Dari Problem Kurikulum ke Problem Kompetensi Guru


 
https://bangfajars.files.wordpress.com/2014/11/kurikulum-2013.gif?w=604

Beberapa pekan terakhir ini dunia pendidikan kembali guncang oleh polemik mengenai kurikulum 2013 (selanjutnya disingkat K-13) yang sekiranya selalu dipahami masih memiliki sejumlah masalah baik dari segi substansinya maupun implementasinya. Melalui asumsi itulah pemerintah berinisiatif untuk memberhentikan pelaksanaan K-13 dan kemudian melakukan revisi terkait kekurangan serta masalah di dalamnya. Hal tersebut pada gilirannya kembali menambah deretan beban yang harus dirasakan para praktisi sekolah khususnya guru. Pasalnya, fenomana gonta ganti kurikulum tak sedikit memunculkan sejumlah masalah yang mengguncang stabilitas kegiatan belajar mengajar dilingkungan sekolah. Pun, banyak guru yang selalu mengeluhkan ketidaksiapan menghadapi perubahan kurikulum yang selalu mendadak dan terburu-buru. Disisi lain, besar potensi terhambatnya perkembangan peserta didik akibat perubahan kurikulum terus-terusan yang kadang tak menentu. Sebab, kita tahu bahwa kurikulum adalah bagian integral yang memiliki posisi penting dalam menentukan kualitas peserta didik . 
 
Problem Dua Kurikulu
 
Syahdan, perubahan kurikulum yang kembali dilakukan pemerintah pada gilirannya memunculkan persoalan baru di dunia pendidikan kita. Pemberhentian K-13 demi kepentingan revisi ulang membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan yang problematik rasanya. Berdasarkan hasil evaluasi dilapangan, maka Ada tiga pilihan dari tim evaluasi K-13. Pertama, penghentian total K-13. Kedua, sekolah yang sudah tidak bermasalah dengan K-13 silakan lanjut, tetapi sekolah yang belum silakan kembali ke K-06. Ketiga, tetap jalan seperti sekarang untuk semua sekolah, tetapi dengan evaluasi kekurangan. Pilihan jatuh pada penghentian K-13 di semua sekolah dan konsentrasi hanya pada 6.221 sekolah (Kompas.com/17/12/2014).

Berdasarkan pemaparan diatas maka setiap satuan pendidikan akan memakai kurikulum yang tidak seragam: ada yang tetap menggunakan K-13 dan ada yang harus kembali menggunakan kueikulum 2006 (selanjutnya disingkat K-06) jika secara teknis dinilai belum memadai untuk meneruskan pelaksanaan K-13. Problematiknya adalah dunia pendidikan kita saat ini akan memakai dua kurikulum. Dan pelaksanaan kurikulum yang berbeda disetiap satuan pendidikan sebenarnya akan memicu berbagai masalah  yang sangat menghawatirkan.

Pertama, berkaitan dengan dampak teknis bahwa sekolah-sekolah yang terpaksa harus kembali ke K-06 harus pula menyiapkan sarana dan prasarana penunjang K-06: buku sumber, buku pegangan guru, buku administrasi kelas, buku nilai, buku raport dan lainnya. Hal ini pada gilirannya mempersulit guru. Pasalnya, sejak penggunaan K-13 di setiap sekolah, meniscayakan semua sarana dan prasarana penunjang K-06 sudah tidak digunakan lagi. Hal ini sudah tak memadai lagi sebab sejak tidak digunakannya lagi sarana dan prasarana penunjang K-06 ada kekhawatiran  beberapa diantaranya hilang dan mungkin saja sudah rusak.  Situasi tersebut bukan hanya sebatas asumsi, tapi benar-benar terjadi seperti yang dialami sekolah-sekolah di Tangerang (www.jpnn.com/15/12/014).

Kedua, implikasi lain bagi sekolah-sekolah yang terpaksa harus kembali ke K-06 bahwa guru dan murid menjadi terbebani karena harus beradaptasi kembali dengan kurikulum lama. Mencanangkan kembali ke K-06 memang bukan bukanlah perkara yang sepele. Apalagi tahun pelajaran 2014/2015 sudah setengah jalan. Mengganti kurikulum di tengah semester, yang praktis tinggal kurang dari sebulan, adalah suatu tindakan yang penuh resiko jika dipaksakan. Sebab potensi disorientasi dalam proses pembelajaran sangat tinggi.

