wajah yang tawar.
Hal itu memancing Si Lelaki untuk
kembali memandang Si Gadis. Kepalanya penuh tanda tanya, memikirkan maksud
perkataan Si Gadis. Bahwa, apakah Si Gadis serius atau bercanda saat
mengatakannya, atau hanya ngomong asal agar tak diladeni lagi dalam sebuah percakapan.
Tapi kebingungannya tak menghalanginya untuk membalas percakapan.
“Maksudnya?”
Pertanyaan lelaki itu hanya dibalas
tatapan kosong dan hambar oleh Si Gadis. Hanya sebentar, lalu memandang kedepan
lagi. Sial, perempuan ini seperti tidak waras, pikirnya dengan dahi yang
berkerut. Sehingga Si Lelaki justru merinding dengan sikap dingin Si Gadis yang
mirip-mirip psikopat dalam film genre mistery dan thriller. Tapi Si Lelaki
mencoba bersikap tenang sekadar menutupi rasa takut dan gemetarnya, kemudian
berpikir untuk mengambil keputusan: pergi dari sini atau tetap bertahan.
Kalau aku pergi dari sini aku
kehilangan kesempatan untuk mendekatinya, tapi jika tetap bertahan, bisa-bisa dia
tiba-tiba membacok kepalaku, pikir Si Lelaki yang masih menganggap perempuan
itu seperti psikopat. Tapi Si Lelaki tetap memilih bertahan, sembari
melihat-lihat keadaan kiri-kanan-depan-belakang-bawah-atas, hanya untuk memastikan
tak ada bahaya apapun atau senjata apapun yang Si Gadis sembunyikan untuk
melakukan aksi mutilasinya.
“Tak
ada yang perlu dikhawatirkan, aku bukan kuntilanak, aku bukan seseorang yang
menakutkan, mungkin besok menjadi gentayangan”, ungkap Si Gadis sambil
menghadapkan wajahnya dan melemparkan senyum hambar pada Si Lelaki, kemudian
memandang kedepan lagi. Kembali murung.
Si Lelaki hanya tertawa kecil, meskipun
tak tahu kalau Si Gadis sedang melucu atau serius melalui perkataannya tadi.
“Kamu
pasti punya banyak masalah”. Kata Si Lelaki untuk menyegarkan situasi.
“Bukan
masalah menurutku, tapi renungan, tentang sebuah pilihan hidup yang rumit”. Balas
Si Perempuan dengan suara yang berat.
Sial, perempuan ini penuh teka-teki,
pikir Si Lelaki sambil membentuk tekstur wajah kebingungan. Kemudian dia
memperbakiki posisinya, sekadar memasang posisi yang seolah baik-baik saja.
“Ceritakanlah,
mungkin aku bisa membantu”. Katanya tenang, yang bahkan dia saja tak bisa
menyelesaikan keterpurukannya sendiri.
“Renungan
ini....” Si Gadis mendesah, kemudian melanjutkan, “sepertinya tak harus
dituturkan. Biarkanlah aku menikmatinya sendiri. Terkadang jiwa manusia butuh
otonomi, memilih jalan hidupnya sendiri, tanpa bergantung pendapat orang lain”.
Kata Si Gadis dengan nada yang lemah, terdengar sedih dan getir.
Perempuan ini semakin membingungkan,
jadi kita membincang apa dong kalau begitu, masa membincang kucing koreng yang aku
tusuk boroknya, Pikir lelaki itu. Kemudian muncul rasa iba melihat keadaan Si
Gadis yang memang terlihat sedih baik dalam diam maupun dalam berucapnya. Ada
beban berat yang ia pikul saat ini. Dia juga baru sadar, wajah Si Gadis cukup
pucat dan lelah seperti kurang tidur. Tapi ia tetap meladeni perbincangan yang hambar, tak
romantis, dan membingungkan ini, sembari menunjukkan bahwa ia juga jago
mengolah kata-kata. Mungkin dengan ini Si Gadis menjadi bahagia, menikmati
suasana, hingga menjadi terpesona dengannya. Ia bermaksud baik sambil
menyelipkan kepentingannya di dalam.
“hmmmm....
tapi aku suka orang-orang sepertimu, menyisipkan waktu untuk sekadar merenung.
Sebab aku suka perkataan Plato bahwa hidup yang tak direnungi adalah hidup yang
tak pantas dijalani”. Kata Si Lelaki seolah-olah bijaksana.
“Sokrates”
“apa?”
“Itu
perkataan Sokrates”
“Oh,
maaf saya salah sebut”
Si Lelaki langsung merasa ciut, malu,
serasa ingin membenturkan kepalanya di tembok. Ia lantas mengecek kebenarannya
di mesin pencari google dengan menggunakan gadget. Setelah itu, dia
menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal itu. Dasar dosen goblok,
Bertahun-tahun aku percaya kalau itu Plato karena dia yang bilang, kenapa juga
aku harus percaya kata-katanya, pikirnya geram sambil mengirimkan sumpah
serapah dalam hati kepada dosennya yang goblok itu. Agar tak nampak semakin tolol
di hadapan Si Gadis, ia pun kembali beratraksi.
“Mungkin
Elizabeth Erorik benar bahwa hakikat perempuan itu merenung, sungguh feminis”
“Tapi
saya pikir semua orang merenung, bukan cuma perempuan saja”
“Bisa
jadi seperti itu”
“Bukan
bisa jadi, memang iya”
“hmmmmm”
Seketika mereka diam, hanya ada suara
desau angin kencang, petanda akan datang hujan keras. Mungkin sebentar lagi.
