Dari Problem Kurikulum ke Problem Kompetensi Guru
Beberapa pekan terakhir ini dunia
pendidikan kembali guncang oleh polemik mengenai kurikulum 2013 (selanjutnya disingkat
K-13) yang sekiranya selalu dipahami masih memiliki sejumlah masalah baik dari
segi substansinya maupun implementasinya. Melalui asumsi itulah pemerintah
berinisiatif untuk memberhentikan pelaksanaan K-13 dan kemudian melakukan
revisi terkait kekurangan serta masalah di dalamnya. Hal tersebut pada
gilirannya kembali menambah deretan beban yang harus dirasakan para praktisi
sekolah khususnya guru. Pasalnya, fenomana gonta ganti kurikulum tak sedikit
memunculkan sejumlah masalah yang mengguncang stabilitas kegiatan belajar
mengajar dilingkungan sekolah. Pun, banyak guru yang selalu mengeluhkan
ketidaksiapan menghadapi perubahan kurikulum yang selalu mendadak dan
terburu-buru. Disisi lain, besar potensi terhambatnya perkembangan peserta
didik akibat perubahan kurikulum terus-terusan yang kadang tak menentu. Sebab,
kita tahu bahwa kurikulum adalah bagian integral yang memiliki posisi penting
dalam menentukan kualitas peserta didik .
Problem Dua Kurikulu
Syahdan, perubahan kurikulum yang
kembali dilakukan pemerintah pada gilirannya memunculkan persoalan baru di
dunia pendidikan kita. Pemberhentian K-13 demi kepentingan revisi ulang membuat
pemerintah mengeluarkan kebijakan yang problematik rasanya. Berdasarkan hasil
evaluasi dilapangan, maka Ada tiga pilihan dari tim
evaluasi K-13. Pertama, penghentian total K-13. Kedua, sekolah yang sudah tidak
bermasalah dengan K-13 silakan lanjut, tetapi sekolah yang belum silakan
kembali ke K-06. Ketiga, tetap jalan seperti sekarang untuk semua sekolah,
tetapi dengan evaluasi kekurangan. Pilihan jatuh pada penghentian K-13 di semua
sekolah dan konsentrasi hanya pada 6.221 sekolah (Kompas.com/17/12/2014).
Berdasarkan
pemaparan diatas maka setiap satuan pendidikan akan memakai kurikulum yang
tidak seragam: ada yang tetap menggunakan K-13 dan ada yang harus kembali
menggunakan kueikulum 2006 (selanjutnya disingkat K-06) jika secara teknis dinilai belum memadai untuk meneruskan
pelaksanaan K-13. Problematiknya adalah dunia pendidikan kita saat ini akan
memakai dua kurikulum. Dan pelaksanaan kurikulum yang berbeda disetiap satuan
pendidikan sebenarnya akan memicu berbagai masalah yang sangat menghawatirkan.
Pertama, berkaitan dengan dampak teknis bahwa
sekolah-sekolah yang terpaksa harus kembali ke K-06 harus pula menyiapkan
sarana dan prasarana penunjang K-06: buku
sumber, buku pegangan guru, buku administrasi kelas, buku nilai, buku raport
dan lainnya. Hal ini pada gilirannya mempersulit guru. Pasalnya, sejak
penggunaan K-13 di setiap sekolah, meniscayakan semua sarana dan prasarana
penunjang K-06 sudah tidak digunakan lagi. Hal ini sudah tak memadai lagi sebab
sejak tidak digunakannya lagi sarana dan prasarana penunjang K-06 ada
kekhawatiran beberapa diantaranya hilang
dan mungkin saja sudah rusak. Situasi
tersebut bukan hanya sebatas asumsi, tapi benar-benar terjadi seperti yang
dialami sekolah-sekolah di Tangerang (www.jpnn.com/15/12/014).
Kedua, implikasi
lain bagi sekolah-sekolah yang terpaksa harus kembali
ke K-06 bahwa guru dan murid menjadi terbebani karena harus beradaptasi kembali
dengan kurikulum lama. Mencanangkan kembali ke K-06 memang bukan bukanlah
perkara yang sepele. Apalagi tahun pelajaran 2014/2015 sudah setengah jalan.
Mengganti kurikulum di tengah semester, yang praktis tinggal kurang dari
sebulan, adalah suatu tindakan yang penuh resiko jika dipaksakan. Sebab potensi
disorientasi dalam proses pembelajaran sangat tinggi.
