Para Peneror
Malam itu, tepat pada hari kamis
tertanggal 23 Oktober 2015, Komunitas Syiah Makassar memperingati syahidnya
Imam Husain dengan khidmat, juga harap-cemas. Di luar gedung berlangsung gaduh.
Ada hiruk pikuk yang muncul dari ketegangan antara aparat kepolisian dan para kelompok
sektarian. Mereka berdemonstrasi sambil mencari celah agar dapat meringsuk
masuk di sela-sela pertahanan aparat. Tujuannya bukan lain dan tak bukan, untuk
meringkus para jemaah dan membubarkannya.
Memang bagi mereka, peringatan
syahidnya cucunda Rasulullah itu oleh Jemaah Syiah mesti dibubarkan. Barangkali
mereka sudah bulat-bulat menganggap bahwa perbedaan paham adalah bukan sesuatu
yang dapat diduduk-perkarakan dalam ruang negosiasi. Itulah mengapa,
orang-orang macam mereka tak pernah selesai dengan urusan hak minoritas. Bahwa
kita yang hidup di tengah bangsa yang bhineka mesti tetap takzim pada yang
berbeda.
Tapi memang di tubuh bangsa ini, warga
negara senang mendaur ulang suatu problema yang sebenarnya sudah amat klise.
Salah satunya adalah masalah kerukunan beragama. Telusurilah jejak perjalanan
bangsa ini di tahun-tahun yang telah berlalu. Di sana sedikit-banyak kita dapati
peristiwa pahit menyangkut persitegangan antar kelompok keagamaan. Ada tragedi
Sampang yang memakan banyak korban, juga ada tragedi Tolikara yang mempertontonkan
pembubaran paksa perayaan idul fitri, dan baru-baru ini terjadi pembakaran
gereja di Aceh Singkil. Belum lagi kita berbincang yang sebelum-sebelumnya.
Jika sekiranya perseteruan agama
bermula dari beda paham, sebenarnya bisa diselesaikan melalui jalan dialog.
Tapi perbedaan paham di tataran teologis memang selalu menjurus pada sikap
narsisme: merasa diri yang paling benar, merasa telah mewakili titah Tuhan. Implikasinya,
tak akan jauh dari soal aqidah: soal siapa yang sesat, siapa yang murtad. Ketika
tudingan sesat dan murtad telah dinyatakan, maka tak ada lagi tawar-menawar. Di
sini, kelompok sektarian terkadang mengambil langkah yang banal: meneror. Maka,
seorang sastrawan asal Rusia, Dostoyevsky, hanya separuh benar. Dalam novelnya
yang berjudul The Brothers Karamazov, Salah seorang tokoh bernama Ivan Karamazov
mewedarkan ungkapan yang kemudian hari
sangat terkenal: “jika Tuhan tak ada, maka segala sesuatu diperbolehkan”. Tapi,
dewasa ini, justru orang-orang yang ber-Tuhan kerap melakukan apapun,
seolah-olah diperbolehkan oleh Tuhan.
Lantas, untuk apa kita berbicara tentang
aqidah? Ketika di saat yang bersamaan, keteguhan aqidah justru mendatangkan
mala, maka tak usah berbincang tentang ajaran yang benar. Toh pada akhirnya,
tujuan profetik meluntur oleh karena menindas orang-orang yang tak bersalah. bukankah
sedikit-banyak korban teror oleh sektarian adalah orang-orang yang tak berniat mengintimidasi
siapapun? Saya memang tak lihai menuturkan konsep-konsep teologi. Saya tak
lahir dari rahim pesantren atau institusi pendidikan agama lainnya. Tapi saya
yakin, agama manapun tak menginginkan umatnya meneror, apatah lagi merampas
hidup yang tak bersalah.
Pun, tak usah berbincang tentang titah
Tuhan. Sebab terkadang, soal aqidah telah meringsuk jauh ke ranah yang begitu
politis. titah Tuhan kemudian dialihkan ke
titah kekuasaan. Memang di pikiran banyak pihak, selalu mengandung kecurigaan
terhadap pertikaian antar agama. Bahwa di tengah-tengahnya selalu mungkin ada kendali
kepentingan besar yang bergerak pada tujuan kekuasaan yang begitu rumit. Maka
disediakanlah pion-pion yang ditugaskan untuk melakoni adegan singkir-menyingkirkan
kepada yang berbeda paham. Dalam hal ini, Ada banyak jalan yang dilakukan: melalui
perang diskursus, sampai pada laku represif yang tak kenal ampun dan siapapun.
Tentang ini, Hanna Arendt, pemikir wanita
kebangsaan Jerman, punya pendapat. Baginya, laku Politik saat ini dimaknai
dalam kategorinya yang bersifat privat. Arendt memaknai, kategori privat
sebagai tujuan politis, selalu memuat pemaksaan dan pengendalian dengan cara
apapun untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Maka tak heran bila politik
penyingkiran terhadap “yang lain”, terhadap “yang beda” oleh kelompok sektarian,
selalu memuat laku teror.
***
Sungguh miris rasanya. Warga negara
kita tak pernah selesai untuk urusan menghargai sesama. Sikap kemanusiaan
selalu menjadi perihal yang diabaikan demi mengukuhkan ego kelompok, juga ego
kekuasaan. Padahal menurut Arendt, tata kewarganegaraan adalah ruang publik. Itulah
sebabnya ia adalah ruang penampakan, ruang
di mana segala sesuatu diperbolehkan untuk dilihat dan didengar, tempat dimana
manusia dikenali dan dihargai sebagai manusia. Ia juga adalah dunia bersama. Itulah
sebabnya ia adalah ruang pluralitas, dimana keanekaragaman dapat hidup harmonis
hingga masyarakat dapat saling menghargai sesama.
Apalagi ketika berbincang tentang
indonesia, suatu bangsa yang indah justru karena ia bhineka. Oleh karena itu,
toleransi selalu harus menjadi sikap hidup bersama. Tapi, jika kita masih
memandang “yang lain”, “yang beda” dengan tidak bersahabat, maka mau tak mau
kerukunan beragama sekiranya begitu sulit diwujudkan. Bisa saja hal demikian
terus berulang. Sebab, pengalaman selalu diabaikan sebagai guru yang berharga.
Komentar
Posting Komentar