“Siapa
itu Elizabeth Erotik?”. Tanya Si Gadis dengan bingung
“hmmmm
anu... itu.... Feminis dari Prancis”
“Kok
aku nggak tahu”
Ya iyalah, Elizabeth Erotik itu memang
nggak ada, pikirnya serasa sudah memenangkan pembicaraan. Si Gadis kemudian berterima
kasih padanya karena memberi ilmu baru. Padahal tidak tahu kalau itu cuma
karangan Si Lelaki belaka. Tapi, justru disitulah akhirnya terjadi komunikasi
yang lebih cair, dan pembicaraannya telah menyentuh banyak hal: kehidupan
sehari-hari, masa kecil, hobi, dan banyak hal. Sehingga Si Lelaki merasa bahwa Si Gadis mulai membuka ruang
hatinya. Di tengah-tengah pembicaraan yang hangat itu, Si Kucing Koreng datang
menggosok-gosok boroknya yang gatal di kaki Si Lelaki. Sudah lama. Tapi Si
Lelaki tidak sadar saking dunianya sudah berpusat hanya satu orang saja.
“Lihat
kucing itu di kakimu”. Si Gadis memberi tahu.
Tetiba Si Lelaki meloncat saking
kagetnya. Tapi, kejadian itu membuat Si Gadis tertawa terbahak-bahak.
Kejengkelan Si lelaki sirna saat melihat kebahagiaan Si Gadis. Baru kali ini ia
baik hati pada kucing.
“Oh
iya, kita lupa perkenalan”. Sahut Si lelaki
Tapi, sebelum mereka saling
memperkenalkan diri, tiba-tiba datang tiga orang laki-laki. Dua orang bertubuh
kekar, menggunakan kacamata, mungkin pengawal. Sementara yang satu lagi
dandanannya rapi. Memakai jas hitam dan mulus. Rambutnya tertata rapi. Sepatunya
kinclong. Dia tampak kaya raya. Mereka menghampiri Si Lelaki dan Si Gadis.
Mereka semakin dekat dan membuat Si
Gadis kebingungan, seperti ada yang ia cari. Si Lelaki hanya mengerutkan dahi
sembari berpikir hubungan antara tiga orang lelaki dan Si Gadis.
“Sebutkan
nomor HP mu, cepat, cepat”. Kata Si Gadis dengan terburu-buru
“Oh,
iya, 082293349838”
Si Gadis mencoba menghafal dengan cara
mengulang-ulang terus nomor HP Si Lelaki, hingga tibalah ketiga lelaki itu di
hadapan mereka.
“Ternyata
kau di sini nak, dari tadi saya mencarimu” kata Si Pria Jas dengan tampang yang
khawatir.
Kemudian dua lelaki bertubuh kekar itu
mengantar Si Gadis entah menuju kemana, mungkin menuju mobil. Dalam lima
langkah berjalan kaki Si Gadis membalikkan wajah ke arah Si Lelaki. Melempar
senyum sambil menggerakkan mulutnya seperti komat-kamit membaca mantra.
Sepertinya ia masih menghapal nomor HP Si Lelaki. Kemudian berbalik lagi.
Si Pria Jas memandangi Si Lelaki yang
masih menatap kepergian Si Gadis, dan kemudian dibuat heran dengan ucapan
terimakasih Si Pria Jas yang di alamatkan padanya. Ternyata Si Pria Jas adalah paman dari
perempuan itu. Diceritakannya bahwa sudah empat hari perempuan itu bersedih
entah alasannya apa, dia juga tidak tahu. Dalam empat hari ini, perempuan itu
mengurung diri di kamar, dengan wajah murung, dan tidak mau makan dan minum
Si
Pria Jas adalah paman yang menjaga Si Gadis setelah lima tahun silam paska
meninggalnya kedua orang tuanya dalam kecelakaan mobil. Pernah Si Gadis
mengalami hal serupa setelah meninggalnya kedua orang tuanya. Masa berlalu, Si
Gadis kembali ceria seperti menemukan jiwanya kembali. Tapi pamannya itu, Si
Pria jas, menjadi heran dengan keadaan Si
Gadis dalam lima hari ini. Rasa terimakasihnya pada Si lelaki karena alasan,
bersama pria pengangguran itu, dia menjadi ceria kembali dan sudah mau mematuhi
instruksi, padahal sudah beberapa hari
ini susah untuk diajak komunikasi.
Seperti boneka.
Tapi ada sebuah petanda lain dari
tatapan Si Pria Jas pada Si Lelaki. Sepertinya Si Pria Jas merasa tak asing
dengannya. Kemudian ia berjabat tangan pada Si lelaki dan dengan ramah Si
Lelaki menerima penghormatannya.
“Datanglah
besok ke kantorku, kita akan selesaikan surat lamaranmu di sana”. Kata Si Pria Jas dengan senyum ramah dan
pergi meninggalkan Si lelaki seorang diri.
Si lelaki kemudian ingat, paman Si
Gadis ternyata seorang notaris terkenal
yang dulu didatanginya untuk maksud membawa surat lamaran. Ia sangat bahagia.
Tertawa sendiri. Setiap orang memandanginya seperti melihat seseorang yang
mulai gila.
Dalam kebahagiaannya, ia lantas
teringat dengan kotak kubus yang ditinggalkan Si Gadis, entah kenapa. Dia
penasaran, kemudian membuka untuk sekadar mengetahui isinya. Di dalamnya ada
tali tambang, silet dan sobetan kertas yang bertulis: Nyala, mohon maaf, aku akan menikah dengan perempuan lain. Aku
menghamilinya. Maaf. (Reza).
Hujan
akhirnya turun juga.
---Muhajir---
akhir cerita yg menggugah rasa kanda. hehe
BalasHapusThanks atas kunjungannya...
BalasHapus