Sang Pembunuh

“Bila kita menolak alasan untuk melakukan bunuh diri, kita tidak dapat menyatakan ada alasan kuat yang membenarkan pembunuhan”.  Kata-kata ini merekah dari mulut seorang filsuf, yang juga sebagai sastrawan perancis, Albert Camus. Pemikir kelahiran Aljazair itu memang geram dengan segala bentuk kekerasan, juga dengan orang-orang yang membenarkan segala bentuk kekerasan. Tapi toh, pada akhirnya, ia menerima bahwa hidup memang begitu absurd. Ketika teror, perang, pembunuhan, datang  dengan segala mala yang dihempaskannya,  itu karena hidup selalu dalam gejolak yang bancuh, dan nasib selalu tak masuk akal.


Dalam konteks hidup kita di Indonesia saja,  hidup selalu ternodai oleh darah yang tumpah ruah. Itu karena kekerasan sudah begitu mewabah dan kadang tak masuk akal. Kawanan begal melukai dan merampok kadang hanya untuk kesenangan, perang antar kelompok mahasiswa kadang melibatkan orang-orang tak bersalah hanya karena punya hubungan kebudayaan dengan kelompok lawannya, kelompok mayoritas merepresi minoritas hanya karena soal perbedaan paham. Pun, beragam bentuk kekerasan tersebut, sedikit banyak telah memakan korban jiwa.

Tapi, tak ada yang lebih menyayat hati  ketika seorang bocah begitu cepat merasakan pedih dan getirnya kehidupan.  Seperti Angeline. Bocah mungil berumur 8 tahun itu terpaksa menerima anugerah umur yang begitu pendek, karena banalitas sang pembunuh yang telah  merenggut nyawanya. Angeline yang diduga menghilang, ditemukan di pekarangan rumahnya sendiri, terkubur bersama boneka yang masih dipeluknya. Peristiwa kematiannya menjadi begitu menyedihkan, saat tanggal 28 Juni 2015, kepolisian Bali menetapkan bahwa pelakunya adalah Ibunya angkatnya sendiri: Margriet. Tapi drama kematian Angeline memang menimbulkan banyak desas-desus. Diduga motif dari pembunuhan bocah malang tersebut adalah soal harta warisan, dan seorang satpam yang bekerja di rumah Angeline di duga membantu Margriet, meskipun di duga kuat hanya sebatas membantu menguburkan jasad Angeline.

Entah apa dan siapa dalang dibalik kematiannya, peristiwa ini pun menambah catatan buruk Indonesia. Di tahun ini saja sudah berapa banyak kasus kekerasan terhadap anak-anak hingga sedikit banyak menyebabkan kematian. Dari data yang dikumpulkan oleh komunikasi Indonesia indicator (I2), tahun 2012 pemberitaan kekerasan terhadap anak-anak yang hanya 1.084, melonjak hingga 2.329 pemberitaan di tahun 2013, dan di tahun 2014 kembali meroket hingga 7.456.

Begitulah kiranya, anak-anak memang selalu menjadi korban kekerasan orang dewasa. Tubuh yang lemah menjadi sasaran yang mudah untuk dijadikan pelampiasan seksual. Air muka yang mungil kerap dieksploitasi untuk mengemis dan mendulang keuntungan industri iklan dan  media. Bahkan Boudieu mengakui sampai pada ruang institusi pendidikan, anak-anak sering mengalami kekerasan yang disebutnya sebagai kekerasan simbolik: pemaksaan simbolik kepada anak-anak untuk mengikuti kebudayaan dan gaya hidup kelas dominan. Meskipun dimensi kekerasannya berbeda, tapi tujuannya sama, yakni apa yang oleh Boudieu curigai sebagai tujuan kekuasaan. Bukankah motif kekuasaan juga adalah alasan pembunuhan Angeline?

Begitu kejamnyakah manusia-manusia modern sehingga anak kecil pun harus mengalami begitu banyak kekerasan? Jauh-jauh hari, Tomas Hobbes telah memperingatkan kita bahwa manusia selalu adalah homo homini lupus: mahluk pemangsa sesamanya. Lihatlah tragedi hidup yang telah lalu, manusia meneror sesamanya, memerangi sesamanya, membunuh sesamanya, dan seterusnya. Maka wajar saja jika Hobbes menyebut manusia tak ubahnya seperti Leviathan. Dalam kitab perjanjian lama, Leviathan adalah hikayat mengenai monster laut yang amat mengerikan.
***
Seperti Leviathan, itulah julukan yang tepat untuk sang pembunuh Angeline, si ibu angkat itu. Dan yang namanya monster tak punya sebentuk rasa iba dan asih. Ia hanya tahu bagaimana untuk memangsa demi melampiaskan rasa laparnya. Monster juga tak begitu peduli apa dan siapa itu manusia. Di matanya, semua sama: sebagai objek kekerasan. Sedang, soal rasa iba dan asih, sang penjaga rumah Angeline hanyalah satu di antara sekian banyak orang yang rasa simpatinya mudah buyar oleh perintah dan iming-iming uang dari majikan; diduga ia janjikan uang 200 juta untuk membungkam mulut. Dan Margriet tak punya cukup kekayaan batin untuk dibagikan pada Angeline.  sang ibu dan Angeline memang tak punya kedekatan genetik dan ikatan alamiah sebagai mana ibu dan anak pada umumnya: ia hanyalah ibu angkat.

Pesan simbolik dari kematiannya barangkali sudah cukup menyiratkan keterasingannya di lingkungan orang-orang terdekatnya sendiri. Boneka yang dipagutnya sampai mati mungkin satu-satunya kepunyaan Angeline untuk dia bisa berbagi iba dan asi. Tapi untuk kasus Angeline yang serba menyedihkan ini kita memang harus kembali kepada tutur bijak Camus: “bila kita menolak alasan untuk melakukan bunuh diri, kita tidak dapat menyatakan ada alasan kuat yang membenarkan pembunuhan”.

Komentar

Populer Sepekan