Menukil Hikmah dalam Hikayat Batu dan Pohon Ara
Dahulu kala di Negeri Timur tengah, ada
kisah tentang saudagar kaya raya dan seorang anaknya yang masih belia. Kurang
lebih kisahnya seperti ini: di tengah terik matahari yang menyengat, sang saudagar
tengah mengadakan perjalanan bersama kafilahnya ditemani oleh anak semata
wayangnya. Di tengah perjalanan, sang anak memandang bebatuan dengan teratur yang
tersebar di setiap jalan yang mereka lalui. Kemudian sang anak bertanya kepada
ayahnya perkara bebatuan teratur itu. Sang ayah lantas menjawab bahwa di dalam
bebatuan itu ada benih pohon ara yang hidup yang sengaja ditanam oleh
pemiliknya agar tak mudah mati diterpa angin kencang. Mendengar jawaban itu,
sang anak berpikir sejenak kemudian berkata kepada ayahnya bukankah pohon ara
itu akan mati bila tertindis susunan batu yang berat? Dengan tersenyum sang
ayah berkata bahwa benih pohon ara memang lebih kecil jika dibandingkan oleh
susunan batu yang menindihnya. Tapi suatu saat, di tengah perjalanan waktu yang
tak singkat, benih pohon ara itu perlahan bertumbuh besar dan lebih besar
menjadi sebuah pohon ara yang utuh. Dalam pertumbuhannya menjadi pohon ara yang
utuh, susunan batu yang menindihnya pun akan terurai dan tumbang dengan kondisi
yang berantakan.
Dialog antara saudagar kaya dan anaknya
di atas belakangan menjadi sebuah kisah yang sangat populer. Orang-orang
kemudian lebih mengenalnya sebagai hikayat batu dan pohon ara. Ia pada akhirnya
menjadi salah satu hikayat yang terangkum dalam kisah 1001 malam. Seperti
hikayat yang lainnya, kisah tentang batu dan pohon ara punya hikmah yang
tersirat. Orang-orang lebih sering menafsirkannya sebagai kisah mengenai
optimisme hidup. bahwa segala kesulitan dalam hidup mestinya tak membuat kita
menjadi tertindih dan lemah. Justru seharusnya setiap kesulitan yang tengah
kita hadapi mestinya membuat kita menjadi bertumbuh kuat dan berani
menghadapinya.
Lantas, apa urgensi mengisahkan kembali
hikayat batu dan pohon ara? Dalam realitas sosial-kemanusiaan kita hari ini,
orang-orang kerap ditempa oleh beban hidup. Bentuknya bermacam-macam. Entah itu
kemiskinan, diskriminasi atau segala bentuk-bentuk intimidasi. Lantas, sedikit banyak jiwa sang
penderita selalu merasa kerdil di hadapan ragam macam beban hidup demikian. Jika
terlampau menyiksa batin, sedikit banyak sang penderita kerap memilih
menghindarinya dengan membunuh diri. Pun, ada juga yang bersikap pasrah dan menyerahkan
sepenuhnya kepada Tuhan tanpa adanya perjuangan untuk mengubah keadaan. Meminjam
tesis Paulo Freire, sikap pasrah demikian bisa dikaitkan dengan sikap
orang-orang yang berkesadaran magis: menganggap segala beban derita sebagai
sesuatu yang given, semacam kodrat
Ilahi yang mustahil bisa di ubah. Maka, jalan satu-satunya hanyalah berserah
diri.
Di sinilah hikayat batu dan pohon ara
menjadi penting untuk direnungkan. Bahwa hidup adalah soal
kemungkinan-kemungkinan: yang kecil dan remeh punya peluang untuk bertahan,
sedang yang besar, yang berat, yang tersulit, yang berkuasa, pada akhirnya
punya peluang untuk takluk. Segalanya dapat terjadi, keadaan dapat terbalik.
Begitulah ringkasnya alam semesta yang kita pijak. Di dalamnya, laju kehidupan
terus bergerak dan berubah dalam tatanan hukum sebab-akibat yang terus
mengalir.
Dalam proses “kemenjadian” segala
sesuatu, barulah Tuhan menurunkan hidayahnya sesuai dengan tingkat proses yang
dilalui oleh segala sesuatu. Itu artinya, Tuhan menciptakan alam semesta tidak
dalam bentuknya yang final, juga tidak dalam kediriannya yang taken for granted. Benih pohon ara dalam
ceritera di atas memang tumbuh besar dan menumbangkan bebatuan yang menindihnya,
tapi sebagai mahluk yang “mungkin”, benih pohon ara juga bisa tidak mengalami
pertumbuhan yang sempurna. Pun, manusia punya peluang untuk “menjadi”. Entah ia
akan menjadi apa, yang pasti setiap orang dapat hidup damai dan layak, juga
dapat untuk hidup sebebas-bebasnya. Hal demikian hanyalah persoalan sejauh mana
laku juang meniti buih.
Tapi, menjadi tontonan yang miris
ketika orang-orang yang dulunya terhimpit derita kemiskinan, setelah mendapatkan
kekayaan, justru menjadi sebab utama kemiskinan orang lain. Pun, orang-orang
yang dulunya terintimidasi dan terdiskriminasi, setelah mendapatkan
kebebasannya, justru kemudian menjadi sebab utama ketertindasan orang lain.
Hal demikian adalah gambaran umum dari
kondisi masyarakat kita hari ini. Kembali meminjam tesis Freire, orang-orang
macam demikian digerakkan oleh kesadaran naif. Freire menjelaskan, bahwa
orang-orang yang berkesadaran naif sangat tahu bahwa hidup manusia dapat diubah
sesuai langkah proses yang ditempuh, tapi mereka cenderung memoles hidupnya
dengan gaya hidup dan karakter bengis yang tak jauh beda dengan banalitas orang-orang
kebanyakan.
Ketika kita telah berhijrah dari
himpitan problema hidup, mestinya kita menjadi pelakon utama kebebasan orang
lain. Kita mesti hadir untuk kehidupan layak orang lain. Karena kita berhasil
menepis problema hidup juga karena bantuan orang lain. selalu ada sebab
eksternal dari proses hijrah kita menuju hidup yang lebih indah: orang tua,
teman sejawat, atau yang lainnya. Sebagaimana pohon ara yang tumbuh tegak
karena kadar air, suhu, oksigen dan cahaya. Dan toh, pada akhirnya pohon ara juga
menjadi tempat dimana burung membuat sarangnya, tempat di mana orang-orang
dapat berteduh dari lelahnya perjalanan yang ia lalui.
---Muhajir---
Komentar
Posting Komentar