Mata Sakti, Mata Hati
![]() |
Nah, handpone saya berdering kembali, tanda dia menghubungiku. Ini sudah
pasti, Sebab saya hanya membuat janji dengannya ketemu di sebuah warkop, tapi
tidak memberitahukan nama warkop dan alamatnya. Sebenarnya saya merasa bersalah
juga tidak mengangkat panggilan telponnya, dan tidak membalas pesan BBM-nya.
Saya juga ingin segera bertemu dengannya, bercerita banyak hal. Tapi, saya merasa
inilah momennya. Saya ingin dia menemukanku sendiri tanpa arahan langsung dari
saya, untuk sekadar membuktikan kesaktiannya sekali lagi.
Oleh banyak teman-teman semasa SMA saya,
dia sudah terlanjur diyakini memiliki mata sakti yang sanggup melihat sesuatu
dari arah kejauhan yang bahkan jauh lebih hebat dari jangkauan teropong yang
paling mutakhir, juga dapat mengamati sesuatu meskipun ditutupi oleh benda yang
paling padat sekalipun. Kepercayaan yang menurutku sangat konyol itu bermula
sejak kelas tiga SMA semester pertama. Jadi, jika dia masih memiliki, atau
lebih tepatnya, memang memiliki mata sakti itu, maka ia sedari tadi telah
menemukanku di tempat ini, di warkop yang sudah berbulan-bulan menjadi tempat ku
menyemai inspirasi dan ide, atau hanya sekedar nimbrung saja.
Pikirku,
dia akan mengusahakan menemukanku. Kalau dia punya kesaktian itu, dia pasti
akan menggunakannya untuk menerawang letak posisiku saat ini. Sebab, sejak
kuambil nomor telepon dan PIN BBM nya kemarin sore pada pertemuan yang
tak disengaja, di hari ini, saya mengirimkan pesan via BBM untuk mengajaknya bersua
di warkop kesukaanku ini, bercerita bahnyak hal, tentang ini dan itu, apa saja,
sekaligus mempertemukannya dengan adikku, Evi, yang dari dulu ditaksirnya tapi
tidak kurestui meskipun beberapa kali dia telah mencoba untuk menegosiasikannya
dengan saya. Di sinilah saya akan mengujinya sekali lagi. Kalau dia memiliki
mata sakti itu, dia pasti akan menemukanku dan akan kurelakan adikku untuk dipacari
olehnya sampai kepelaminan, sebagai permintaan maaf karena tidak mempercayai
kemampuan khususnya itu, kesaktian yang sampai saat ini belum diterima oleh
akal sehatku. Saya memang beda dengan para teman SMA ku dulu. Saya tidak
mempercayai kemampuan matanya yang dikira sakti itu. Cuma mereka saja yang dengan
dungunya mempercayainya begitu saja. Itu dimulai sejak Didit berhasil memecahkan
rekor yang belum pernah dipecahkan bahkan oleh seorang juara satu di kelas
sekalipun. Jadi, ceritanya seperti ini:
Waktu itu diselenggarakan ujian mata
pelajaran sosiologi. Didit berhasil menjawab dengan sempurna setiap soal ujian,
sehingga dia mendapatkan nilai yang sempurna pula. Setiap orang di kelas lantas
berdecak kagum sekaligus memunculkan pertanyaan tepat di ubun-ubun kepala mereka. Pertanyaan yang berbobot investigasi, pertanyaan yang muncul dari mekanisme otak
yang gegar karena mungkinnya kemustahilan: kenapa bisa?
Suatu kewajaran jika orang-orang mulai
bertanya-tanya. sebab, ini sulit dipercaya. Kecerdasan Didit pas-pasan. Berbuat curang juga
peluangnya amat kecil. Sebab Pak Nasrun, guru sosiologi waktu itu, memang terkenal ketat dan kaku pada setiap saat
mengawasi jalannya ujian di kelas. Dia semacam guru yang paling menakutkan:
keseraman yang tak tertandingi. Saking ketat dan kakunya, setiap soal ujian
mesti dijawab sesuai dengan isi buku jika ingin mendapatkan nilai yang
sempurna. Bayangkan saja waktu itu, Buku
babon dikumpul. Setiap orang diperiksa terlebih dahulu olehnya dari ujung
kepala sampai ujung kaki untuk memastikan tak ada “pelampung[1]”
yang berhasil meringsuk masuk di kelas. Sorot matanya yang tajam seolah-olah
bekerja secara mekanis dalam memantau gerak-gerik tubuh, seperti CCTV, atau
seperti lampu sorot Panopticon, gedung
tahanan yang amat disiplin dan horor se-dunia, sehingga memustahilkan setiap
orang di kelas bisa bebas menyontek. Inilah Kehati-hatian yang detail.
