Masa Kanak-kanak di Era Informasi
Hidup memang tak sederhana yang kita
bayangkan; tak ada yang cukup mudah untuk dipertahankan. Zaman yang melintas
cepat, membawa banyak perubahan dalam dunia kehidupan manusia. Kita anggapkan
lintasan zaman saat ini memasuki era informasi, sungguh yang telah usang sedikit
banyak dihimpit oleh yang baru. Era informasi, ditandai oleh lalu lintas informasi yang bergerak begitu
cepat, oleh karena perkembangan teknologi media massa yang kian mutakhir. Maka,
bukanlah sesuatu yang musykil jika masyarakat begitu cepat mengenal hal yang
baru, semisal produk dan praktek-praktek kultural lainnya.
Begitu masifnya jalur edar informasi,
batas-batas dilabrak hingga ditekuk. Sehingga jangkuan informasi dalam formasi
masyarakat kian meluas, tak terkecuali pada anak-anak. Maka, baik di luar maupun di dalam rumah
sendiri, anak-anak tetap mudah dijangkau oleh kepungan informasi. Pun, sedikit
banyak diantaranya menjadi perangkat imperatif yang menentukan pilihan konsumsi
produk dan praktek-praktek kultural mereka.
Saat ini bukanlah suatu yang tabu jika
anak-anak sudah pandai menyanyikan lagu dewasa yang sarat akan tema-tema cinta,
romantika, bahkan konten lagu yang padanan maknanya erat terkait dengan
seksualitas. Pun dari sini, lagu anak-anak yang selama ini sarat akan muatan
edukasi harus tersisih oleh musik mainstream. Bahkan bukanlah sesuatu yang
mengejutkan jika anak-anak sudah pandai berdandan layaknya dandanan orang
dewasa. Sebab, sedikit banyak anak-anak menikmati tontonan layar kaca yang
seharusnya untuk orang dewasa. Jika sekiranya televisi menyediakan layanan
tontonan untuk anak-anak, sungguh antara baik dan buruk, antara yang vulgar dan
yang sopan sudah saling silang sengkarut; simulacrum.
Lantas dimanakah dongeng yang selalu
diceritrakan kepada anak-anak? padahal dongeng, entah ia berbentuk fabel dan
lembaran-lembaran hikayat, selalu memuat perspektif etis; tentang cerminan
ideal seorang hero, cerminan ideal baik dan buruk. Maka, anak-anak yang hidup
ditengah-tengah dunia dongeng sejatinya adalah anak-anak yang di didik dalam
limpahan nilai. Namun, dunia kehidupan terlalu cepat berubah. Yang terjadi
akhirnya anak-anak dibentuk oleh fantasi yang dihadirkan oleh televisi, yang
sungguh kering nilai; cerita rakyat, fabel, lembaran-lembaran hikayat, perlahan
tersisih.
Dalam bukunya yang berjudul Selamatkan anak-anak, Neil Postman telah
memperingatkan bahwa masa kanak-kanak terancam direngkuh sepenuhnya oleh media
massa. Bersamaan dengan runtuhnya hirarki informasi di zamani ini, maka tak ada
lagi kategori “boleh dan tak boleh”, “layak dan tak layak”. Keterbukaan
informasi saat ini meyebabkan siapa pun, dari kalangan manapun, dapat
mengaksesnya sejauh ia masih dapat berjumpa dengan media massa.
Maka Postman pun yakin bahwa dengan
kondisi zaman seperti itu, kategori antara dewasa dan anak-anak meluruh dan
mencair ditengah pesatnya perkembangan teknologi media massa. Melalui tesisnya
itu, kita bisa memperkirakan bahwa yang terjadi hari ini tak hanya kian
mencairnya batas-batas yang dulunya sangat beku dan ketat; batasan
negara-bangsa, batas-batas kelas, diferensiasi kultural, batas-batas kenyataan.
pun, batas-batas anak-dewasa kian meluruh ditengah limpahan informasi yang
arbitrer.
Hal tersebut mungkin benar terjadi. Saksikanlah
bersama, antara anak-anak dan dewasa dapat menikmati informasi yang sama,
kedua-duanya dapat menghibur diri dengan sinetron yang sama, menikmati lagu
romantis yang sama, bersama- sama menikmati goyangan dandut di layar kaca. Meskipun
media massa kerap memberi penanda teks terhadap batasan anak-anak dan dewasa
pada segenap materinya, toh pada akhirnya, media massa kerap lupa bahwa
materinya diperuntukkan untuk siapa. Itu saat ketika tontonan yang
disediakannya selalu menampilkan konten yang tak jelas baik secara audio maupun
visual.
Kondisi demikian di ungkapkan Neil
Postman berbeda dengan kondisi yang telah lampau. Itu saat batasan antara
anak-anak dan dewasa masih tegas dan jelas. Tepatnya abad-16, saat kemunculan
media cetak dan institusi sekolah, manusia memasuki era literasi. Di era itu, kedewasaan
di ukur apakah seseorang sudah mahir membaca dan menulis. kemampuan litersasi
demikian, dilatihnya melalui institusi sekolah. mengapa? Sebab, segala
informasi hanya bisa di akses melalui buku-buku. Sedang informasi terkunci
untuk orang-orang yang tak memiliki kemampuan membaca, dan merekalah anak-anak.
.Itulah kenapa di masa itu, anak-anak tak perlu tahu membaca sampai saatnya ia
siap.
Namun, beda dulu beda sekarang. Saat
ini informasi bisa diakses tidak hanya melalui membaca. Sebab media massa hari
ini telah menyediakan layanan informasi dalam bentuk audio-visual. Anak-anak
cukup menangkap makna dari suatu konten melalui daya lihat dan dengar. Itu
artinya, informasi bisa di akses oleh anak-anak bahkan saat ia belum pandai
membaca, cukup dengan kematangan persepsi pendengaran dan penglihatan. Bukankah
anak-anak sedikit banyak terpolarisasi melalui tontonan audio-visual? Melalui
youtube, Televisi, gambar-gambar porno yang cukup dijelajahi melalui mesin
pencari Google?
Barangkali terlalu over general ketika materi yang disediakan media massa segalanya
destruktif. Tayangan Televisi juga sedikit banyak menghadirkan tontonan yang
edukatif. Pun, dengan kecanggihan teknologi informatika, cerita rakyat,
hikayat-hikayat fabel, direkonstruksi menjadi sebuah tontonan yang mendidik.
Sekiranya pendidikan formal mesti hadir menjadi benteng kesadaran anak-anak.
setidaknya, menjadi penyeimbang dengan membekali anak-anak pendidikan karakter
yang memadai. Dan orang tua mesti hadir untuk memfilter konten materi yang
disediakan televisi atau internet agar sesuai dengan kebutuhan anak-anak[]
Komentar
Posting Komentar