Mata Sakti, Mata Hati


Menunggu memang amat membosankan. Tapi sebenarnya Didit, sahabat saya semenjak SMA, bisa datang dengan cepat andai saja kuangkat panggilan teleponnya atau membalas pesan BBM nya yang sedari tadi menghampiri handpone  saya tiada henti. Apalagi posisinya tak jauh dari warkop yang kutongkrongi.

Nah, handpone saya berdering kembali, tanda dia menghubungiku. Ini sudah pasti, Sebab saya hanya membuat janji dengannya ketemu di sebuah warkop, tapi tidak memberitahukan nama warkop dan alamatnya. Sebenarnya saya merasa bersalah juga tidak mengangkat panggilan telponnya, dan tidak membalas pesan BBM-nya. Saya juga ingin segera bertemu dengannya, bercerita banyak hal. Tapi, saya merasa inilah momennya. Saya ingin dia menemukanku sendiri tanpa arahan langsung dari saya, untuk sekadar membuktikan kesaktiannya sekali lagi.

Oleh banyak teman-teman semasa SMA saya, dia sudah terlanjur diyakini memiliki mata sakti yang sanggup melihat sesuatu dari arah kejauhan yang bahkan jauh lebih hebat dari jangkauan teropong yang paling mutakhir, juga dapat mengamati sesuatu meskipun ditutupi oleh benda yang paling padat sekalipun. Kepercayaan yang menurutku sangat konyol itu bermula sejak kelas tiga SMA semester pertama. Jadi, jika dia masih memiliki, atau lebih tepatnya, memang memiliki mata sakti itu, maka ia sedari tadi telah menemukanku di tempat ini, di warkop yang sudah berbulan-bulan menjadi tempat ku menyemai inspirasi dan ide, atau hanya sekedar nimbrung saja.

 Pikirku, dia akan mengusahakan menemukanku. Kalau dia punya kesaktian itu, dia pasti akan menggunakannya untuk menerawang letak posisiku saat ini.  Sebab, sejak  kuambil nomor telepon dan PIN BBM nya kemarin sore pada pertemuan yang tak disengaja, di hari ini, saya mengirimkan pesan via BBM  untuk mengajaknya bersua di warkop kesukaanku ini, bercerita bahnyak hal, tentang ini dan itu, apa saja, sekaligus mempertemukannya dengan adikku, Evi, yang dari dulu ditaksirnya tapi tidak kurestui meskipun beberapa kali dia telah mencoba untuk menegosiasikannya dengan saya. Di sinilah saya akan mengujinya sekali lagi. Kalau dia memiliki mata sakti itu, dia pasti akan menemukanku dan akan kurelakan adikku untuk dipacari olehnya sampai kepelaminan, sebagai permintaan maaf karena tidak mempercayai kemampuan khususnya itu, kesaktian yang sampai saat ini belum diterima oleh akal sehatku. Saya memang beda dengan para teman SMA ku dulu. Saya tidak mempercayai kemampuan matanya yang dikira sakti itu. Cuma mereka saja yang dengan dungunya mempercayainya begitu saja. Itu dimulai sejak Didit berhasil memecahkan rekor yang belum pernah dipecahkan bahkan oleh seorang juara satu di kelas sekalipun. Jadi, ceritanya seperti ini:

Waktu itu diselenggarakan ujian mata pelajaran sosiologi. Didit berhasil menjawab dengan sempurna setiap soal ujian, sehingga dia mendapatkan nilai yang sempurna pula. Setiap orang di kelas lantas berdecak kagum sekaligus memunculkan pertanyaan tepat di ubun-ubun kepala mereka.  Pertanyaan yang berbobot investigasi,  pertanyaan yang muncul dari mekanisme otak yang gegar karena mungkinnya kemustahilan: kenapa bisa?

