Pancasila dan Kebutuhan Meretas Ego
Pancasila Sebagai Pandangan Dunia
Hari
ini, genap sudah 71 tahun rentang waktunya saat Bung Karno berpidato dengan
retorik dan tegas mengenai rumusan dasar negara Indonesia. Ia yakin betul bahwa
Indonesia perlu memiliki weltanchauung
(pandangan dunia). Bahwa Indonesia perlu memiliki falsafah hidup yang di
istilahkan Bung karno sebagai philosophische
grondslag. Bung Karno lantas menyebut dasar negara itu, philosophische
grondslag itu, dan weltanchauung itu dengan sebutan Pancasila.
Maka
1 Juni adalah penanda waktu yang mesti diingat sebagai salah satu momentum terpenting
sejarah Indonesia. Bahwa di tanggal itu dan di bulan itu Pancasila lahir sebagai
landasan atas dasar apa negara Indonesia dibangun. Yakni lima dasar sebagaimana
arti Pancasila: prinsip kebangsaan indonesia, prinsip perikemanusiaan, prinsip
permusyawaratan dan mufakat, kesejahtraan sosial dan prinsip ketuhanan.
Bung
Karno menjabarkan ke lima prinsip dengan begitu kompleks dan jelas, juga dengan
penuh keyakinan: peluh dan sesak ini adalah sisa-sisa ikhtiar untuk merdeka,
dan mesti terbayar dengan berdirinya negara-bangsa Indonesia, sesegera mungkin.
Progesifitasnya memang nampak dalam pidatonya: ia tergesa-gesa. Setiap persoalan
bangsa adalah hal ihwal yang mendesak. Tak perlu jelimet menurutnya demi sebuah
kemerdekaan. Sebab merdeka adalah sebuah proses dan disitu intinya: hal-hal
kecil, yang jelimet itu bisa diselesaikan pasca Kemerdekaan. Yang penting
merdeka dulu!
Tapi
kiranya tak begitu jelas sampai sejauh mana suatu bangsa dikatakan merdeka. Di sini
Bung Karno berpendapat seperti ini: “Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada
pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara yang lain, yang merdeka,
inilah yang sudah bernama: merdeka”.
Namun
soal merdeka tak hanya berhenti sampai berdirinya NKRI saja. Ibarat membangun
sebuah rumah, tak cukup kiranya jika perabotan-perabotan rumah belum tertata
dengan baik. Mungkin Indonesia merdeka. Bangunan negaranya telah berdiri dan
diakui. Pemerintah, sistemnya dan puluhan juta rakyat hidup di dalamnya. Namun
cukupkah kiranya dikatakan sebenar-benarnya merdeka jika seisi Negara belum
tertata apik? Barangkali di sinilah Pancasila memiliki fungsi: ia dirancang
menjadi landasan untuk tertatanya segala
hal-hal yang jelimet, seperti kesejahteraan rakyat, kerukunan berbangsa dan
bernegara, toleransi beragama, berkeadilan dan seterusnya.
Tapi
sejauh mana Pancasila dapat mempertahankan cita-citanya yang luhur? Sejauh kita
memandang pancasila sebagai Weltanchauung,
maka di situ melekat potensi kekuasaan yang sangat rentan. Kesalahan orde baru
terletak di situ. Yakni, menjadikan pancasila sebagai pandangan dunia yang kaku
dan tertutup. Pancasila di masa itu hanya benar sejauh ia berada dalam tafsir
penguasa. Dan di luar dari itu adalah penghianatan ideologis.
Begitu
hegemoniknya Pancasila diberlakukan, hingga ia menjadi senjata indoktrinasi di
setiap elemen masyarakat. Mulai dari sekolah sampai universitas, dari individu
sampai ormas, meski harus menggunakan cara-cara kekerasan. Pada akhirnya
pancasila ala orde baru hanyalah sebatas perangkat ideologis untuk membenarkan
praktek-praktek kekuasaan. di sepanjang titimangsa, pandangan dunia memang
selalu menjadi narasi yang tertutup. Kita tahu fasisme dan kita tahu komunisme,
hikayat yang kelam di silang sengkarut sejarah.
Pancasila dan Ideologi tandingan: Memutuskan Posisi
Barangkali
di masa orde barulah mulanya kekecewaan muncul, hingga orang-orang mulai
mencari pandangan dunia alternatif. Di Indonesia sudah tak asing lagi terhadap
adanya suatu golongan yang ingin mendirikan negara islam. di sisi lain, paham
wahabisme mencoba masuk membawa petaka perpecahan umat islam. Dan inilah yang
terjadi: Pancasila mau tak mau harus berhadapan dengan gelombang Weltanchauung lain yang pada akhirnya
justru mengulang banalitas orde baru. Mereka menawarkan pandangan dunia yang juga
sama tertutupnya, sama kakunya.