Kewaspadaan yang mungkin berlebihan jika semut saja mustahil menyelonong masuk
kelas tanpa izin Pak Nasrun. Maka bukan
tak mungkin pertanyaan “kenapa bisa” serentak menyeruduk masuk direlung kepala
setiap orang pada saat Didit meraih nilai yang sempurna.
Syahdan, Sejak hari itu, desas-desus
mulai bermunculan. Hampir setiap orang di kelas menudingnya telah diselamatkan
oleh pelampung yang entah bagaimana caranya, berhasil diselundupkannya kemudian
berhasil diconteknya. Orang-orang kemudian mulai berdatangan mengerumuninya
hanya untuk diajari kiat-kiat mengelabuhi Pak Nasrun. Tapi, Didit selalu
bersikeras tidak mau mengakui kalau nilai sempurnanya adalah hasil dari bantuan
pelampung, atau melalui kecurangan umum lainnya dari pelajar binal yang melulu
mau instan. orang-orang tidak lantas percaya begitu saja, hingga memaksanya membuka
rahasia yang selama ini disembunyikannya: dia mengaku memiliki mata sakti,
kemampuan yang menurut pendakuannya, dipelajarinya dalam pertapaan tiga hari
tiga malam di puncak gunung bawakaraeng, kemampuan yang membuatnya dapat
mengamati setiap teks yang terdapat di buku babon yang waktu itu disita
sementara oleh Pak Nasrun. Awalnya orang-orang hanya menganggap sebagai lelucon
yang menggelitik perut. Kepercayaan itu kian tumbuh saat Didit mengetahui jumlah
uang isi dompet Mayong, teman sekelas ku waktu itu, yang juga lagi nimbrung di tengah-tengah
kerumunan. Untuk lebih membuktikannya saya meminta Didit menyebut juga isi
dompet saya. Dan, sungguh ajaib! Dia mengetahui bahwa dompet saya tak berisi
uang. Takjub tapi juga sekaligus malu karena akhirnya saya terlihat kere di hadapan orang-orang yang turut
menyaksikan pertunjukan mirip sulap dari didit, dan lebih malu lagi karena ada
Elena yang juga ikut berkerubung heboh, gadis yang saya taksir tapi tidak pernah
berhasil merebut hatinya.
Karena sudah terlanjur malu, pikiran
saya mulai tak terkendali. Hingga saya terus ingin menguji kemampuan palsu
Didit dengan menyuruh menebak ini dan itu, apa saja. Tapi tak urung dilakukan,
sebab pendakuannya, mata sakti yang dimilikinya tak boleh dipakai sembarangan
apa lagi hanya untuk main-main, dan hanya ingin menggunakannya pada momen yang
penting dan genting saja. Sebab, kemudian hari, jika melulu digunakan, ia
menyisakan efek pada si pengguna: kebutaan dan distorsi kejiwaan. Ini sungguh
konyol bagiku. Kemampuan seperti itu hanya ada di film-film anime hasil rekayasa imajinasi liar
komikus Jepang yang tidak benar-benar ada. Saya menduga hasil tebak-tebakan Didit
hanyalah kebetulan saja. Oleh karena ia sadar keberuntungan hanya sekali-dua
kali, itulah alasannya dia tak mau menerima tantanganku lagi. Tapi, tiba-tiba
orang-orang menjadi ikut-ikutan gila karena mau mempercayai kemampuan palsu
Didit. Aku merasa hanya aku sendirilah yang masih rasional di tengah-tengah
riuh rendah kerumunan.
Sehari setelah kejadian itu, Didit
mendapat predikat “Sakti mandraguna”. Sampai-sampai para siswi kerap meluapkan
kemarahan saat ketika Didit terus memandanginya. Sorot matanya menyisakan efek
psikologis bagi objek tatapannya. Dan ini sudah pasti. Sebab ia dikira punya
mata sakti. Selain Hitler atau Fir’aun, mungkin Didit-lah salah satu manusia
yang sampai tatapan matanya adalah intimidasi. Berkali-kali sering kukatakan
kepada para siswi untuk tak usah begitu percaya kepada pendakuan Didit tentang
kehebatan matanya. Tapi tak jua
menyembuhkan mental mereka dari bayang-bayang mata keramat Didit. barangkali,
inilah salah satu kesialan menjadi orang Indonesia, jika bertemu fakta yang seolah-olah keluar
dari rumusan normal kenyataan, pasti disangka sebagai hal-ihwal yang magis.
