Ilusi Identitas dan Sindiran Lacan
Seseorang bisa saja mengatakan dirinya aku bugis, aku makassar, aku cantik, aku tampan , aku........... Tapi bagaimana jika segala identitas manusia tak lahir dari otonomi kesadarannya sendiri? Maka, dari sini, muncul pertanyaan baru: kalau begitu, dari mana identitas kita bermula? Di sinilah manusia disindir tanpa ampun oleh pemikir yang satu ini: Jacques Lacan. Menurut Lacan, seorang psikoanalis tersohor, "aku", sebut saja juga ego, sebenarnya hanyalah ilusi, hanyalah produk dari ketidaksadaran.
Sindiran Lacan bisa kita
interpretasikan seperti ini: Jika kesadaran_menilik cogito Cartesian_ adalah ego rasional dan memegang kendali atas
diri, maka, ketidaksadaran adalah diri irasional dan diri yang dikendalikan
oleh bukan dirinya: sang lain (selanjutnya disebut Liyan). Pengendalian “diri” oleh liyan, tak lain dan tak bukan, justru karena diri tak memiliki pusat kendali:
kesadaran itu. Sehingga, intervensi liyan terus menghantui sang subjek melalui
apa yang Lacan sebut sebagai hasrat. Maka, apa yang dimaksud identitas hanyalah
sebuah konstruksi dari proses identifikasi seseorang melalui liyan. Identifikasi
ini, pastinya bermula dari meluapnya hasrat, yang nantinya mendorong keinginan
untuk “menjadi” dan “memiliki”, sembari mengejar kepuasan diri.
Di
zaman ini, suatu masa di mana setiap orang ingin diakui, selalu akan ada
individu yang bersedia merumuskan dirinya sebagaimana hasratnya memagut citra
ideal sang liyan. Maka orang lain selalu adalah cermin untuk memastikan bahwa
di hadapanku juga adalah diriku. Identifikasi demikian selalu akan berakhir pada
pemantapan identitas melalui peniruan citra ideal dari orang-orang yang selalu
ibarat cermin. Hal demikian sudah menjadi semacam hukum penyusunan individu
yang bermula sejak seseorang berada dalam keadaan masih bayi, sejak seseorang,
yang dalam bayangan Lacan, sudah berusia 6 bulan.
Pada mulanya melalui cermin sungguhan. Sang
bayi melihat bayangannya di cermin dan mengidentifikasi citra cermin sebagai
dirinya yang utuh yang sebenarnya bayangan
dirinya, bukan diri yang sebenarnya: citra cermin sebenarnya berposisi sebagai liyan. Maka menurut Lacan, sejak kecil,
seseorang sudah salah mengenali tentang “ke-aku-an-nya”. Di sinilah ego
sang anak yang dihadirkannya melalui identifikasi tadi, dengan sendirinya
mengalami keretakan, ia terbelah antara dirinya dan imaji tentang dirinya
(Robert: 2010). Hal tersebut terus berlangsung saat sang anak membentuk
identitasnya dengan menghasrati citra yang nampak dalam cermin hiperbolis (ibu,
ayah, kakak dan orang lain).
Kulminasi dari pembentukan identitas
manusia, pada saat memasuki ranah simbolik, saat di mana manusia telah mengenal
bahasa. Lacan membahasakan ranah simbolik sebagai arena manusia memasuki
kebudayaan. Pada fase ini, identitas manusia selalu adalah hasil fabrikasi oleh
sistem penandaan (penanda dan petanda) yang
terhampar menjalin dalam struktur bahasa. Konsep hukum penanda diadopsi
Lacan dari Ferdinand de Saussure. Sedang, penanda
sebagai gambaran mental dan petanda
konsep yang di asosiasikan dengan bunyi tersebut (Robert: 2010). Sistem penandaan
dalam bahasa akan menjadi hukum yang dipatuhi seseorang sebagai syarat terbentuknya
identitas: laki-laki adalah laki-laki karena ia bukan Perempuan. Relasi
penanda dalam sistem oposisi-biner seperti itu akan menjadi perangkap simbolik
sang subjek guna mengkonstitusi identitasnya.
Maka
jati diri seseorang sebagai “aku” selalu tersusun menurut intervensi jejaring
penandaan dalam struktur bahasa. Terkadang selalu melalui “kata orang”: kalau ingin menjadi
cantik/tampan dan fashionable harus
memiliki atribut yang juga dipakai artis tersohor. Atau bisa juga seperti ini
bentuk "kata orang": lelaki itu kuat, tangkas dan bekerja, sedang perempuan
lemah lembut dan mengasihi dan sebagainya dan seterusnya. bagaimana dengan kata
iklan? : Apapun makanannya, minumnya teh botol sosro.