Suatu kewajaran jika orang-orang mulai bertanya-tanya. sebab, ini sulit dipercaya. Kecerdasan Didit pas-pasan. Berbuat curang juga peluangnya amat kecil. Sebab Pak Nasrun, guru sosiologi waktu itu,  memang terkenal ketat dan kaku pada setiap saat mengawasi jalannya ujian di kelas. Dia semacam guru yang paling menakutkan: keseraman yang tak tertandingi. Saking ketat dan kakunya, setiap soal ujian mesti dijawab sesuai dengan isi buku jika ingin mendapatkan nilai yang sempurna.  Bayangkan saja waktu itu, Buku babon dikumpul. Setiap orang diperiksa terlebih dahulu olehnya dari ujung kepala sampai ujung kaki untuk memastikan tak ada “pelampung[1]” yang berhasil meringsuk masuk di kelas. Sorot matanya yang tajam seolah-olah bekerja secara mekanis dalam memantau gerak-gerik tubuh, seperti CCTV, atau seperti lampu sorot Panopticon, gedung tahanan yang amat disiplin dan horor se-dunia, sehingga memustahilkan setiap orang di kelas bisa bebas menyontek. Inilah Kehati-hatian yang detail. Kewaspadaan yang mungkin berlebihan jika semut saja mustahil menyelonong masuk kelas tanpa izin Pak Nasrun.  Maka bukan tak mungkin pertanyaan “kenapa bisa” serentak menyeruduk masuk direlung kepala setiap orang pada saat Didit meraih nilai yang sempurna.

Syahdan, Sejak hari itu, desas-desus mulai bermunculan. Hampir setiap orang di kelas menudingnya telah diselamatkan oleh pelampung yang entah bagaimana caranya, berhasil diselundupkannya kemudian berhasil diconteknya. Orang-orang kemudian mulai berdatangan mengerumuninya hanya untuk diajari kiat-kiat mengelabuhi Pak Nasrun. Tapi, Didit selalu bersikeras tidak mau mengakui kalau nilai sempurnanya adalah hasil dari bantuan pelampung, atau melalui kecurangan umum lainnya dari pelajar binal yang melulu mau instan. orang-orang tidak lantas percaya begitu saja, hingga memaksanya membuka rahasia yang selama ini disembunyikannya: dia mengaku memiliki mata sakti, kemampuan yang menurut pendakuannya, dipelajarinya dalam pertapaan tiga hari tiga malam di puncak gunung bawakaraeng, kemampuan yang membuatnya dapat mengamati setiap teks yang terdapat di buku babon yang waktu itu disita sementara oleh Pak Nasrun. Awalnya orang-orang hanya menganggap sebagai lelucon yang menggelitik perut. Kepercayaan itu kian tumbuh saat Didit mengetahui jumlah uang isi dompet Mayong, teman sekelas ku waktu itu, yang juga lagi nimbrung di tengah-tengah kerumunan. Untuk lebih membuktikannya saya meminta Didit menyebut juga isi dompet saya. Dan, sungguh ajaib! Dia mengetahui bahwa dompet saya tak berisi uang. Takjub tapi juga sekaligus malu karena akhirnya saya terlihat kere di hadapan orang-orang yang turut menyaksikan pertunjukan mirip sulap dari didit, dan lebih malu lagi karena ada Elena yang juga ikut berkerubung heboh, gadis yang saya taksir tapi tidak pernah berhasil merebut hatinya.

Karena sudah terlanjur malu, pikiran saya mulai tak terkendali. Hingga saya terus ingin menguji kemampuan palsu Didit dengan menyuruh menebak ini dan itu, apa saja. Tapi tak urung dilakukan, sebab pendakuannya, mata sakti yang dimilikinya tak boleh dipakai sembarangan apa lagi hanya untuk main-main, dan hanya ingin menggunakannya pada momen yang penting dan genting saja. Sebab, kemudian hari, jika melulu digunakan, ia menyisakan efek pada si pengguna: kebutaan dan distorsi kejiwaan. Ini sungguh konyol bagiku. Kemampuan seperti itu hanya ada di film-film anime hasil rekayasa imajinasi liar komikus Jepang yang tidak benar-benar ada. Saya menduga hasil tebak-tebakan Didit hanyalah kebetulan saja. Oleh karena ia sadar keberuntungan hanya sekali-dua kali, itulah alasannya dia tak mau menerima tantanganku lagi. Tapi, tiba-tiba orang-orang menjadi ikut-ikutan gila karena mau mempercayai kemampuan palsu Didit. Aku merasa hanya aku sendirilah yang masih rasional di tengah-tengah riuh rendah kerumunan.