Ketiga, K-13 diberhentikan untuk direvisi kemudian jika telah sempurna maka akan di implementasikan disekolah-sekolah. Bagi sekolah-sekolah yang dibolehkan melaksanakan K-13, dikemudian hari juga akan mengganti K-13 hasil revisi. Kalau seperti itu adanya kenapa tidak serentak saja semua sekolah menggunakan dulu K-13 versi lama sambil menunggu hasil revisi K-13? Masalahnya adalah jika sekolah-sekolah berbeda kurikulum akan berdampak pada mekanisme evaluasi hasil belajar murid. Disamping kesulitan menetapkan standar evaluasi, juga ujian nasional tidak akan relevan dengan kondisi pengetahuan murid yang menerima materi dengan kurikulum yang berbeda-beda.

Jika K-13 hanya ingin direvisi, maka ada baiknya kalau sekolah-sekolah tetap menggunakan K-13 versi lama sampai K-13 hasil revisi sudah layak untuk di implementasikan. Sebab, menarik K-13 disekolah yang telah terlanjur menggunakannya akan berimplikasi serius pada para praktisi sekolah setempat yang pastinya menambah kegalauan mereka. buku ajar K-13 telah dibeli dan dipelajari penggunaannya, guru-guru juga masih sementara sibuk-sibuknya mempelajari penguasaan K-13, sementara K-13 diberhentikan dan kembali menggunakan KTSP, bukankah situasi demikian membuat usaha guru sia-sia bahkan jutru menambah beban baru?

Problem kompetensi Guru
 
Disibukkannya pemerintah oleh hiruk-pikuk permasalahan kurikulum, gonta ganti kurikulum, pada akhirnya menimbulkan kesan bahwa seolah-olah masalah pendidikan hanya masalah kurikulum saja.  Perlu diketahui menyelesaikan persoalan pendidikan kita tidak hanya dengan mengonta-ganti kurikulum seenaknya. Bagaimana pun usaha pemerintah mengacak-acak kurikulum kalau tak dibarengi dengan peningkatan kualitas guru adalah non sense. Setiap pergantian kurikulum guru selalu mengeluh dengan keluhan “kami tak sanggup”, “kami kesulitan”, “kurikulumnya ribet”, “kami terbebani”. Dengan banyaknya keluhan guru, menegaskan kelemahan-kelemahan dan ketidak sanggupan guru itu sendiri.  

Maka pengembangan kompetensi guru menjadi hal yang sangat prinsipil untuk saat ini. Ini penting! Sebab jika ditinjau dari segi kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional, sering didapati guru belum memenuhi standar kualifikasi. dalam hal mengajar misalkan, kebanyakan guru tak cekatan dan kreatif baik dalam penguasaan pengetahuan maupun metode pembelajaran. Maka tak heran ketika guru cenderung konservatif dan jumud dalam mengajar. Metode pembelajarannya hanya ceramah dan diskusi melulu. Jadi sesempurna apapun kurikulum  ketika guru sebagai subjek yang mengimplementasikan tak terampil dalam mengajar maka sulit untuk mengembangkan domain kognitif dan psikomotorik murid. Pun, pemerintah selalu mengupayakan aspek teknologi dalam pembelajaran sementara banyak guru khususnya guru di daerah terpencil masih kesulitan mengoperasikan komputer.

Begitupun begitu pun dari segi kompetensi kepribadian. dalam hal perilaku, kebanyakan guru masih saja melakukan tindakan represif terhadap murid-muridnya. Kadang dalam mengatur murid-murid yang bawel dan liar selalu menggunakan kekerasan. Artinya, mana mungkin guru dapat mengaktualisasikan domain afektif murid bila gurunya saja tidak tuntas dalam perilaku? Guru bukan hanya pendidik yang hanya melakukan internalisasi pengetahuan dan skill pada murid, lebih dari itu, guru adalah teladan yang seharusnya memberi contoh yang baik pada murid.

Sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan yang baru, Anies baswedan mesti melihat bahwa problem pendidikan kita begitu kompleks, tak hanya persoalan kurikulum saja. maka jika ingin memperbaiki kualitas pendidikan kompleksitas permasalahan mesti diselesaikan khususnya persoalan kemampuan dan kualitas guru.

Komentar

Populer Sepekan