Ketiga, K-13
diberhentikan untuk direvisi kemudian jika telah sempurna maka akan di
implementasikan disekolah-sekolah. Bagi sekolah-sekolah yang dibolehkan
melaksanakan K-13, dikemudian hari juga akan mengganti K-13 hasil revisi. Kalau
seperti itu adanya kenapa tidak serentak saja semua sekolah menggunakan dulu K-13
versi lama sambil menunggu hasil revisi K-13? Masalahnya adalah jika sekolah-sekolah
berbeda kurikulum akan berdampak pada mekanisme evaluasi hasil belajar murid.
Disamping kesulitan menetapkan standar evaluasi, juga ujian nasional tidak akan
relevan dengan kondisi pengetahuan murid yang menerima materi dengan kurikulum
yang berbeda-beda.
Jika K-13 hanya ingin direvisi, maka
ada baiknya kalau sekolah-sekolah tetap menggunakan K-13 versi lama sampai K-13
hasil revisi sudah layak untuk di implementasikan. Sebab, menarik K-13
disekolah yang telah terlanjur menggunakannya akan berimplikasi serius pada
para praktisi sekolah setempat yang pastinya menambah kegalauan mereka. buku
ajar K-13 telah dibeli dan dipelajari penggunaannya, guru-guru juga masih
sementara sibuk-sibuknya mempelajari penguasaan K-13, sementara K-13
diberhentikan dan kembali menggunakan KTSP, bukankah situasi demikian membuat
usaha guru sia-sia bahkan jutru menambah beban baru?
Problem kompetensi Guru
Disibukkannya
pemerintah oleh hiruk-pikuk permasalahan kurikulum, gonta ganti kurikulum, pada
akhirnya menimbulkan kesan bahwa seolah-olah masalah pendidikan hanya masalah
kurikulum saja. Perlu diketahui
menyelesaikan persoalan pendidikan kita tidak hanya dengan mengonta-ganti
kurikulum seenaknya. Bagaimana pun usaha pemerintah mengacak-acak kurikulum
kalau tak dibarengi dengan peningkatan kualitas guru adalah non sense. Setiap pergantian kurikulum
guru selalu mengeluh dengan keluhan “kami tak sanggup”, “kami kesulitan”,
“kurikulumnya ribet”, “kami terbebani”. Dengan banyaknya keluhan guru,
menegaskan kelemahan-kelemahan dan ketidak sanggupan guru itu sendiri.
Maka
pengembangan kompetensi guru menjadi hal yang sangat prinsipil untuk saat ini. Ini
penting! Sebab jika ditinjau dari segi kompetensi pedagogik dan kompetensi
profesional, sering didapati guru belum memenuhi standar kualifikasi. dalam hal mengajar misalkan, kebanyakan guru tak cekatan dan kreatif baik
dalam penguasaan pengetahuan maupun metode pembelajaran. Maka tak heran ketika
guru cenderung konservatif dan jumud dalam mengajar.
Metode pembelajarannya hanya ceramah dan diskusi melulu. Jadi sesempurna apapun
kurikulum ketika guru sebagai subjek
yang mengimplementasikan tak terampil dalam mengajar maka sulit untuk
mengembangkan domain kognitif dan psikomotorik murid. Pun, pemerintah selalu
mengupayakan aspek teknologi dalam pembelajaran sementara banyak guru khususnya
guru di daerah terpencil masih kesulitan mengoperasikan komputer.
Begitupun begitu pun dari segi
kompetensi kepribadian. dalam hal perilaku, kebanyakan guru masih saja
melakukan tindakan represif terhadap murid-muridnya. Kadang dalam mengatur
murid-murid yang bawel dan liar selalu menggunakan kekerasan. Artinya, mana
mungkin guru dapat mengaktualisasikan domain afektif murid bila gurunya saja
tidak tuntas dalam perilaku? Guru bukan hanya pendidik yang hanya melakukan
internalisasi pengetahuan dan skill pada murid, lebih dari itu, guru adalah
teladan yang seharusnya memberi contoh yang baik pada murid.
Sebagai menteri pendidikan dan
kebudayaan yang baru, Anies baswedan mesti melihat bahwa problem pendidikan
kita begitu kompleks, tak hanya persoalan kurikulum saja. maka jika ingin
memperbaiki kualitas pendidikan kompleksitas permasalahan mesti diselesaikan
khususnya persoalan kemampuan dan kualitas guru.
Komentar
Posting Komentar