Sebelum dilanjut, saya minum kopi dan merokok dulu...
Syahdan, sampai disini, ada yang
sebenarnya tak beres dari konstruk identitas manusia. Oleh karena identitas
hanyalah fabrikasi tatanan simbolik, maka identitas tak pernah utuh mengisi dan
menyatu pada diri dalam totalitas. Itu artinya, objek hasrat yang ingin direngkuh
sebagai identitas selalu menghilang, atau lebih tepatnya selalu di sangka
hilang.
Di sini, Lacan hanya ingin mengatakan bahwa
sang individu tidak akan pernah merengkuh secara utuh objek hasrat, oleh karena selalunya objek hasrat melecut
dalam kenikmatan memagutnya. Sebab, sistem penandaan yang berseliweran
membentuk identitas, menyemai makna yang juga selalu tergelincir, tak
terjangkar dan tak pernah tetap.
Bagi Lacan, setiap kata tak harus
merujuk kata yang lain, seperti yang dikira Saussure. sistem penandaan senang
tiasa tidak stabil dan manasuka. Ia independen, dan membentuk dirinya sendiri.
Kita ambil contoh ringan dari Donny: cobalah berpikir tentang orang baik yang
juga seorang pemberontak atau pejuang kemerdekaan. Meskipun individunya sama,
sikap kita terhadapnya benar-benar berbeda. Kata “orang” bisa menjadi
“manusia”, “mamalia, atau “hewan” (2011).
Maka, seperti misalnya penanda fashinable yang dilekatkan sebagai identitas seseorang, bisa sebagai ihwal kemoderenaan yang menawan, juga bisa sebagai ihwal yang menjijikkan ketika direlasikan dengan penanda alay. Maka dari sini, terkadang sang individu yang sudah merasa fashionable, kemudian tidak lagi merasakannya saat ia dibilangi jijik karena identitasnya itu.
Tapi, ke-selalu-hilang-an identitas
manusia justru membuat manusia tak pernah puas karena merasa tidak merebut
objek penyebab hasratnya. Melalui ketidakpuasan itulah manusia selalu akan
bertindak untuk mencapai kepuasan diri agar kembali merengkuh identitasnya yang
sebenarnya tak pernah ada sebagai keutuhan. Yang merasa pesolek selalu tak akan
puas kalau ada sebuah penanda bahasa yang menawarkan gaya berhias baru dan
orang lain sudah mulai merayakannya. Tapi tetap, bagaimanapun juga, diri
menawan dari para pesolek tak akan pernah direngkuh sepenuhnya sebagai
identitas utuh: ia selalu adalah ilusi.
Tak direngkuhnya objek penyebab hasrat
itu, justru dibilangkan Lacan sebagai ranah Real manusia: yang Real dalam
manusia adalah ke-tak-penuh-an dan kekurangan itu. Mark Bracher membahasakan
fase Real Lacanian sebagai sebuah usaha untuk mendapatkan bagian yang hilang
dari yang ada pada seseorang (2009). Yang hilang tak lain dan tak bukan adalah
objek penyebab hasrat, atau Lacan membahasakan sebagai objek a, yang dalam bahasa Bracher, berfungsi
sebagai pusat dorongan tempat dibangunnya fantasi (2009). Objek a bisa juga dibilangkan sebagai objek
petit a atau objek a kecil: a = autre (other atau yang lain). Objek a inilah yang dihasrati sang subjek,
untuk dimiliki, untuk ditiru. Tapi karena ia adalah juga sebagai sesuatu yang
kabur, maka hasrat tak pernah sampai untuk berlabu memasang jangkarnya. Hasrat
selalu adalah hasrat yang salah arah ara, salah pengertian.
Daftar bacaan
Donny
gahral Adian. 2011. Setelah marxisme:
Sejumlah Teori Ideologi Kontemporer. KoeKoesan
Mark
Bracher. 2009. Jacques Lacan, Diskursus,
dan Perubahan Sosial: Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis. Jalasutra
Robertus
Robert. 2010. Manusia Politik: Subyek Radikal dan Politk Emansipasi di Era
Kapitalisme Global Menurut Slavoj Žižek. MarjinKiri
Komentar
Posting Komentar