Sehari setelah kejadian itu, Didit mendapat predikat “Sakti mandraguna”. Sampai-sampai para siswi kerap meluapkan kemarahan saat ketika Didit terus memandanginya. Sorot matanya menyisakan efek psikologis bagi objek tatapannya. Dan ini sudah pasti. Sebab ia dikira punya mata sakti. Selain Hitler atau Fir’aun, mungkin Didit-lah salah satu manusia yang sampai tatapan matanya adalah intimidasi. Berkali-kali sering kukatakan kepada para siswi untuk tak usah begitu percaya kepada pendakuan Didit tentang kehebatan matanya.  Tapi tak jua menyembuhkan mental mereka dari bayang-bayang mata keramat Didit. barangkali, inilah salah satu kesialan menjadi orang Indonesia,  jika bertemu fakta yang seolah-olah keluar dari rumusan normal kenyataan, pasti disangka sebagai hal-ihwal yang magis. Yang bisa kulakukan hanyalah menenangkan kondisi psikis mereka dengan terpaksa mengatakan bahwa Didit, sesuai yang dikatakannya tempo hari, tak akan sembarangan menggunakan mata saktinya pada hal-hal yang tak penting dan genting. Maka tenang saja, ucapku untuk melegahkan perasaan mereka. Tapi menurutku, ini tak boleh berlangsung terus menerus. Kebenaran harus dinyatakan. Aku harus menyusun rencana yang sekiranya amat penting dan genting buat Didit, agar ia bisa dipaksa menggunakan mata saktinya sekali lagi, untuk membuktikan sebenar-benarnya. Tapi, ke esokan harinya, saat rencana yang telah kubuat dengan matang menunggu untuk dipraktekkan, Didit telah pindah sekolah di Pare-pare. Ini sekaligus membawa kabar baik juga sebagai kabar buruk, sebab meskipun tatapan Didit adalah intimidasi, tapi, sebagai seorang sahabat kami, dia juga menyisakan perasaan bersalah dan kehilangan. Sampai saat ini, alasan kepindahannya belum kuketahui.

***

Sudah satu jam saya menunggu kedatangan Didit. Dan sekarang, awan seperti kapas yang dilumuri tinta hitam, langit makin mendung. Untung saja Eva tidak terlihat bosan. Memang dia merencanakan untuk ke warkop, untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Dia punya aktivitas yang membuatnya harus berlama-lama di warkop. Syukurlah, ini membuat saya tidak mesti terburu-buru untuk segera pulang ke rumah. Ini membuat saya bisa menunggu Didit meski dalam jangka waktu yang cukup lama. Tapi, bagaimana jika hujan deras mengguyur Bumi? Apakah Didit tetap akan berupaya mencariku meski ditantang oleh deras hujan? Ini membuatku merasa perlu untuk memberi tahu letak posisiku saat ini, di warkop mana saya berada sakrang, apa alamatnya, sebelum hujan deras tiba menyerbu. Lagi pula, saya sudah yakin kalau Didit memang tidak punya mata sakti itu. sepertinya dia juga sudah menyerah untuk mencariku. Itu ditandai dengan sudah tidak adanya pesan BBm atau panggilan teleponnya yang menghampiri handpone saya. Dia mungkin sudah menyerah.

“Kak, bukankah itu Kak Didit, apa yang dilakukannya disini?” seru Eva. Serentak saya kaget dan menoleh ke arah yang ditunjukkan Eva. Sial! Dia benar mempunyai mata sakti itu.

“Hei Bro, Hai Eva” Didit menyapa.

“bagaimana caranya kau...”, tiba-tiba Didit menyalip ucapanku “Bro, saya kan punya mata sakti... hahahahahaha”

Ternyata dia sudah tahu bahwa saya tak mengangkat panggilan teleponnya dan membalas pesan BBM-nya, untuk menguji kemampuannya. Sebab, dia tahu cuma saya yang begitu ambisius untuk mencari tahu misteri mata sakti yang dimilikinya, di antara teman-teman sekelas di masa SMA dulu. Mau tak mau aku harus menyerahkan akal sehatku untuk tunduk pada gejala-gejala magis, sebuah simptom yang berusaha untuk tidak kupercayai.

“sudah...sudah... jangan dipikirkan terlalu dalam bro, mata sakti itu tidak ada, hahahahaha” dia tertawa terbahak-bahak sesaat setelah mengakui kalau mata sakti yang dimilikinya sebenarnya palsu! Aku kaget. Dia tiba-tiba menyangsikan apa yang terpaksa sudah saya akui. Ini sungguh mengherankan. Di sinilah  Didit menceritakan semua kesuksesan tebak-menebaknya.