Yang bisa kulakukan hanyalah menenangkan kondisi psikis mereka dengan terpaksa
mengatakan bahwa Didit, sesuai yang dikatakannya tempo hari, tak akan
sembarangan menggunakan mata saktinya pada hal-hal yang tak penting dan
genting. Maka tenang saja, ucapku untuk melegahkan perasaan mereka. Tapi
menurutku, ini tak boleh berlangsung terus menerus. Kebenaran harus dinyatakan.
Aku harus menyusun rencana yang sekiranya amat penting dan genting buat Didit,
agar ia bisa dipaksa menggunakan mata saktinya sekali lagi, untuk membuktikan
sebenar-benarnya. Tapi, ke esokan harinya, saat rencana yang telah kubuat
dengan matang menunggu untuk dipraktekkan, Didit telah pindah sekolah di
Pare-pare. Ini sekaligus membawa kabar baik juga sebagai kabar buruk, sebab
meskipun tatapan Didit adalah intimidasi, tapi, sebagai seorang sahabat kami,
dia juga menyisakan perasaan bersalah dan kehilangan. Sampai saat ini, alasan
kepindahannya belum kuketahui.
***
Sudah satu jam saya menunggu kedatangan
Didit. Dan sekarang, awan seperti kapas yang dilumuri tinta hitam, langit makin
mendung. Untung saja Eva tidak terlihat bosan. Memang dia merencanakan untuk ke
warkop, untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Dia punya aktivitas yang membuatnya
harus berlama-lama di warkop. Syukurlah, ini membuat saya tidak mesti
terburu-buru untuk segera pulang ke rumah. Ini membuat saya bisa menunggu Didit
meski dalam jangka waktu yang cukup lama. Tapi, bagaimana jika hujan deras
mengguyur Bumi? Apakah Didit tetap akan berupaya mencariku meski ditantang oleh
deras hujan? Ini membuatku merasa perlu untuk memberi tahu letak posisiku saat
ini, di warkop mana saya berada sakrang, apa alamatnya, sebelum hujan deras
tiba menyerbu. Lagi pula, saya sudah yakin kalau Didit memang tidak punya mata
sakti itu. sepertinya dia juga sudah menyerah untuk mencariku. Itu ditandai
dengan sudah tidak adanya pesan BBm atau panggilan teleponnya yang menghampiri handpone saya. Dia mungkin sudah
menyerah.
“Kak, bukankah itu Kak Didit, apa yang
dilakukannya disini?” seru Eva. Serentak saya kaget dan menoleh ke arah yang
ditunjukkan Eva. Sial! Dia benar mempunyai mata sakti itu.
“Hei Bro, Hai Eva” Didit menyapa.
“bagaimana caranya kau...”, tiba-tiba
Didit menyalip ucapanku “Bro, saya kan punya mata sakti... hahahahahaha”
Ternyata dia sudah tahu bahwa saya tak
mengangkat panggilan teleponnya dan membalas pesan BBM-nya, untuk menguji
kemampuannya. Sebab, dia tahu cuma saya yang begitu ambisius untuk mencari tahu
misteri mata sakti yang dimilikinya, di antara teman-teman sekelas di masa SMA
dulu. Mau tak mau aku harus menyerahkan akal sehatku untuk tunduk pada
gejala-gejala magis, sebuah simptom
yang berusaha untuk tidak kupercayai.
“sudah...sudah... jangan dipikirkan
terlalu dalam bro, mata sakti itu tidak ada, hahahahaha” dia tertawa
terbahak-bahak sesaat setelah mengakui kalau mata sakti yang dimilikinya
sebenarnya palsu! Aku kaget. Dia tiba-tiba menyangsikan apa yang terpaksa sudah
saya akui. Ini sungguh mengherankan.
Di sinilah Didit menceritakan semua kesuksesan
tebak-menebaknya.