Dunia
abad-21 ini memang sedang dalam merancang kisah tragedi di tanah timur tengah.
Di sana sedang berlangsung gejolak yang amat tragis: Palestina vs Israel,
Suriah-Iraq vs ISIS, Yaman vs Arab Saudi, dan entah apa dan siapa lagi
selanjutnya. Dan Indonesia justru mendapat imbas dari badai timur tengah dengan
membawa persoalan yang begitu pelik: persoalan pandangan dunia.
Pendukung
negara Islam-Khilafah—apa pun nama golongan itu— ingin agar pandangan dunia
Islam mengisi sistem negara secara keseluruhan, sambil tak mau peduli kalau di
Indonesia berkumpul agama-agama lain yang dari dulu sudah hidup beragam. Di
sudut pergulatan yang lain ada wahabisme yang mencoba menyebarkan paham islam
ekslusif, memperluas kultur islam arab, sembari menaklukkan golongan islam yang
berbeda paham dengannya. Meski golongan wahabi tidak dengan terang-terangan
menumpas pancasila, namun praktek ideologis mereka justru sangat anti
pancasila: meluluh lantakkan kebhinekaan.
Beginilah
jadinya jika pandangan dunia telah di butakan oleh totalitas ego yang akut.
Suatu kelompok akan merasa paling legitimate.
Tatkala pandangan dunia telah dikeramatkan dan telah di anggap saktimandraguna,
maka akan menciptakan relasi-oposisi yang sangat tajam: merasa pahamnya yang lebih
absolut, yang lebih benar dari yang lain.
Syahdan,
dalam situasi seperti ini, apakah kita mesti mengafirmasi kembali pancasila?
Meskipun orang bisa berkelit: ah, Pancasila juga pernah otoriter, atau
pancasila juga rentan menjadi narasi tunggal yang menindas perbedaan. Tapi itu
tidak sepenuhnya benar. Pancasila memang pernah mengalami masa-masa kelam
seperti itu. Tapi sekiranya kita tetap menghendaki pancasila justru karena ia
sebenarnya adalah pandangan dunia yang begitu cair: mengakui perbedaan dan
memperjuangkannya.
Dalam prinsip kebangsaan indonesia. Bung Karno
mengatakan: “....Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa
saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon
saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah
s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah
air kita!”
Sedang
dalam prinsip Ketuhanan Bung Karno Menegaskan: “Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan
menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi
Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang
ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia
ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang
leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan
tiada "egoisme-agama".
Pun,
kita menghendaki pancasila karena ia adalah pandangan dunia yang justru
menghendaki keterbukaan dialog: “Tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah
Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya...... Jangan kira di
Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada
pergeseran pikiran. Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi pikiran kepada kita, agar
supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok....” Demikianlah
yang ditegaskan oleh Bung Karno dalam prinsip musyawarah dan mufakat. Bahwa
setiap orang bahkan setiap kelompok boleh berbeda paham, tapi sejauh perbedaan
itu bergulat dalam ruang musyawarah, kiranya tak ada masalah dalam hal ini.
Inilah
Pancasila yang sebenarnya: menerima “ke-lain-an” dan mengafirmasi “ke-kita-an”.
Kita mesti mengamalkan titahnya saat narasi tunggal yang angkuh hadir dengan
jumawa, dan merasa dirinya yang paling benar. Kita mesti mengamalkan titahnya
saat kesewenang-wenangan dipertunjukkan oleh narasi tunggal yang merasa
mewakili perintah Tuhan, sampai bersikap bengis dengan membawa-bawa nama Tuhan.
Kita mesti mengamalkan titahnya saat narasi tunggal yang egosentris ingin
diterima dan diakui sebagai pembawa kebenaran Tuhan tanpa mau dialog.
Begitulah
tegasnya. Mereka mesti tahu bahwa menerima “ke-lain-an” dan mengafirmasi
“ke-kita-an” adalah prilaku yang oleh Levinas disebut sebagai momen etis. Bahwa
“sang lain” bukanlah bagian dari totalitas yang “saya” dan “kamu” ciptakan. Ia
memiliki eksteriornya sendiri, dan disitulah intinya: saat menjumpai “sang lain”,
mestinya adalah undangan moral untuk kita menyapa, dan membentuk sebuah relasi
kekerabatan. Bukankah sudah cukup saat Tuhan mengatakan seperti ini: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” ﴾ Al Hujuraat:13 ﴿
Catatan:
Segenap kutipan Bung Karno di ambil dari pidatonya yang
barjudul “lahirnya Pancasila”
Komentar
Posting Komentar