Jadi dulu, waktu menjalani ujian sosiologi, dia memang menyelundupkan pelampung, sebuah kertas yang isinya adalah catatan-catatan utuh yang menjadi jawaban dari setiap soal ujian dari Pak Nasrun, yang disembunyikannya di dalam laci bangku di bagian atasnya. Untuk bisa menempel, dia menyelipkan kertas itu dengan menggunakan penahan yang terbuat dari kertas juga, dan diberi plester agar dapat menahan kertas yang sudah berisikan soal dan jawabannya. Kertas itulah yang kemudian dikumpulnya pada saat selesai ujian. Sebenarnya dia juga merasa tegang dan cemas pada saat Pak Nasrun memeriksa setiap laci bangkunya, dan beruntungnya, guru killer itu tidak memeriksa bagian atas dalam lacinya. Jika laci bangku itu terlihat kosong olehnya, dia menuju ke bangku yang lain dan yang lainnya. Nah, yang menjadi misteri dari saya adalah bagaiman Didit bisa mengetahui soal-soal ujian sebelum ujian berlangsung? Ternyata dia mendapatkan kertas jawaban itu dari tempat Fotocopy yang tak jauh dari sekolah. Pada saat Pak Nasrun memperbanyak soal ujian di tempat Fotocopy tersebut, tanpa sengaja dia meninggalkan selembar kertas soal ujian yang akan diberikan oleh masing-masing siswa. Tak lama setelah kepergian Pak Nasrun, Didit kemudian datang ditempat tersebut untuk membeli pulpen, dan melihat lembaran kertas itu. Dia langsung tahu kalau selembar kertas itu berisikan soal untuk ujian sosiologi di kelasnya besok sebab,  disitu tertera tulisan “Soal ujian mata pelajaran sosiologi untuk kelas III IPS 2” . Dari sinilah kecurangannya dimulai.

Untuk bagian tebak-tebakan isi dompet, dia memang sudah mengetahui jumlah uang Mayong, sebab, sebelumnya, tanpa sengaja dia melihat Mayong menghitung uangnya dibalik jendela kelas saat Didit mencari-cari Jamot, teman kelas ku juga.  Tebakannya sebenarnya bisa salah andai Mayong membelanjakan sebagian uangnya. Tapi, beruntungnya lagi, perempuan keturunan Cina itu tidak membelanjakan se-persen-pun uang yang di dalam dompetnya.  Nah, terus, bagaimana dia bisa menebak isi dompetku? Ternyata dia paham betul kalau saya sudah tiga hari lagi boke’. Sebab, setiap hari dia melihatku tidak jajan, dan hanya bisa jajan kalau saya bersama Eva. Memang, waktu itu, tiga hari berturut-turut saya menyetor uang untuk membayar utang kepada pemilik bengkel depan sekolah. Dia memperbaiki motor saya yang rusak tapi saya belum bisa membayarnya langsung. Mau tak mau saya harus menyicilnya setiap hari dan setiap hari pula saya harus memberi semua uang jajanku agar bisa lunas sesuai waktu yang telah kusepakati dengan pemilik bengkel itu. Ternyata Didit tahu juga itu, sebab, Didit memang sangat akrab dengan pemilik bengkel itu dan menceritakan semuanya kepada Didit soal utang saya kepadanya. Jadi, melalui hubungan dua peristiwa itulah dia menyimpulkan bahwa saya tak punya uang jika sudah berada di dalam sekolah.

Saya baru sadar ternyata Didit secerdas itu. Masyarakat sekolah waktu itu telah salah menuding Didit hanya punya kecerdasan yang pas-pasan. Didit bukan tipe “generasi hafalan”. Kecedasannya terletak pada kemampuan analisisnya yang kuat. Dia punya illative sence[2] yang cukup tangguh. Tapi, bagaimana dia bisa menemukanku di Warkop ini? Untuk kasus ini, Didit memang mencariku di setiap warkop-warkop yang cukup populer ditongkrongi anak muda. Saat melihat Warkop ini, dia merasa kalau saya ada di dalam sini. Dia mengandalkan intuisi. dan dia menganggap ini suatu kebetulan saja. Intuisinya menebak saya berada di sini bersama Eva. Hmmm..... intuisi..... mungkinkah sesakti itu? mungkin inilah yang disebut mata hati? Dan haruskah aku percaya ini? barangkali aku harus melihat hubungan antara intuisi, Didit dan Eva. Keduanya terlihat akrab, padahal sebelumnya tak seperti ini []


[1] Pelampung di sini adalah metafor untuk menggambarkan kertas jawaban atau catatan-catatan yang ilegal untuk dilihat oleh siswa secara diam-diam demi kepentingan menjawab soal-soal ujian.
[2] Illative Sence adalah kemampuan melihat kompleksitas dari hal-hal yang sederhana

Komentar

Populer Sepekan