Jadi dulu, waktu menjalani ujian
sosiologi, dia memang menyelundupkan pelampung, sebuah kertas yang isinya
adalah catatan-catatan utuh yang menjadi jawaban dari setiap soal ujian dari
Pak Nasrun, yang disembunyikannya di dalam laci bangku di bagian atasnya. Untuk
bisa menempel, dia menyelipkan kertas itu dengan menggunakan penahan yang
terbuat dari kertas juga, dan diberi plester agar dapat menahan kertas yang
sudah berisikan soal dan jawabannya. Kertas itulah yang kemudian dikumpulnya
pada saat selesai ujian. Sebenarnya dia juga merasa tegang dan cemas pada saat
Pak Nasrun memeriksa setiap laci bangkunya, dan beruntungnya, guru killer itu tidak memeriksa bagian atas
dalam lacinya. Jika laci bangku itu terlihat kosong olehnya, dia menuju ke
bangku yang lain dan yang lainnya. Nah, yang menjadi misteri dari saya adalah
bagaiman Didit bisa mengetahui soal-soal ujian sebelum ujian berlangsung? Ternyata
dia mendapatkan kertas jawaban itu dari tempat Fotocopy yang tak jauh dari sekolah. Pada saat Pak Nasrun
memperbanyak soal ujian di tempat Fotocopy
tersebut, tanpa sengaja dia meninggalkan selembar kertas soal ujian yang
akan diberikan oleh masing-masing siswa. Tak lama setelah kepergian Pak Nasrun,
Didit kemudian datang ditempat tersebut untuk membeli pulpen, dan melihat
lembaran kertas itu. Dia langsung tahu kalau selembar kertas itu berisikan soal
untuk ujian sosiologi di kelasnya besok sebab, disitu tertera tulisan “Soal ujian mata
pelajaran sosiologi untuk kelas III IPS 2” . Dari sinilah kecurangannya
dimulai.
Untuk bagian tebak-tebakan isi dompet,
dia memang sudah mengetahui jumlah uang Mayong, sebab, sebelumnya, tanpa
sengaja dia melihat Mayong menghitung uangnya dibalik jendela kelas saat Didit
mencari-cari Jamot, teman kelas ku juga.
Tebakannya sebenarnya bisa salah andai Mayong membelanjakan sebagian
uangnya. Tapi, beruntungnya lagi, perempuan keturunan Cina itu tidak
membelanjakan se-persen-pun uang yang di dalam dompetnya. Nah, terus, bagaimana dia bisa menebak isi
dompetku? Ternyata dia paham betul kalau saya sudah tiga hari lagi boke’. Sebab, setiap hari dia melihatku
tidak jajan, dan hanya bisa jajan kalau saya bersama Eva. Memang, waktu itu,
tiga hari berturut-turut saya menyetor uang untuk membayar utang kepada pemilik
bengkel depan sekolah. Dia memperbaiki motor saya yang rusak tapi saya belum
bisa membayarnya langsung. Mau tak mau saya harus menyicilnya setiap hari dan
setiap hari pula saya harus memberi semua uang jajanku agar bisa lunas sesuai
waktu yang telah kusepakati dengan pemilik bengkel itu. Ternyata Didit tahu juga
itu, sebab, Didit memang sangat akrab dengan pemilik bengkel itu dan
menceritakan semuanya kepada Didit soal utang saya kepadanya. Jadi, melalui
hubungan dua peristiwa itulah dia menyimpulkan bahwa saya tak punya uang jika
sudah berada di dalam sekolah.
Saya baru sadar ternyata Didit secerdas
itu. Masyarakat sekolah waktu itu telah salah menuding Didit hanya punya
kecerdasan yang pas-pasan. Didit
bukan tipe “generasi hafalan”. Kecedasannya terletak pada kemampuan analisisnya
yang kuat. Dia punya illative sence[2] yang cukup
tangguh. Tapi, bagaimana dia bisa menemukanku di Warkop ini? Untuk kasus ini,
Didit memang mencariku di setiap warkop-warkop yang cukup populer ditongkrongi
anak muda. Saat melihat Warkop ini, dia merasa kalau saya ada di dalam sini.
Dia mengandalkan intuisi. dan dia menganggap ini suatu kebetulan saja.
Intuisinya menebak saya berada di sini bersama Eva. Hmmm..... intuisi.....
mungkinkah sesakti itu? mungkin inilah yang disebut mata hati? Dan haruskah aku
percaya ini? barangkali aku harus melihat hubungan antara intuisi, Didit dan
Eva. Keduanya terlihat akrab, padahal sebelumnya tak seperti ini []
Komentar
Posting Komentar